Agnes terkejut ketika ia mendapat kiriman pesan di ponsel pintarnya dari seseorang. Matanya terus menatap gawai dengan casing warna ungu dengan gambar bunga Lotus di belakangnya. Napasnya dihela dalam-dalam. Saat ini, dia hanya ingin menikmati waktu tenangnya meski harus bersembunyi di meja paling belakang agar tak ketahuan oleh penjaga perpustakaan, meski ia tahu ada CCTV yang menjadi "mata" di tempat itu.
"Hah, untuk apa aku terus memikirkan pesan dari orang itu. Bikin pusing saja!" Keluhnya tanpa tersadar kedua matanya mulai terkantuk-kantuk.
***
Di dalam kelas, Clarissa harus berpikir keras unruk menyelamatkan Agnes yang terus ditanyakan keberadaannya oleh para guru yang mengajar hari ini. Alasan klise, 'pergi ke UKS!' Clarissa terus layangkan selama kelas berlangsung. Sang sahaat yang menghilang tiba-tiba benar-benar membuatnya stress dan sedikit kesal. Clarissa terus mengeluh dalam gumamannya dan melihat tas Agnes yang berantakan. Sekilas, dia melihat sebuah surat yang dilipat dengan rapi yang diletakkan di kantong luar tasnya. Penasaran, Clarissa mengambil surat warna putih tersebut dan membukanya. Kedua matanya langsung teduh dan lirih ketika ia membaca sebuah tulisan besar warna hitam tepat di atas kop surat tersebut.
'Beasiswa Le Conservatoire de Music Paris.' Clarissa menarik napasnya dalam-dalam, sangat mengerti betul bagaimana perasaan Agnes saat ini. Hancur, sedih, tenggelam dalam ketidakpercayaan diri terlebih setelah sang mami mengajak sahabat mereka, Paulina ke atas panggung dan bermain dengan pemain musik sekelas Abigail Juan Perero.
'Aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Nyonya Abigail. Kenapa dia malah mengajak Paulina daripada putrinya sendiri?'
***
Agnes langsung terbangun ketika mendengar bel berbunyi kencangnya, seolah ada di sebelah telinganya. Dia melihat jam tangan merah muda kesukaannya dan tepat pukul 14.00, waktu sekolah selesai. 'Hah, sudah berapa lama aku tertidur? Sampai tak tahu kalau sekolah telah selesai.' Gumam Agnes membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja. Tak lama, bunyi getar ponsel miliknya di atas meja mengejutkan Agnes dan gadis itu buru-buru mengangkatnya. Ketika melihat nama Clarissa, Agnes hanya tersenyum simpul dan tak menjawabnya. Perlahan, langkah kecilnya mengendap-endap melihat apakah penjaga perpustakaan masih ada di mejanya atau tidak.
"Hmm, bagus! Sepertinya wanita galak itu sedang membereskan buku-buku. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini!" Agnes dengan cepat menyelinap keluar tanpa ketahuan oleh snag penjaga perpustakaan, tapi tidak oleh CCTV.
"Hai, mencariku, ya?" Agnes berdiri di depan Clarissa yang masih duduk di dalam kelas menunggu sang sahabat.
"Dari mana sih, kamu? Ilang ke mana kamu?" kesal Clarissa melirik tajam Agnes.
"Hehe, maaf … maaf. Aku butuh healing sejenak. Makanya aku menghilang dulu dari kelas. Emang kenapa?" Agnes kini duduk di kursinya, melihat mejanya dudah rapi, begitu pula dengan tasnya yang telah tertutup rapat. "K-kamu beresin barang-barang aku, Clarissa?" tanya Agnes lagi.
"Ya dan aku tak akan minta maaf untuk itu! Sebal aku liat meja yang berantakan!" Clarissa memalingkan wajahnya dan berdiri.
Agnes menundukkan kepalanya, mengepalkan tangan kanannya dan berkata pelan, "Jadi, kamu udah baca surat itu?"
"Surat? Surat apa?" tanya Clarissa tak menatap Agnes.
"Kau tahu apa yang aku maksud, Clarissa! Beasiswa musikku! Apa lagi?" Agnes mulai meninggikan nada bicaranya, namun itu tak membuat Clarissa takut.
"Bukankah aku tahu sejak awal, Agnes? Jadi untuk apa kau menyembunyikannya?" Kali ini Clarissa membela dirinya sendiri, menatap sang sahabat.
"Karena kau dekat dengan 'dia!' Makanya aku tak percaya!" Agnes berdiri dan terlihat marah.
"Dia? Maksudmu Paulina? Apa kau pikir aku akan menceritakannya pada Paulina? Kenapa kau jadi sarkas begini, sih Nes? Sebenarnya kamu kenapa? Apa sebegitu bencinya kamu sama Paulina?"
"Ya! BENCI! Aku sangat membencinya! Aku benci karena dia mencuri panggungku … mencuri sesuatu yang selama ini aku impikan! Kau tahu apa yang selama ini aku impikan … aku inginkan, Clarissa? Aku ingin bermain dengan mamiku … aku ingin menunjukkan kemampuan musikku. Tapi apa? Apa yang aku dapat? Penghinaan dan ketidakpercayaan dari mamiku sendiri. Apa itu yang harus aku banggakan sekarang?" air mata Agnes tanpa sadar berderai mengguncang jiwanya.
Clarissa langsung memeluk erat sang sahabat yang tak lagi bisa menguasai emosinya. Clarissa yang juga tak bisa menahan air matanya tak bisa menyembunyikan sedih, pilu, bagaimana hancur hati sang sahabatnya.
"Maaf … maafkan aku Agnes. Aku tak ada maksud untuk membuatmu besedih. Aku tak bisa seperti dirimu yang kuat menahan semua ini. Kau kuat Agnes … kau temanku yang paling kuat." Air mata Clarissa tak henti-hentinya berderai membasahi seragam Agnes.
"Apa aku memang patut dikasihani? Apa aku memang tak pantas menjadi anak seorang Abigail Juan Perero?" Agnes terus menangis dalam pelukan sang sahabat.
Di saat Agnes melepas kesedihan dalam tangisnya, Vino tak sengaja lewat di depan kelas mereka. Tak ssengaja pula mendengar lirih pilu keluh kesah Agnes yang menyandarkan bahunya pada Clarissa. Remaja itu lantas mem-videokan kejadian yang baru saja dia lihat. Seolah tak percaya jika seorang Agnes yang dikenal sebagai murid sempurna di sekolahnya memiliki kehidupan yang miris dan memilukan.
"Jika aku berikan ini pada Claudio, apa yang akan dia katakan, ya? Aku penasaran bagaimana keadaannya sekarang?" Vino segera meninggalkan Agnes dan Clarissa yang masih berpelukan satu sama lain.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nes? Apa lebih baik?" tanya Clarissa peerlahan mulai melepas pelukannya.
"Lebih baik." Sahut Agnes mengusap air matanya. "Aku ingin pulang sendiri, Clarissa. Aku butuh waktu."
Clarissa mengangguk. "Aku mengerti."
Agnes tersenyum penuh lirih. Gadis cantik itu mulai keluar meninggalkan kelasnya, Clarissa menyusul di belakang Agnes memelankan langkahnya. Gerbang sekolah yang masih terbuka lebar memperlihatkan seorang gadis dengan seragam hijau daun kotak-kotak sedang berdiri di seberang sekolah elit tersebut. Agnes sama sekali tak terkejut dengan gadis yang menenteng sebuah tas hitam kecil di tangan kanannya yang mirip dengan biola. Sementara Clarissa yang kini tak jauh berdiri dari sang sahabat terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di depan Agnes.
"Paulina?!" Clarissa membelalakkan matanya lebar, mendekati pintu gerbang melihat Agnes yang menghampiri Paulina. 'Mau apa dia datang ke sini? Hadeh, cari perkara aja, sih!' gumam Clarissa penasaran semakin mendekat.
"Ada apa?" tanya Agnes menyilangkan kedua tangannya.
"A-aku … aku mau minta maaf." Ujar Paulina tertunduk memilin ujung seragamnya.
"Minta maaf? Kenapa kamu minta maaf, Lina? Apa kamu berbuat salah?" Seringai Agnes tersungging di bibirnya.
"Agnes, aku sama sekali tak tahu jika Nyonya Abigail mengundangku ke atas panggung. Sumpah! Aku benar-benar tak tahu!" Lina menyakinkan Agnes mengangkat dua jarinya.
Agnes mengepalkan kedua tangannya, menahan kembali segala emosinya yang sebelumnya ia tuangkan pada Clarissa.
"Tak ada gunanya kamu minta maaf sekarang, Lina! Semuanya sudah terjadi, tak apa. Aku mengerti … bahkan sangat mengerti bagaimana bagusnya permainanmu. Aku harus akui itu." Agnes membalikkan badannya sambil berkata, "Kurasa pertemanan kita cukup sampai di sini, Paulina. Mami sudah mengakui kemampuanmu, untuk selanjutnya …." Agnes menoleh ke arah Paulina sembari tersenyum dengan tatapan lirih, "Tolong kerjasamanya." Agnes melangkah pergi meninggalkan Paulina hingga membuat gadis itu terduduk berderai air mata melihat punggung sahabat baiknya.
"Agnes! Agnes!" teriak Paulina membuat dirinya menjadi pusat perhatian sebagian murid-murid Pelita Bangsa yang masih ada di sana.
"Tsk, menyusahkan saja Paulina!" Clarissa menghampiri Paulina yang terus meneriaki nama Agnes. "Lina, bangunlah! Jangan membuat kegaduhan di sini." Clarissa membantu Lina berdiri.
"Cl-Clarissa …." tatap kedua iris coklat gelap itu lirih.
"Aku tahu. Karena itu bangunlah dan kita bicara di tempat lain." Bujuk Clarissa akhirnya berhasil membawa Lina menjauh dari sekolah mereka. "Sebenarnya ada apa, Lina? Apa benar berita yang kuduengar itu? Nyonya Abigail …."
Lina seolah tak memedulikan Clarissa bicara dan hanya menatap lalu-lalang orang-orang di depan mereka. Clarissa juga tak bisa memaksa Lina untuk bicara. Akhirnya, gadis tomboy itu berdiri dan memutuskan meninggalkan sang sahabat.
"Agnes baru saja memutusan persahabatannya denganku!" ucap Lina tiba-tiba sambil tersenyum simpul.
"A-apa?! Agnes apa?" Clarissa terkejut mendengar ucapan Paulina.
"Itu benar, Clarissa. Agnes sendiri yang bilang padaku jika dia tak ingin lagi bersahabat denganku. Haha, pada akhirnya, aku tahu jika semua itu tak lebih dari kecemburuan Agnes padaku."
"Apa yang kau bicarakan, Lina? Mana mungkin Agnes tak akan cemburu jika impiannya hancur karena sahabatnya sendiri!" kesal Clarissa menaikkan nada bicaranya.
"Aku? Ya! Aku! Aku yang disalahkan! Aku yang selalu menjadi tersangka di sini tanpa kalian ketahui alasannya!" Paulina mendelikkan matanya berdiri di hadapan Clarissa.
"Lalu apa alasannya?"
Paulina langsung terdiam. Ia mengambil tas biolanya dan pergi dari hadapan Clarissa. "Lina!" Clarissa segera menarik lengan kiri Lina kencang.
"Tak ada alasan, Clarissa! Aku melakukannya karena aku menginginkannya! Siapa yang tak ingin bermain dengan pemusik terkenal seperti Abigail Juan Perero?" Lina mendongakkan wajahnya, seolah menantang Clarissa.
"Jadi kau sama sekali tak menyesal dengan semua yang kau lakukan, Lina? Meski bukan kau yang meminta?"
Lina mengepalkan sebelah tangannya dan berkata sambil tersenyum, "Ini bukan keinginanku tapi jika aku punya kesempatan itu … meski harus menginjak temanku!"
"Kau!" Clarissa langsung meraih kerah seragam Paulina dan mengangkat tinggi-tinggi sebelah tangannya.
"Hentikan!"