Beberapa jam sebelumnya,
Claudio tiba-tiba mengangkat tangannya ketika guru home schooling-nya tengah mengajar. Sontak, Bu Evi langsung menghentikan pelajarannya dan melihat ke arah Dio dengan ekspresi serius. "Ada apa, Dio? Apa kau mulai merasa tak enak badan lagi?" tanya Evi sedikit panik.
"Tidak, Bu. Tapi, bisakah saya meminta waktu sebentar untuk mengistirahatkan tubuh saya?"
"Baik … baik. Tak masalah, Dio. Karena kesehatan adalah yang utama. Lagipula, semua pelajaran ini telah kau pelajari di sekolah." Sahut Bu Evi tersenyum.
"Terima kasih, Bu Evi." Dio segera berdiri dari kursinya, membungkukkan badannya dan keluar dari ruang belajarnya.
"Tuan Muda? Apa Anda baik-baik saja?" tanya Jhon terkejut melihat Dio yang tiba-tiba keluar sebelum sekolahnya selesai.
"Hmm, aku sudah minta izin pada Bu Evi jika hari ini sekolahku sedikit dipercepat."' Ucap Dio memegangi kedua matanya.
"Tuan, apa Anda baik-baik saja?" tanya Jhon tampak khawatir.
"Aku baik-baik saja, Paman. Bagaimana jika kita keluar jalan-jalan sebentar? Rasanya aku butuh menghirup udara segar." Senyum Dio.
"Anda mau ke mana, Tuan Muda?"
"Jalan-jalan saja. Entah ingin ke mana. Yang penting ikuti saja garis putih yang membentang di sepanjang jalan, Paman." Dio berlalu dari hadapan sang kepala pelayan keluar kediaman Regazka.
Saat ini,
"Claudio?" Clarissa terkejut melihat murid idola lain di SMA Pelita Bangsa tiba-tiba berdiri di belakangnya.
Claudio menghampiri Clarissa yang masih mencengkram kencang kerah baju Paulina.
"Anak itu …." Paulina terdiam menatap ke arah Dio yang semakin mendekati keduanya.
"Kenapa? Mau jadi pahlawan kesiangan, hah?" tanya Clarissa dengan nada tinggi.
"Nona muda, tolong jaga cara bicara Anda!" sela Jhon ketus.
"Paman, tolong jangan ikut campur urusan ini, bisakah?" pinta Dio datar namun tegas.
"Maaf, Tuan Muda." Jhon membungkukkan badannya, menyingkir selangkah mundur dari Claudio.
"Kamu ngapain di sini, Dio? Ini bukan urusan kamu, ya! Jadi jangan ikut campur!" tegas Clarissa masih mencengkram kerah seragam Paulina hingga napas gadis itu mulai susah.
"Aku hanya lewat. Apa salah?"
"Salah! Karena kamu lewat ga pada waktunya!" ketus Clarissa mata elangnya menyalang tajam ke arah Dio.
"Kamu cewek yang suka kekerasan, ya?" Dio melirik Paulina yang masih berada di bawah kepalan tangan Clarissa dengan ekspresi takut.
"Gausah ikut campur, Dio! Aku dan kamu, kita juga ga akrab-akrab banget, jadi jangan SKSD!"
"Siapa juga yang SKSD, aku juga ga ada niat untuk kenal kamu lebih jauh. Cuma …." Dio melirik Lina sekali lagi. "Kasian tuh temen kamu, dicekik gitu. Kalau dia kenapa-kenapa memang kamu mau tanggung jawab?"
Clarissa memalingkan wajahnya ke Paulina dan melihat gadis itu merasa tercekik kerah seragamnya. Segera, Clarissa melepaskan tangannya dan Lina memegangi lehernya sambil terbatuk-batuk. "Kau ga apa-apa?" Claudio mendekati Paulina dan meraih tas biolanya.
"Eh, t-tasku …." Lina terkejut.
"Aku bantu membawakannya. Paman, tolong bawa temanku, ya. Aku masih ada urusan dengan 'temanku' ini."Sahut Vino tersenyum datar.
"Ngapain kamu senyum-senyum? Ga usah tebar pesona hanya karena kamu terkenal se-antero Pelita Bangsa!" sambar Clarissa makin kesal.
"Aku ga kenal kamu, sebenarnya. Dan aku juga ga butuh dikenal! Tapi, aku paling ga suka sama cewek yang seneng melakukan kekerasan sama temennya. Apalagi, kamu masih pakai seragam sekolah. Apa ga takut kalo ada guru yang lewat terus kamu diciduk?"
"Enggak! Lagipula ini ga ada urusannya sama kamu, Dio! Anak pintar tapi cupu!"
"Nona! Tolong jaga mulut Anda!" John spontan meninggikan suaranya, menghampiri Claudio.
"Paman, sudah kukatakan-"
"Maaf, Tuan. Tapi, dalam hal ini saya tak bisa tinggal diam begitu saja. Nona ini benar-benar tak mengerti sopan-santun!" Jhon menunjuk Clarissa tegas. "Dan Anda, Nona … tolong segera minta maaf pada Tuan Claudio!" perintah Jhon.
"Hah, apa orang kaya semuanya seperti ini, ya? Seenaknya saja menyuruh orang lain minta maaf, walaupun mereka tak tahu masalahnya!" balas Clarissa.
Jhon mulai emosi. Claudio mengangkat tangannya tinggi menghentikan kepala pelayan itu agar tak mencampuri urusannya. "Maaf, Nona. Meski kita satu sekolah, tapi aku tak mengenal Anda. Jadi, lebih baik lupakan saja masalah ini. Permisi." Claudio membungkukkan badannya layaknya seorang bangsawan dan berbalik badan bersiap meninggalkan Clarissa.
"Kenal Gema Melody Agnesia?" tanya Clarissa tiba-tiba.
Claudio mengurungkan langkahnya dan berbalik kembali. "Gema Melody Agnesia?" Claudio menaikkan salah satu alis lebat hitamnya.
"Ya, gadis yang pernah menghampiri Vino dan kau malah menghiraukannya."
Claudio terdiam sejenak. "Maaf, aku tak kenal." Remaja itu kembali membalikkan badannya dan melangkah menjauhi Clarissa.
'Bohong sekali kalau dia tak kenal. Jelas-jelas dia suka curi-curi pandang ke kelas kami tiap kali dia lewat depan kelas kami.'
"T-terima kasih, Dio." Paulina membungkukkan badannya sambil memegangi tas hitam biolanya.
"Sama-sama." Claudio melirik tas yang dijinjing Paulina. "Kau mau ke mana? Apa akan bermain lagi di taman tengah kota?" sambung Dio.
"Tidak, aku ingin pergi ke tempat berlatih musikku." Senyum Lina.
"Di mana tempat berlatih musikmu?"
"La Toule de Music Academy."
Dio terperangah! Dia membatu diam di tempat dan menatap kedua bola mata coklat terang milik Paulina. "Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Jhon khawatir.
"Ah, i-iya. Aku baik-baik saja, Paman. Kau bilang La Toule Academy?" tanya Dio sekali lagi meyakinkan pendengarannya.
Lina mengangguk. "Ada apa, Dio?" penasaran gadis itu mengernyitkan dahinya.
Terdiam sejenak seolah sedang berpikir. "Paman, kita antarkan temanku ke tempatnya berlatih."
"Maaf, Tuan Muda?" Jhon sedikit terkejut.
"Aku bilang, kita antarkan temanku ini ke tempatnya berlatih, La Toule Academy!" tegas Dio.
Jhon tak lagi bertanya apa pun jua. Dia membukakan pintu mobil bagi Dio dan juga Paulina. Melirik ke arah gadis remaja yang baru dikenal oleh tuan mudanya sedikit curiga. "Apa tidak apa-apa, Dio? Aku bisa ke sana sendiri. Tak perlu diantar," sungkan Paulina.
"Tak apa, lagipula arah kita searah."
"Eh?" Paulina agak terkejut. "S-searah?"
Dio mengangguk. "Arah tempatmu berlatih sama dengan arah rumahku." Balasnya tersenyum.
"Oh, begitu ya." Lina menundukkan pandangannya, sementara Jhon curi-curi pandang melihat sang tuan muda bersama dengan "orang luar".
Tak berapa lama, kendaraan yang dinaiki Dio berhenti di sebuah gedung megah menjulang tinggi gaya bohemian. "Terima kasih telah repot-repot mengantarku." Senyum gadis itu sambil meraih gagang pintu mobil.
"Tunggu-" Dio memanggil Paulina yang telah mengeluarkan tubuhnya setengah.
"Ada apa, Dio?"
"Apa kau bisa membantuku?"
"Membantumu? Bantu apa?" tanya Paulina penasaran.
"Apa kau mau menjadi guruku?"
Jhon dan Paulina saling terkejut. Mereka saling tukar pandang mendengar ucapan Dio.
"M-menjadi gurumu? Apa kau tak salah, Dio?" tanya Paulina meyakinkan.
Dio menggelengkan kepalanya. "Tidak! Aku sadar dengan kata-kataku barusan. Aku ingin kau menjadi guru pribadiku … guru musikku."
"T-Tuan Muda?" Jhon spontan menyela.
Paulina terdiam.
"Tak perlu kau jawab sekarang. Kapan kau akan bermain lagi di taman tengah kota?" tanya Dio.
"Aku belum tahu. Karena aku harus persiapan kenaikan tingkat juga ujian kelulusan sekolah."
"Ah, iya. Benar juga. Ujian kelulusan, ya. Baiklah kalau begitu, aku mengerti. Bisakah aku minta nomor ponselmu?"
"Ya? U-untuk apa?"
"Aku yang akan menghubungimu. Ponselku sedang disita oleh papaku." Sahu Dio santai sambil tersenyum.
Sedikit ragu, namun pada akhirnya Paulina memberikan nomor ponselnya pada Dio dan tak lama dia beserta kepala pelayan meninggalkan La Toule Academy.
'Apa yang baru saja terjadi?' gumam Lina mengendikkan dua bahunya.
"Tuan, apa maksud Anda menjadikan nona muda itu guru musik? Apa Nona Agatha tak cukup pandai mengajari Anda?" tanya Jhon penasaran.
"Dia bagus, penuh energi, dan aku suka cara dia memainkan biola, Paman. bukan berarti aku tak suka dengan Nona Agatha, hanya saja aku ingin menghindari kekakuan yang selama ini aku rasakan tiap kali aku berada di rumah."
"Maksud Anda, Tuan?"
"Mereka takut padaku … mereka sungkan padaku … mereka baik padaku … hanya karena aku menyandang nama besar Regazka. Jika aku tak menyandang nama itu, apa mungkin mereka akan menghormatiku dan aku mendapat perlakuan khusus?" Seringainya.
"Saya sama sekali tak menyangka Anda berpikiran sampai sejauh itu, Tuan Muda. Anda benar-benar telah dewasa saat ini." Senyum Jhon sambil menyetir.
"Dewasa yang dipaksakan, Paman. Aku juga tak ingin menjadi dewasa secepat ini, tapi …." Dio memalingkan wajahnya, melihat gedung-gedung pencakar langit yang seolah menopag langit Jakarta. "Apa aku harus menerima saran papa kuliah di MIT, Paman?" tanyanya pelan.
"Kenapa, Tuan Muda?"
"Aku sudah lelah, jujur. Hasratku untuk bermain musik seolah sirna karena semua orang menentang dan menghalangi jalanku, seolah layar lebar membentang di depanku."
"Tapi nyonya besar mendukung Anda, Tuan Muda. Beliau bahkan menanyakan nama teman Anda yang baru saja kita antar."
"Paulina maksud Paman?"
"Benar, Tuan Muda dan nyonya bahkan berencana ingin bertemu dengannya."
"Apa? Kenapa?"
"Saya kurang tahu, Tuan. Tapi, mungkin beliau ingin terkesima setelah mendengar saya mengatakan bagaimana awal kalian bertemu."
Dio hanya menarik napas dalam-dalam. "Tapi pda akhirnya akan sama saja, Paman. Jika 'orang itu' sudah ikut campur maka tak akan ada yang bisa menghalangi, sekalipun mama." Lirih Dio menyandarkan kepalanya ke kaca mobil gelap miliknya.
"Bagaimana dengan keadaan Anda, Tuan? Apa Anda sudah merasa lebih baik?"
"Huum, lebih baik." Sahut Dio tetap menyandarkan kepalanya.
"Tuan, apa tak sebaiknya Anda mengatakan pada tuan dan nyonya besar tentang keadaan Anda? Saya khawatir jika Anda menyembunyikan lebih lama, maka …."
"Aku paham, Paman. Dokter Dimas yang akan menjadi tumbal papa. Tapi aku juga tak mau terlihat tak berguna dan lemah di depan papa, terutama mama. Paman tenang saja, aku akan baik-baik saja. Aku janji akan lebih berhati-hati Paman." Senyumnya.
Jhon hanya tersenyum simpul, meski dia tahu ada ketakutan dan kegelisahan pada pemuda 18 tahun itu.
"Dan aku ada satu permintaan, Paman."
"Apa itu, Tuan Muda?"
"Karena Bu Evi telah mengetahui tentang keadaanku, aku mau Paman 'membersihkannya' dari ingatan Bu Evi. Walau aku tahu dia bukan orang yang suka mengumbar, tapi aku tak yakin untuk kali ini, Paman."
"Baik, saya mengerti Tuan Muda."