Chereads / Dendam Terindah / Chapter 10 - Sendiri di Tengah Keramaian

Chapter 10 - Sendiri di Tengah Keramaian

"Siapa nama anak itu, Paman?"

"Paulina, Nyonya Besar." Sahut Jhon sembari menundukkan kepalanya.

"Hmm, sepertinya aku mulai mengerti kenapa Dio-ku sangat berbeda hari ini. Paman, aku minta tolong … pertemukan aku dengan gadis bernama Paulina ini. Sepertinya aku punya firasat yang bagus tentang dia." Senyum Donna memainkan sendok makannya.

"Per-temukan dengan Paulina, Nyonya? Anda?" Jhon mengernyitkan keningnya.

Donna mengangguk. "Aku tak akan percaya jika orang lain yang mengatakannya, tapi jika kau yang mengatakannya …." Donna tersenyum menoleh ke arah Jhon. "Aku langsung percaya, Paman. Karena kau yang mengasuh Dio-ku sejak kecil dan kau yang paling mengerti dia, jadi mana mungkin kau akan membohongiku, bukan?"

Jhon terdiam. Dia membungkukkan badan dan berkata, "Terima kasih Nyonya masih percaya pada saya. Akan terus saya jaga kepercayaan Nyonya Besar pada saya."

"Sudah sebaiknya begitu." Donna tersenyum tak lama kemudian meninggalkan ruang makan. "Tolong jaga Dio, Paman. Entah kenapa aku merasa ada yang janggal dengan anak itu."

Jhon tak ingin membuat Donna berpikir yang bisa mempengaruhi pekerjaannya. Sang kepala pelayan itu dengan senyum lebar mengantarkan sang majikan ke teras megah keluarga Regazka dan berkata, "Nyonya jangan khawatir tentang tuan muda. Saya akan selalu menjaga beliau seperti anak saya sendiri."

Donna mengangguk. "Aku jadi tenang Paman berkata begitu."

Tak lama setelah Donna meninggalkan kediaman Regazka, Jhon segera ke kamar Dio. Dengan langkah cepat menaiki anak tangga beralas granit hitam, Jhon mengetuk pintu kamar Dio. Namun tiada jawaban. Berulang kali mengetuk, tapi tetap saja tiada jawaban. Jhon mulai panik! Dia langsung mendobrak pintu kamar Dio tanpa pikir panjang dan melihat sang tuan muda tergeletak di lantai.

"Tuan Muda!!!" Jhon segera menghampiri tubuh Dio, memeriksa keadaannya, dan segera menghubungi dokter pribadi keluarga Regazka. Dengan resah dan gelisah, Jhon menunggu sang dokter tiba. Tak lama, Jhon melihat sebuah sedan merah masuk ke halaman depan keluarga Regazka dan segera ia tahu itu adalah mobil sang dokter. Dengan cepat, Jhon segera kamar Dio, menuju mulut anak tangga menyambut sang dokter.

"Tuan Jhon."

"Dokter, lekas! Cepat periksa tuan muda. Saya menemukan beliau pingsan."

"Lagi?" tanya sang Dokter.

John mengangguk.

"Baiklah, ayo kita lihat keadaan Tuan Dio."

Jhon dan Dimas, nama sang dokter itu segera memeriksa keadaan Dio, sementara Jhon berdiri di belakang Dimas sambil memperhatikan sang dokter memeriksa tuan mudanya.

"Bagaimana keadaan Tuan Dio, Dokter?" tanya Jhon khawatir.

"Tuan Jhon tak perlu khawatir, Tuan Dio hanya kelelahan. Apa beberapa hari ini setelah dari pingsan pertama, beliau ada kegiatan yang menguras banyak tenaganya?" tanya Dimas membereskan stetoskopnya.

"Aktivitas berlebihan? Saya rasa tidak, Dokter. Tuan Dio malah sekarang home schooling."

"Begitu?"

Jhon mengangguk. "Apa ada masalah dengan kesehatan Tuan Dio, Dokter?"

"Tuan dan Nyonya Regazka, apa mereka tahu jika Tuan Dio pernah pingsan?"

"Tidak. Tuan Dio berpesan pada saya agar saya tak memberitahu mereka."

Dimas terkejut. Melihat Jhon dengan tatapan seolah "kenapa kau mau menurut ucapannya?"

"Dokter, ada apa sebenarnya?" Jhon semakin penasaran.

"Tidak ada, Tuan Jhon. Hanya saja, apa tak sebaiknya Anda memberitahukan pada tuan dan nyonya Regazka? Agar mereka tau juga keadaan Tuan Dio."

Jhon terdiam. Dia tahu dan sadar betul konsekuensi yang akan diterima jika sang majikan sampai mengetahuinya, namun ia juga lebih paham akan perasaan Claudio jika kedua orang tuanya sampai mengetahui keadaan putra mereka, terlebih sang tuan besar yang menaruh harapan besar pada Claudio.

"Tuan Jhon?" panggil Dimas menyadarkan lamunan Jhon.

"Oh, baik. Saya mengerti, Dokter. Akan saya beritahu mereka. Segera." Senyum Jhon.

"Baiklah kalau begitu, saya tak akan memberikan resep obat pada Tuan Claudio karena ini hanya pingsan biasa. Jika ada apa-apa, segera hubungi saya."

"Baik, Dokter. Terima kasih. mari, saya antar Anda." Jhon melebarkan tangannya, mengantar Dimas keluar kamar Dio.

Tak lama, Dio tersadar dari pingsannya. Matanya lagi-lagi tak bisa melihat dengan jelas, tak seperti ketika ia pingsan di awal yang benar-benar gelap. Kali ini, samar-samar, Dio masih bisa melihat meski hanya dalam sebuah bayangan.

PRANG!

Bunyi pecahan seperti gelas pecah membuat Jhon segera bergegas ke kamar Dio dan memeriksa keadaannya.

"Tuan Dio!" pekik Jhon melihat pecahan gelas di lantai kamar Dio.

"P-Paman?" Dio yang tak bisa melihat dengan jelas harus menyembunyikannya dan pura-pura melihat ke arah pintu kamarnya.

"Anda tak apa-apa?" tanya Jhon segera membereskan pecahan gelas tersebut.

"M-maafkan aku Paman. Aku hanya terkejut kenapa aku bisa ada di tempat tidur." Ucap Dio hanya diam dan berusaha memulihkan penglihatannya

"Anda pingsan lagi, Tuan Muda."

"A-apa? Aku pingsan?" Dio sangat terkejut mendengar jawaban Jhon.

"Benar. Dokter Dimas baru saja saya antar keluar, Tuan."

Dio terdiam. Dia sama sekali tak mengerti kenapa belakangan ini dia sering pingsan dan mudah lelah. Setelah Jhon selesai membereskan pecahan gelas di lantai, kepala pelayan tersebut mendekati Dio yang masih terbaring dengan mata terbuka meski penglihatannya belum kembali normal.

"Tuan, bolehkah saya bicarakan hal ini pada Anda di saat kondisi Anda seperti sekarang?

"Apa yang ingin Paman katakan? Katakan saja." Ucap Dio mengeratkan tangannya pada selimut hijau tosca-nya.

"Apa tidak sebaiknya kita beritahu tuan dan nyonya besar tentang keadaan Tuan? Saya khawatir dengan keadaan Tuan Muda akhir-akhir ini." Jhon mengernyitkan keningnya, menatap dengan pandangan lirih pada Dio.

"Apa Paman merasa kasihan padaku?" tanya Dio dengan suara pelan.

"Tidak … tidak! Bukan seperti itu, Tuan, Tapi, saya hanya berpikir alangkah baiknya jika tuan dan nyonya juga tau tentang kesehatan Tuan Muda, karena bagaimanapun juga mereka adalah kedua orang tua Anda, Tuan Dio." Jelas Jhon menggenggam tangan Dio dan mengusap-usapnya

"Aku rindu genggaman tangan ini, Paman. Genggaman tangan yang hangat yang tak pernah aku dapatkan lagi dari seorang … ayah."

Jhon rasanya ingin menangis. Hatinya hancur remuk redam melihat anak yang telah ia asuh sejak kecil harus menderita karena egoisme salah satu kedua orang tuanya.

"Paman,"

"I-iya, Tuan Muda. Ada apa?" Jhon menahan isaknya, pria paruh baya itu mengira Dio benar-benar melihatnya menangis.

"Aku ingin bertemu dengan gadis itu."

"Gadis itu? Maksud Anda?"

"Paulina. Entah mengapa aku sangat ingin menemuinya."

Jhon tersenyum. Ia menepuk punggung tangan Dio dan berkata, "Apa Anda mulai menyukai lawan jenis Anda, Tuan?"

"A-apa? Apa maksud Paman?" gagap Dio.

"Haha, Paman juga pernah muda, Tuan. Dan hal itu wajar, mau dia pintar, kaya, miskin, tua, muda … semua punya hak untuk mencintai dan dicintai."

"Mencintai dan dicintai?"

"Benar. Anda juga punya hak itu, Tuan. Anda bukan robot, Anda manusia yang punya hati dan perasaan, terlebih, Anda masih muda. Masih panjang perjalanan Anda. Mungkin suka adalah kata yang tepat bagi Anda sekarang."

"Suka? Aku tak tahu apa itu rasa suka, bahkan aku juga tak tahu apa itu cinta atau bagaimana rasanya dicintai karena meski aku berada di tengah keramaian sekali pun, hanya ada kata sepi yang mengelilingi ku. Seolah telingaku tuli dan tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Bagi papa, aku hanya manekin dan robot yang siap dipajang dan dipakaikan apa pun." Dio tak sadar perlahan air matanya menetes mengalir membasahi pipi.

"Tuan Muda-"

"Aku … aku kesepian di tengah keramaian, Paman. Aku hanya ingin ada orang yang bisa menjadi temanku tanpa memandang status dan nama besar Regazka," tangis Dio mulai pecah. Tak biasanya ia menangis jika bukan karena sesuatu yang besar.

'Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan agar Tuan Dio bisa keluar dari keterpurukannya?