Bandara CGK
"Nes, kamu udah siapin buket bunganya, kan?" tanya George membetulkan dasi kupu-kupu hitamnnya di dalam mobil.
"Sudah, Pi." Sahut Agnes tanpa semangat seolah menyesali keputusan yang telah ia ambil.
Sehari sebelumnya,
"Kamu yakin dengan keputusan kamu, Nes? Kamu ga akan datang ke pagelaran musik klasik besok malam? Dia hanya sehari lagi, lho di Indonesia, besok beliau akan kembali ke negaranya."
"Iya, Nona Odele. Maafkan saya, tapi …."
"Ya sudah, ga apa-apa. Ibu tahu kok gimana perasaan kamu. Mami udah lama ga pulang dan semoga kali ini kepulangannya bisa lama, ya di Indonesia." Odele menepuk bahu kiri Agnes lembut.
Saat ini,
'Hah, apakah benar yang aku lakukan sekarang? Menyia-nyiakan kesempatan emas bertemu dengan musisi klasik terkenal, tapi sekarang … di sinilah aku. Dikelilingi deru pesawat, kilatan blitz, sorak sorai ramai orang menyambut, bermacam warna bunga dengan ucapan 'selamat datang' serta ucapan bahagia lainnya, tapi aku tahu itu bukan untukku. Semua itu adalah untuk Abigail Juan Perero … mamiku.
"Ayo, Nes kita turun dan jangan pasang wajah seperti itu! Akan ada banyak fans mami kamu dan para petinggi tempat mami kamu bekerja, jadi, please watch your behave!" George benar-benar menegaskan kata-katanya.
Agnes membetulkan gaun polkadot totol hitam-putih yang dikombinasikan dengan topi fascinator serta sepatu flat hitam keluaran mode ternama dunia memberikan kesan anggun sekaligus misterius pada Agnes. Keduanya menunggu di pintu keluar kedatangan luar negeri berbaur dengan beberapa wartawan, fans, serta para petinggi di perusahaan tempat Abigail bernaung.
"Gimana menurut kamu, Nes?" tanya George yang memakai kacamata hitam sesuai dengan bentuk wajah dan pas di penampilannya itu memukau beberapa wanita yang melihatnya, namun tak digubris oleh George.
"Gimana apanya, Pi?" tanya Agnes datar.
"Euforia-nya … atmosfernya … lihat orang-orang ini! Entah apa yang mereka tunggu? Papi ga ngerti sama sekali dengan pola pikir mereka." George memandang remeh orang-orang yang membawa spanduk, bunga, serta kartu yang berisi tulisan ucapan selamat pada sang mami.
"Bukankah itu tandanya mami dikenal dan disayang banyak orang? Kenapa? Papi cemburu?" sahut Agnes sedikit membuat George tersentak.
"Kau!!"
"Selamat sore, Tuan George. Lama tak bertemu." Seorang pria berbadan tambun dan sedikit tinggi menghampiri ayah-anak itu.
"Oh Tuan Lame, apa kabar? Lama tak bertemu." George segera melayangkan tangannya, menyambut uluran tangan pria paruh baya yang juga salah satu petinggi di perusahaan tempat mami Agnes bekerja
"Baik, George. Seperti yang kau lihat. Aku selalu sehat dan bahagia." Tawa Tuan Lame kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Agnes yang berdiri di samping sang papi.
"Dia-" tunjuk Tuan Lame.
"Oh, ini putri kami, Gema Melody Agnesia. Nes, ayo, kenalkan ini Tuan Lame, teman mami."
"Halo, Tuan Lame. Apa kabar? Senang bertemu dengan Anda." Agnes mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Persis seperti Nyonya Abigail, cantik, manis, dan berbakat."
Agnes hanya tersenyum simpul. Ia tak menghiraukan tapi juga tak mengacuhkan ucapan lelaki paruh baya tersebut.
"Apakah putri Anda juga bermain musik seperti Nyonya Abigail, Tuan George?" tanya Tuan Lame antusias.
"Dia-"
"Ya, saya bermain biola, Tuan." Agnes langsung memotong ucapan sang papi tanpa ragu.
George sangat kesal dengan kelakuan putrinya, tapi ia adalah pria yang haus akan reputasi dan nama baik. Karenanya, George menyembunyikan kekesalannya pada sang putri dengan memasang senyum simpul dan segera berpamitan dengan Tuan Lame.
"Permisi, Tuan Lame. Kami akan menunggu di pintu kedatangan, karena Agnes akan memberikan buket bunga ini untuk Abigail, maklum Abi jarang pulang lama di Indonesia, jadi … yah, Anda tahu apa yang saya maksud, Tuan Lame." Basa-basi George segera menarik lengan Agnes.
"Oh, silakan, Tuan George. Saya mengerti, memiliki istri seorang musisi kelas dunia membuat waktu kalian jadi berkurang, tapi Nes, percayalah, mami kamu bekerja untuk kamu, tiada yang lain. Kamu akan jadi putri kebanggaannya." Papar Lame dengan senyum mengembang.
"Permisi, Tuan Lame." George buru-buru menghalau Agnes agar tak lama-lama bicara dengan Tuan Lame.
"Sepertinya Tuan Lame orang yang baik, Pi? Papi kenapa kayak ga suka gitu sama beliau?" penasaran Agnes melihat ekspresi George yang tampak kesal.
"Jangan ikut campur urusan orang dewasa! Kamu belum cukup umur!" tegas George, tak lama keduanya melihat para penumpang pesawat dari London mulai keluar satu per satu di pintu kedatangan. Para paparazzi yang sudah siap dengan blitz-nya mulai ambil ancang-ancang, takut-takut mereka tak bisa mengambil gambar Abigail.
Agnes dan sang papi berdiri di belakang barisan antara paparazi dan para fans sang mami, sementara para tuan Lame dan teman-temannya menunggu tak jauh dari pintu kedatangan. Perasaan Agnes langsung bercampur aduk manakala melihat kerumunan orang-orang yang menyambut sang mami tampak begitu antusias. Dirinya jadi membayangkan jika seandainya ia seperti sang mami, apakah ia juga akan mendapatkan perlakuan yang sama?
"Abigail … Abigail … Abigail …." sorak sorai para fans menyambut kedatangan Abigail sambil melambaikan tangannya, begitu pula dengan blitz para paparazi yang telah mengambil gambar, menyilaukan mata namun ia mesti tetap tersenyum dan melambaikan tangan pada para fans-nya. Terlihat, seorang wanita rambut pendek hitam yang berdiri di sebelah Abigail sedang berbisik padanya. Tak lama, Abigail melihat ke arah George dan Agnes dan dengan langkah serta senyum lebar menghampiri George dan Agnes.
"Sayang!" Abigail langsung memeluk keduanya. Agnes yang tak bisa menahan air matanya terus meneteskan kristal bening membasahi pipi dan tangannya, memeluk erat sang mami yang sudah lama tak dipeluknya.
"Agnes kangen Mami, jangan pergi lagi, Mi." Gadis itu mengeratkan tangannya tambah kencang di leher Abigail.
"Maafkan Mami, Sayang. Mami janji Mami ga akan ninggalin kalian lagi." Abigail memeluk erat suami dan anaknya. Momen haru itu tentu saja akan sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Walhasil, lampu-lampu blitz kini mengarah pada Abigail dan keluarganya. Wajah Agnes yang sebelumnya tak pernah disorot, kini mulai terkena blitz-blitz kamera yang menyilaukan. Sontak, Agnes menutupi wajahnya dan ia tak mau teman-teman satu sekolahnya mengetahui identitasnya yang sebenarnya.
Banyak para wartawan yang ingin mewawancarai Abigail, tapi ketatnya penjagaan membuat mereka tak dapat menjangkau Abigail dan ketiganya dibawa menuju kendaraan,
"Fiuh, sudah lama sekali aku tak merasakan sensasi seperti ini." Ujar Abi yang langsung menggelung rambut panjang brunette-nya dan memperlihatkan leher jenjang indah miliknya yang dipagari kalung berlian putih bersilau.
"Kau tampak kurusan, Sayang. Apa jadwalmu sangat padat di sana?" tanya George memperhatikan sang istri yang tak tampak lelah.
"Very! Sangat … sangat padat, tapi aku suka. Mereka sangat menyukai musik yang aku bawakan, Sayang." Senyum lebar wanita berdarah Brazil itu kemudian mengalihkan pandangannya pada putri tercinta yang sejak tadi hanya termenung melihat pemandangan luar.
"Sayang, gimana latihanmu?" tanya Abigail pelan.
"A-"
Belum sempat Agnes menjawabnya, ponsel Abigail berdering dan sang mami menyetop mulut Agnes yang sedang ternganga.
"Iya, hallo, Tuan Lame. Iya, saya sudah sampai. Tuan ada di mana? Kenapa saya tak melihat Anda?"
[Aku ada di dekat pintu kedatangan dan sempat berbincang dengan suami serta putrimu. Abi, putrimu … aku punya feeling yang bagus tentangnya.]
Abigail segera melihat ke arah Agnes yang kembali memalingkan wajahnya dan George yang sibuk dengan ponsel pintarnya.
"Maksud Anda, Tuan?"
[Kita akan bicarakan di pesta penyambutanmu malam nanti. Kuharap kau akan datang bersama dengan putrimu, Abi. Aku melihat potensi yang sangat besar di diri putrimu. Ajak dia, oke.]
Tuan Lame mematikan ponselnya tak lama setelahnya. Abi yang masih penasaran dengan ucapan bos-nya itu kemudian berkata, "Sayang, bagaimana kabar La Toule hari ini? Bukankah kau seharusnya latihan? Kenapa malah ada di sini?"
Agnes rasanya ingin teriak, menangis, membenturkan kepalanya ke jendela yang ada di depannya sekarang! Bagaimana mungkin seorang ibu tega berkata seperti itu? Bagaimana mungkin seorang ibu tak bisa merasakan apa yang anaknya rasakan setelah beberapa minggu, bahkan bulan tak bertemu. Apakah hanya ada latihan … latihan … dan latihan di kepala sang mami?
Dengan perasaan hancur, Agnes berkata memelankan suaranya, "Agnes rindu Mami."
"Apa? Apa katamu barusan? Rindu? Haduh, Agnes! Jangan lebay, deh. Kerinduan kamu itu kan bisa ditahan nanti-nanti kalau sampai rumah, kamu bisa lepas semua kangen kamu sama Mami! Tapi kalau untuk latihan, kamu bolos sehari aja, maka kamu akan rugi! George, apakah kamu yang meminta Agnes untuk ikut menjemputku?" Abigail kini menyalangkan matanya ke arah sang suami.
"Sehari saja ga ikut latihan, apa salahnya si, Mi? Toh, Agnes juga sudah mahir dengan beberapa instrumen. Beri dia istirahat dulu. Lagipula, Papi ada rencana mau kirim Agnes ke Inggris, kuliah di Oxford." Ujar George santai menanggapi sikap Abigail yang tak bisa meredam emosinya.
"Oxford? Kenapa tiba-tiba? Kapan kau merencanakannya? Kenapa aku tak diberitahu, George?" Abigail mulai meninggikan suaranya. Sementara Agnes mulai ketakutan dan cemas dirinya akan menjadi bulan-bulanan kedua orang tuanya.
"Sudahlah, Abigail! Kenapa kau tak pernah bisa meredam temperamen-mu! Sejak dulu kau yang selalu mengatur segalanya, padahal aku yang menjadi kepala rumah tangganya! Aku mengirim Agnes ke Inggris karena aku tahu hanya di sanalah Agnes bisa menjadi orang yang berhasil dan sukses! Dan dia akan meneruskan perusahaanku!" tegas George menatap tajam ke sang istri.
Abigail diam. Dia melirik Agnes dan berkata dengan nada dingin, "Apa kau sudah memberitahu Papi soal surat itu, Nes?"
Agnes seketika gugup! Dia melihat ke arah Abigail dengan penuh tatapan cemas dan takut. "Surat? Surat apa?" tanya George penasaran. "Nes, apa kamu menyembunyikan sesuatu dari Papi?"
Kini, kedua orang tua Agnes bagai macan dan singa yang bertarung demi memperebutkan sebuah hidangan utama. Agnes hanya bisa menelan saliva-nya. Jemarinya gemetar, tubuhnya serasa kaku dan mati rasa. Bibirnya tak dapat berucap. Sementara George dan Abigail terus memperhatikannya dengan mata menyalang.
"Nes, kenapa diam? Surat apa yang dimaksud Mami?" tanya George sekali lagi.
"I-itu …." Agnes menggigit bibir bawahnya, memilin ujung gaun polkadotnya sembari menundukkan pandangannya.
"Salah satu gurunya memberikan beasiswa musik ke Le Conservatoire Music Paris, dan aku yakin itu dari pengajar La Toule. Berani-beraninya mereka memberikan lamaran beasiswa pada putri seorang investor terbesar di tempat itu!" geram Abigail.
"Apa itu benar, Agnes?" George melihat kedua tangan Agnes gemetar. "Agnes!" sentak George.
"Sudahlah, George. Biarkan Agnes merenungi kesalahannya. Aku tak mau mood-ku rusak, karena malam ini Tuan Lame akan mengadakan acara penyambutan untukku dan dia mau aku membawa Agnes."
"Kenapa Agnes harus ikut juga?" tanya George penasaran.
"Entahlah, tapi mata orang tua itu tak pernah salah."
"Maksudmu?"
Abigail menghiraukan pertanyaan sang suami dan mendekatkan wajahnya ke Agnes yang duduk di sampingnya. "Bagaimana latihanmu, Agnes? Apa yang dikatakan Nona Odele padamu?"
"B-bagus, Mi. Nona Odele mengatakan padaku jika latihanku tak mengecewakan-"
"Bagus!" Abigail langsung memotong ucapan Agnes dan membuatnya terkejut.
"Tunjukkan di hadapan Mami dan para kolega serta sponsor Mami nanti malam!" perintah Abigail.
"A-apa, Mi?"