Agnes yang terus berada di toilet sepanjang pesta berlangsung tak habis pikir bagaimana maminya bisa memperlakukan dirinya sedemikian rupa. Ia merasa sangat dipermalukan! Dihina! Direndahkan! Diinjak-injak harga dirinya, sakit yang benar-benar sesakit-sakitnya. Ia masih bisa menerima jika yang menyakiti orang lain, tapi ini adalah Abigail Juan Perero! Sang mami yang begitu ia puja. Agnes tak lagi memedulikan riasan serta pakaian yang ia kenakan. Ia tak peduli lagi dengan apa yang akan diucapkan oleh orang-orang di sekitarnya. Selama ini … selama ini ia hanya mendengarkan nasihat sang mami tanpa memedulikan suara hatinya yang terus berteriak memberontak! Ia menutup telinganya, membungkam mulutnya! Menutup matanya dari semua hal yang harusnya bisa ia nikmati di masa mudanya. Tapi kini apa! Apa yang tersisa dari dirinya? Tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari dirinya, bahkan gadis ini kini benar-benar kehilangan kepercayaan pada dirinya dan sang mami.
Isak tangis Agnes berhenti ketika ia mendengar suara beberapa wanita yang membicarakan sang mami sambil tertawa lepas. Agnes mendengarkan dari balik toilet tanpa mereka ketahui. Sambil menutup mulutnya, Agnes mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulut para wanita itu.
"Aku benar-benar tak menyangka Nona Abigail bisa begitu kejam pada putrinya sendiri. Benar-benar wanita yang sulit ditebak."
"Haha, kau benar. Aku pun sempat terkejut ketika Nona Abigail menyebut nama putri Tuan Wardana. Padahal, dia tak ada apa-apanya dibanding dengan Nona Agnes."
"Kau benar! Dari penampilannya saja, dia kalah jauh, tapi harus kuakui kemampuan musiknya tak begitu buruk."
"Kau benar. Kudengar, beberapa kali dia memainkan musiknya di taman tengah kota dan cukup banyak yang memberikan pujian padanya. Aku jadi penasaran dengan permainan musik Nona Agnes. Apakah ia sehebat maminya?"
Percakapan yang cukup membuat telinga Agnes terbakar dan darah Agnes mendidih. Para wanita penggosip itu akhirnya keluar dari toilet dan tak lama Agnes keluar setelah memastikan mereka semua benar-benar sudah keluar.
'Paulina! Dulu aku tak bisa membencimu, tapi sekarang …"
"Aku benar-benar membencimu, PAULINA!" ucapnya Agnes geram sambil menatap dirinya di cermin toilet dengan tatapan tajam.
***
Riuh tepuk tangan terdengar ke seluruh ruangan saat Abigail dan Paulina selesai menunjukkan kepiawaian mereka bermain bersama. Sebuah pelukan erat dengan senyum mengembang ditunjukkan di wajah Abigail dan mencium kening Paulina. Agnes melihat adegan mereka di sudut ruang pesta tersebut. Gadis itu kemudian menghampiri sang mami dan temannya dengan ekspresi datar serta tatapan mata tajam. Abigail dan Paulina yang turun dari panggung tak henti-hentinya mendapat pujian dari para tamu undangan yang hadir di sana, termasuk Tuan Wardana, papa Paulina. Dengan senyum lebar, pria berumur 40-an itu menyambut putri tercinta dengan tepuk tangan tiada henti. Rasa puas dan bangga terlihat jelas di wajah pria itu, Agnes yang semakin lama semakin mendekati keduanya segera menjadi bahan pembicaraan para tamu. Tak sedikit yang menaruh iba pada putri kandung Abigail-George itu, namun tak sedikit pula yang mencibir dan meremehkan Agnes di belakangnya.
Paulina langsung terdiam. Wanita berparas ayu dengan mengenakan strapless metallic gaun itu menundukkan kepalanya, dan hanya memandangi alas kaki yang ia kenakan. Agnes melihatnya dengan dagu yang dinaikkan sedikit, tatapan mata yang tajam, serta sunggingan senyum yang seolah menyindir sang teman dekat.
"Selamat, ya, Lina. Permainanmu benar-benar sempurna. Tak salah jika SMA Eskaritas menerimamu menjadi murid mereka." Senyum sungging Agnes.
"Kau harus belajar banyak dari Lina, Agnes. Lihat bagaimana jarinya menggesek tiap senar dengan sempurna," Abigail tanpa henti memuji Paulina.
Melirik, Agnes kemudian menyahut, "Ya, aku melihatnya, Mi. Jarinya sempurna, bahkan terlalu sempurna untuk seorang pemain biola pemula."
George mulai merasakan putrinya cemburu dan menarik lengannya tiba-tiba. Mengajak Agnes ke meja beverage dan membiarkan putrinya meredakan tegangnya. "Ada apa, Pi?" tanya Agnes tiba-tiba.
"Kau harusnya tahu kau sedang ada di mana sekarang." George menatap putrinya tajam.
"Apa ada yang salah?" Agnes masih tak mengerti.
Menarik napas dan memperhatikan pandangan para tamu ke arah mereka, sang Papi kemudian berkata, "Jika kau ingin mendapat pengakuan dari mami, maka kau harus bekerja dengan sangat keras. Papi yakin kau tahu apa yang Papi maksud, Nes." George mengangkat gelas wine-nya, sementara Agnes menoleh ke belakang melihat Paulina yang masih digandeng Abigail, Tuan Lame, dan papa Paulina, Tuan Wardana.
Tanpa sengaja, mata Paulina bertemu tatap dengan Agnes. Mata menyalang Agnes membuat gadis ayu itu salah tingkah dan kikuk. Abigail yang melihat perubahan ekspresi dan sikap Paulina kemudian berkata, "Kenapa Paulina? Apa kau sakit? Wajahmu pucat."
"T-tidak ada, Nyonya Abigail. S-saya baik-baik saja." Ucap Paulina masih menundukkan pandangannya.
"Sayang, benar kau baik-baik saja?" tanya Tuan Wardana langsung memegang jari putrinya.
"Pa, tolong antar Paulina mengambil biola Lina," pintanya memelas.
Sang Papa tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menurutinya. Setelah berpamitan dengan Abigail dan Tuan Lame, Paulina beserta sang papa meninggalkan mereka dan pergi ke belakang panggung. Abigail yang penasaran, melihat sekeliling yang mampu dijamah oleh matanya. Ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan, kecuali satu … wanita cantik itu melihat putrinya yang sedang menikmati orange juice di sebuah sudut ruang pesta itu yang mencolok mata. Abigail menyeringai, entah apa yang dipikirkan wanita itu. Ia tidak serta-merta langsung menghampiri putrinya. Ia terus memperhatikan sikap Agnes selama di pesta. Tuan Lame yang memperhatikan ekspresi Abigail ikut mencari "objek" yang menjadi target mata sang mega bintang.
"Aku agak terkejut dengan tindakanmu, Nyonya Abigail. Apa kau tak merasa tak enak hati bagaimana putrimu melihat Nona Paulina?" Tuan Lame tersenyum simpul menoleh ke arah Abigail yang terus memperhatikan sang putri sambil menyeringai.
"Rasa itu pasti ada, Tuan Lame. Tapi, aku tak mau Agnes menerima sesuatu yang belum siap ia terima. Aku yakin dia pasti sakit hati melihat maminya bermain dengan teman baiknya dan bukan dirinya, tapi jika ia mau berpikir dengan tenang, ia pasti bisa menerima apa yang kulakukan malam ini." Abigail dengan seringainya penuh percaya diri membela tindakannya.
Tuan Lame hanya menarik napas dan berlalu sambil berkata, "Abigail, aku hanya ingin mengingatkanmu jangan sampai kau melakukan kesalahan yang sama seperti yang kau lakukan dengan George. Putrimu tak tahu apa-apa, dia hanya ingin seperti dirimu, aku melihat Agnes memiliki bakat yang luar biasa, melebihi dari apa pun yang kau punya."
Abigail terdiam. Wanita itu melihat sang Bos Minerva Record Company dengan tatapan heran, "Maksud Anda, Tuan Lame? Kesalahanku dengan George?" Abigail menaikkan salah satu alisnya.
"Kau yang paling paham, Abigail. Jika tak ingin hal itu kembali terulang, maka sebaiknya … berubahlah."