Chereads / Dendam Terindah / Chapter 13 - Tertusuk Dari Belakang

Chapter 13 - Tertusuk Dari Belakang

Hotel Sampoerna, Jakarta

Gaun mewah, blitz yang terus menyala menyorot para tamu undangan yang datang, berbagai kendaraan yang mewah, serta wajah-wajah yang cantik dan tampan wara-wiri di karpet merah sebuah hotel mewah di salah satu hotel bintang lima di jantung ibukota. Sebuah pesta yang sengaja digelar untuk menyambut kepulangan Abigail Juan Perero, salah seorang musikus, pianis, penulis lagu, komposer, hingga produser, namun namanya lebih dikenal sebagai seorang pianis. Sebuah Rolls Royce putih berhenti tepat di depan hotel mewah tersebut dan sepasang kaki jenjang dengan sepatu heel setinggi 10 cm nan mewah keluar dari mobil tersebut.

Wanita dengan rambut crown braid itu langsung menyita perhatian paparazi yang berada di sekitaran karpet merah. Senyum yang mengembang, lambaian tangan, blitz yang terus menyorot dirinya … benar-benar membuat Abigail menjadi bintang malam ini. Selain itu, gaun malam yang dikenakan ibunda Gema Melodi Agnesia ini berhasil membuat mata para tamu undangan yang juga lalu-lalang di karpet merah itu tak berhenti menatapnya. Gaun biru model strapless dengan bahan satin benar-benar membuat Abigail layaknya seorang ratu, ditambah kalung berlian dengan liontin warna senada dengan gaun yang dikenakannya. Benar-benar layaknya seorang bangsawan.

Blitz para paparazi kini mengarah ke gadis yang berdiri di belakang Abigail, dialah Agnes yang datang dengan mengenakan gaun dengan jenis yang sama dengan sang mami, strapless namun dengan model berbeda. The angelique tulip strapless gaun yang dikenakan oleh Agnes juga tak kalah menyedot perhatian para paparazi dan para tamu yang ada di karpet merah tersebut. Gaya rambut flower braid bun yang dibentuk di kepalanya membuat Agnes memancarkan aura cantik dan bintangnya. Begitu pula dengan sang papi, George yang mengenakan tuksedo dengan jas asimetris pada bagian belakangnya, layaknya bangsawan tempo dulu. Ketiganya kemudian menjadi rebutan para paparazi yang ada di tempat itu hingga tak menyadari kehadiran Tuan Lame sebagai petinggi dari Minerva Record Company, perusahaan yang menaungi Abigail Juan Perero.

"Ah, Tuan Lame. Apa kabar? Maaf atas ketidaknyamanan ini, ya." Abigail memberikan pelukan hangat pada lelaki paruh baya tersebut, begitu pula George dan diikuti kemudian oleh Agnes.

"Siapa dia?" tanya Tuan Lame memperhatikan saksama dan wajah antusias.

"Bukankah dia putriku, Tuan Lame? Gema Melody Agnesia?" Abigail mengalungkan tangannya ke pinggang ramping Agnes sambil tertawa di tengah sorotan blitz kamera.

"Benarkah? Apa ka yakin, Nona Abigail? Karena menurutku Agnes tak pantas jadi anakmu."

Agnes, George, dan Abigail terkejut mendengar ucapan Lame. "Dia pantasnya menjadi adikmu, Nona Abigail." Kelakar Tuan Lame yang mengundang banyak perhatian para tamu.

"Selera humor Anda memang sangat anti-mainstream, Tuan Lame." Balas senyum Abigail.

"Haha, halo, Tuan George? Apa kabar? Anda tampak gagah dalam balutan tuksedo ini. Saya sempat tak mengenali Anda."

"Terima kasih atas pujian Anda, Tuan Lame. Saya merasa sangat terhormat." George membungkukkan setengah badannya seraya menyilangkan tangan kanannya menempel ke pundak kirinya.

"Haha, sayalah yang justru sangat terhormat bisa bertemu dengan Anda dan istri Anda, apalagi bisa bertemu dengan Agnes." Tuan Lame tak henti-hentinya menatap Agnes dengan penuh kekaguman dan mata binar, entah apa yang ada di pikiran laki-laki yang lebih cocok dipanggil kakek itu, membuat Agnes merasa tak nyaman. "Mari, silakan. Kita masuk." Tuan Lame dan beberapa orang dari Minerva Record Company kemudian masuk ke dalam hotel tersebut, dan tak lama berselang sebuah sedan keluaran Amerika berhenti di depan hotel Sampoerna dan lagi-lagi para paparazi mendaratkan blitz mereka ke arah kendaraan tersebut.

Seorang pria dengan tuksedo warna putih keluar dari kendaraan mewah tersebut sambil melambaikan tangan dengan senyum melebar. "Tuan Wardana! Tuan Wardana …."

Abigail yang telah mencapai muka pintu hotel tersebut sekilas mendengar nama Wardana disebut-sebut, wanita tinggi bak model itu segera menengok ke arah belakang sambil menyunggingkan senyumnya sebelum akhirnya ia masuk ke dalam ruang pesta utama bertemu para tamu undangan lainnya.

Agnes yang baru pertama kali datang ke pesta gala langsung menunjukkan kekagumannya, ekspresi yang tak bisa dikatakan dengan kata-kata! Gadis itu terus mendongakkan kepalanya ke atas melihat dengan sangat jelas lampu-lampu kristal, sorot kamera, makanan mewah, busana mewah, dan paling penting … dia kini berdiri di tengah-tengah kerumunan orang-orang terkenal, berpengaruh di bidangnya, terutama musik. Maklum, sang mami memang dikenal selain sebagai pianis, ia juga seorang influencer. Jadi tak mengherankan dengan mudah, orang-orang langsung mengenali dan memberinya ucapan selamat.

Agnes sendiri, ia merasa sedang di dunia asing bersama dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan dirinya. Sang mami langsung melepas dirinya dan lebih banyak bersama dengan Tuan Lame betemu dengan para koleganya. Sementara sang papi tampaknya tak merasa terganggu, terkesan cuek sambil memegang gelas berkaki berisi wine kualitas dunia.

"Papi tahu gimana perasaan kamu, Nes. Berada di tengah kerumunan orang-orang yang belum pernah kamu ketahui, kamu kenal, membuat kamu insecure. Tapi, percayalah, suatu saat kamu akan perlu berada di tempat seperti ini, bergaul dengan mereka, bicara seperti mereka, karena dari merekalah, semua yang berguna bagi hidup dan karirmu kelak, akan kau rasakan. "M-maksud Papi gimana? Agnes ga ngerti." Sahut gadis itu menatap serius sang papi di sampingnya.

"Tak ada yang perlu kau mengerti, Nes. Nikmati saja pesta malam ini. Karena belum tentu kau akan bisa bertemu dengan orang-orang ini lagi." George melangkah tersenyum dengan teman-teman Abigail sambil bersalaman dengan mereka. Agnes benar-benar tak mengerti apa yang dikatakan oleh sang papi. Yang ia tahu, sang mami adalah orang yang benar-benar memiliki pengaruh yang besar.

'Aku memang bukan siapa-siapa di depan mami. Mami begitu dipuja, istimewa, bertalenta, sedang aku ….' Agnes menundukkan kepalanya, melihat sepasang sepatu mahal dan bagus yang menutupi kedua kakinya.

"Selamat malam, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya …."

Suara berat seorang pria yang disorot lampu sangat terang membuatnya menjadi pusat perhatian para tamu undangan. "Malam ini adalah malam yang sangat membahagiakan karena malam ini kita akan menyambut kepulangan seorang artis yang serba bisa, seorang wanita yang dianugerahi kemampuan bermusik yang tak perku diragukan lagi kualitasnya, wanita dengan segudang prestasi, siapa lagi kalau bukan … Abigail Juan Perero …." Sorak sorai para tamu undangan, lampu sorot yang langsung menyorot Abigail membuat Agnes bangga sekaligus menciutkan nyalinya. Ia seketika teringat dengan tantangan sang mami yang menginginkan dirinya bermain bersama sang mami.

"Nyonya Abigail, silakan memberikan sedikit sambutan ke atas panggung." Sorot kamera tak pernah berhenti memperlihatkan sosok seorang Abigail Juan Perero. Blitz yang bertebaran serta riuh tepuk tangan para tamu undangan yang tak pernah berhenti saat sang mami akan naik ke atas panggung menunjukkan betapa kuatnya pesona sang mami. Agnes tersenyum lebar sekaligus gugup ketika nanti sang mami memanggil namanya ke atas panggung dan bermain dengannya.

"Terima kasih atas sambutan dan pesta yang benar-benar membuatku sangat terharu. Tuan Lame, orang yang pertama kali melihat bakatku ketika aku masih muda, dialah orang yang paham dan mengerti tentang diriku, apa yang aku inginkan, dan mngajarkanku tentang makna bermusik. Dan kini, jika bukan karena beliau, aku tak akan berdiri di sini, menjelajah tempat-tempat di dunia yang bahkan tak pernah ada dalam bayanganku. Terima kasih banyak, Tuan Lame atas perhatian dan kepercayaan Anda selama ini. Dan kini, aku dengan bangga akan menunjukkan sesuatu yang belum pernah kalian lihat sebelumnya."

Sontak, orang-orang yang berada di pesta itu bertanya-tanya dan menerka apa yang akan dilakukan oleh Abigail. Rasa gugup Agnes semakin memuncak! Ia tak dapat menahan keringat dingin dan menyembunyikan wajah pucat menunggu detik-detik sang mami memanggil namanya."

"Malam ini, aku akan bermain dengan seorang anak yang bertalenta, insting bermusik yang belum pernah aku temui sebelumnya, gadis yang baru berusia 18 tahun, namun musikalitasnya tak perlu diragukan. Apa kalian penasaran ingin tahu siapa?" goda Abigail membuat para tamu tertawa, namun tidak dengan Agnes yang semakin berdegup kencang dan bersiap-siap melangkah.

"Baiklah, jika kalian sangat penasaran, mari beri tepuk tangan yang meriah untuk … Paulina."

"Apa? P-Paulina?" Mata Agnes terbelalak membulat sempurna. Rasa gugup dan jantung berdegupnya langsung hilang seketika saat sang mami dengan senyum mengembang dan semangatnya memanggil nama yang tak lain adalah teman dekatnya.

'Kenapa … kenapa Mami tega melakukannya? Kenapa Mami …'

"Permainannya lumayan." Ucap George tiba-tiba saat melihat kolaborasi Abigail-Paulina. Agnes menoleh ke arah papinya yang kelihatan begitu menikmati permainan mami dan temannya itu. Sambil mengepalkan tangan, Agnes berpamitan pada sang papi ingin ke toilet. Hanya anggukan yang Agnes dapatkan, tanpa berlama ia di tempat itu, kaki kecilnya melangkah cepat meninggalkan ruang pesta, cepat dan semakin cepat Agnes melangkah dengan air mata yang mulai jatuh di pipinya dan tak sadar ia telah menabrak seseorang hingga keduanya terjatuh.

"Auww!" sahut suara berat seorang pria yang ditabrak olehnya mengusap-ussap panggulnya.

Agnes yang juga terjatuh langsung terbangun tanpa memikirkan dirinya yang juga mengalami sakit di bagian panggul sebelah kirinya. "M-maaf. Maafkan saya, Anda tak apa-apa? Mari saya bantu berdiri." Dengan heels yang cukup tinggi, sebenarnya cukup menyulitkan Agnes membantu pria paruh baya itu berdiri, namun karena ini kesalahannya, ia harus bertanggung jawab.

"Maafkan, saya Tuan. Saya tidak melihat ada orang di depan saya." Kilah Agnes menundukkan kepala.

"Ah, tidak apa-apa, Nak. Aku juga baik-baik saja. Lain kali kalau jalan hati-hati, ya." Senyum pria itu menepuk bahu kanan Agnes. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat wajah pria itu dan sang pria tampak terkejut ketika melihat Agnes.

"K-kamu …."

"M-maaf, permisi, Tuan." Agnes segera membungkukkan badannya dan berpaling dari pria tersebut menjauh darinya.

'Dia … sepertinya aku pernah melihat gadis itu, tapi di mana, ya?' gumam pria tersebut terus melihat punggung Agnes yang semakin menghilang.

Di dalam toilet, Agnes mengurung dan menangis sesenggukan. Dia sama sekali tak menyangka maminya mampu mempermainkan perasaannya. Ia yang begitu mempercayai sang mami, kini di depan matanya … nyata-nyata merendahkan harga dirinya. Agnes terus menangis, mengepalkan tangannya kencang dan berpikir jika ia mati apa maminya akan senang dan tenang.

'Mami yang aku banggakan … mami yang aku puja … mami yang selalu menjadi kiblatku bermusik, kini … kini menghancurkan semua yang aku cita-citakan. Apa … apa aku harus pergi dari dunia ini dan baru dia akan senang?'