"Mami ingin kamu memperlihatkan kepiawaianmu bermain biola, tenang saja Mami juga akan ikut bermain denganmu." Abigail tersenyum tanpa beban.
Agnes tentu saja terkejut dengan ucapan sang mami yang seenaknya menyuruhnya bermain di depan orang banyak tanpa ada reherseal.
"Kenapa kamu diam, Nes?" Abigail penasaran dengan sikap Agnes yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam setelah kepulangannya. "Nes, kamu ga seneng Mami pulang?"
"K-kenapa Mami bicara begitu? Agnes senang Mami pulang, Agnes rindu Mami." Ucap Agnes lirih menundukkan kepalanya.
"Kalau kamu kangen Mami, penuhi permintaan Mami dan akan Mami kabulkan permintaanmu."
Agnes langsung mendongakkan kepalanya, bersemangat sambil berkata, "Benarkah, Mi? Mami akan kabulkan permintaan Agnes?" seulas senyum terpatri di wajah cantik gadis itu.
"Kapan Mami pernah bohong? Ikuti saja kata-kata Mami dan kau akan dapat keinginanmu." Abigail meyakinkan Agnes sambil memeriksa ponsel pintarnya, sedangkan George hanya melihat dengan ekspresi datar istri dan anaknya.
Mobil Rolls Royce putih milik Abigail akhirnya tiba di teras kediaman Perero. Sambutan dari para asisten rumah tangga telah terlihat di depan pintu utama dengan seorang di antara mereka membawakan buket bunga mawar putih kesukaan sang majikan.
"Selamat datang, Nyonya Besar." Ucap salah satu asisten rumah tangga mereka membungkukkan badan.
"Terima kasih, Cleo. Bunga yang sangat indah dan wangi." Ucap Abigail mencium bunga kesukaannya itu.
"Siapkan pakaianku, Cleo. Dua jam lagi aku harus menghadiri pesta penyambutanku, dan juga siapkan baju untuk Nona Agnes."
"Baik, Nyonya Besar."
"Agnes, kau harus tampil cantik, anggun, elegan, pokoknya harus jadi yang paling di antara semua para tamu yang akan datang malam ini." Senyum Abigail meninggalkan Agnes dan George dan pergi ke kamarnya.
"Kau lihat sekarang, Nes? Bagaimana Abigail memperlakukanmu sebagai seorang 'anak'? George melihat punggung sang istri dengan wajah seringai yang Agnes yakin itu bukan wajah seorang suami yang merindukan istrinya. "Apa kau yakin akan menuruti keinginan mami-mu, Nes? Kata-katanya … kau bisa mempercayainya?" George tiba-tiba menoleh ke arah Agnes dan membuatnya terkejut.
"Maafkan Agnes, Pi. Karena Agnes tak memberitahu Papi soal beasiswa itu."
"Masa bodoh dengan itu, Nes! Papi kan sudah bilang Papi sama sekali tak tertarik dengan musik, apalagi jika kau sampai menginjakkan kaki di Le Conservatoire. Kau nekat … Papi bisa lebih nekat, Sayang." George menjapit dagu Agnes dengan seringai kemudian meninggalkannya menyusul Abigail.
Agnes tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan! Hidupnya saat ini benar-benar hancur, impiannya … cita-citanya … harus ia kuburkan. Tapi mendengar ucapan sang mami, semangat Agnes timbul kembali, meski ia takut akan mengecewakan maminya. Ini pertama kalinya dia akan bermain di depan orang banyak. Bukan orang sembarang! Melainkan para kolega sang mami, termasuk para petinggi yang telah membantu karir sang mami.
Dengan langkah cepat, Agnes segera menuju kamarnya dan mengambil biola kesayangannya, melihat dan merabanya, seolah sang biola tahu pemiliknya sedang meragu. Meragu akan kemampuan yang ia miliki dan yang terpenting … Agnes tak tahu apa yang harus ia mainkan nanti bersama dengan sang mami.
"Apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tak tahu lagu apa yang harus kumainkan? Bagaimana jika aku mengecewakan mami? Bagaimana jika aku tak bisa mengikuti pola permainan mami? Bagaimana … bagaimana jika aku gagal?" Agnes benar-benar panik! Dia melihat dirinya di sebuah cermin dengan ekspresi wajah yang bahkan tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tak ada yang bisa Agnes lakukan, kecuali menangis … menangis dalam diam. Menangis menahan semua kesal dan sesak karena mami yang ia banggakan menjadi orang asing setelah berbulan-bulan tak bertemu.
"Inikah mami-ku? Inikah wanita yang melahirkanku? Inikah wanita yang mengatakan akan mendukungku sepenuhnya akan impian dan cita-citaku? Tidak! Ini bukan mami! Mami tak akan pernah mengatakan hal seperti tadi! Mami tak akan berkata seperti itu!" Agnes mengepalkan kuat pukulannya, memukul-mukul meja rias mini miliknya. "Aku harus kuat! Aku tak boleh kalah! Aku harus membangun rasa percaya diriku, mau apa pun rintangannya, aku harus bisa menaklukkannya! Karena aku adalah Gema Melody Agnesia! Selayaknya nada, aku akan bisa masuk ke dalam segala instrumen dan memainkannya melebihi siapa pun!" Agnes mulai membangkitkan semangatnya, ia merogoh ponsel di dalam tas quilted hitamnya dan menghubungi Paulina, teman baiknya latihan di La Toure.
"Lina-"
[Astaga, AGNESSSSSSS …]
"E-eh? A-ada apa? Kenapa kau teriak-teriak?"
[Kau membuatku khawatir! Tahu! Kemarin kau meneleponku sambil menangis dan berkata jika kau tak sanggup lagi. Kupikir … kupikir kau akan ….]
"Haha, aku akan mati? Mengakhiri hidupku? Aku tak sebodoh itu, Lina. Aku masih ingin menaklukkan mimpiku, masih ingin menggapai cita-citaku. Terima kasih kau peduli padaku."
[Ngomong apa sih kamu? Terang aja aku peduli, karena darimu aku menyukai biola. Apa kau lupa?]
Agnes hanya tersenyum … entah senyum harus bersyukur telah berbuat baik atau senyum iri dan cemburu karena orang yang justru memiliki kemampuan bermusik natural justru tak bisa masuk ke sekolah elit musik.
[Ada apa, Nes? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?]
"Ah, itu … aku hanya ingin mengatakan mami-ku telah kembali ke Indonesia hari ini dan kau tahu, aku akan bermain musik dengan mami."
[Benarkah? Wah, kau pasti sangat senang, Nes. Bukankah ini impianmu sejak dulu? Bermain musik bersama mami-mu?]
"Iya, ini juga impianku, tapi …."
[Tapi apa, Nes?]
"Aku sedikit gugup, ini pertama kalinya aku akan berduet dengan mami-ku."
[Aku akan mendukungmu, Nes. Tak peduli siapa pun itu, bahkan meski mami kamu sendiri, kamu harus bisa buktikan kau bisa melampaui mami kamu, Nes.]
"Makasih, ya Lina. Kamu memang temanku yang paling baik, selain Clarissa."
***
Di tempat lain, kedua orang tua Agnes tengah bersiap menghadiri gala party penyambutan kepulangan Abigail. Gaun mewah warna merah menyala dan perhiasan berkilau terlihat jelas membalut tubuh bak model Abigail. George pun tak kalah menawan dan tampan, berbalut tuksedo formal dengan jas asimetris pada bagian belakang, membuat tampilan George maskulin dan tampan memukau.
"Apa kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu, Abigail?" tanya George melihat sang istri merias wajahnya.
"Ucapanku yang mana?"
"Kau akan mengabulkan permintaan Agnes jika ia bermain bagus di acara nanti?"
Abigail menyeringai. "Menurutmu, apa usia 18 tahun sudah cukup dewasa bagi seorang remaja untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan?"
George mengernyitkan keningnya. Dia terus menatap Abigail dengan rasa penasaran tingkat tinggi. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya. George juga tak ingin tahu karena baginya, pernikahannya dengan Abigail hanyalah pernikahan di atas tanda tangan bisnis keluarganya yang berhutang pada keluarga Abigail.
"Aku keluar dulu." Ucap George berlalu meninggalkan kamar mereka.
Tak lama, Abigail meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, Tuan Wardana? Apakah dia sudah siap? Aku akan sangat menantikan kejutan yang akan dia berikan di pesta penyambutanku nanti. Dan, jangan katakan pada siapa pun mengenai hal ini, termasuk pada putriku."
Tersenyum menyeringai, Abigail dengan penuh keyakinan berkata, "Kau penuh dengan talenta, Agnes-ku sayang, tapi kau belum mampu untuk bersanding denganku. Masih banyak yang perlu kau lihat dibanding dengan menggesek biola-mu di ruang tertutup, lebih baik kau melihat siapa yang akan menjadi tamu spesialku nanti."