"Mario lebih cepat! Kita harus segera sampai di rumah." Calvin takut jika akan terjadi sesuatu di rumah. Mengingat si pemburu tak melakukan tindakan apapun padanya. Mungkin target utama bukan dirinya.
"Siap tuan." Mario kian cepat melajukan mobilnya. Berhasil meloloskan diri dari beberapa lampu merah yang akan menyala. Meliukkan mobil dengan lihai di banyaknya jajaran mobil yang mereka lalui.
'Aku harap tak akan ada yang terjadi di rumah. Ini pasti perbuatan paman Rohas! Brengsek kau paman!' ucapnya dalam hati. Dengan perasaan yang terus meringsek takut terjadi sesuatu pada sang kakak.
Sampai akhirnya beberapa waktu kemudian, mereka sampai di kediaman Alcantara. Calvin melihat ada mobil pick up di dekat penjagaan yang sedang di berhentikan.
"Ada apa itu?" Calvin menurunkan kaca mobil dan melihat apa yang sedang terjadi. "Ada apa ini, Seth?" tanya Calvin saat memasuki gerbang. 2 orang sedang di bekuk oleh Seth dan anak buahnya. Seth pun segera mendekat padanya.
"Saya belum tau tepatnya tuan, hanya Mac meminta gerbang untuk segera di tutup dan kami juga masih berusaha mengintrogasi mereka apa yang sudah mereka lakukan di dalam." mendengar ucapan Seth, perasaan Calvin semakin tak nyaman.
"Dimana Mac sekarang?"
"Mac masih di belakang tuan, sepertinya ada yang sedang terjadi di sana." jelas Seth lagi dan wajah Calvin mulai terlihat gusar.
"Jangan biarkan siapapun lolos dari sini. Siapapun itu. Tunggu aku. Kau paham Seth?"
"Siap tuan."
"Mario kita kebelakang sekarang. Perasaanku semakin tak nyaman Mario. Sepertinya memang ada sesuatu yang terjadi. Cepatlah. Jangan sampai terjadi apa-apa. Rohas brengsek!" teriak Calvin sambil memukul dasboard dengan kerasnya.
"Anda yang sabar tuan. Kita bisa selesaikan semuanya de.."
"Mario, itu kakak dan Ellice. Berhenti-berhenti!" teriak Calvin dengan menunjuk tangannya ke arah Channing berada.
Mario segera menghentikan mobilnya dan Calvin dengan cepat berlari ke arah mereka. Di susul Mario yang mengekor di belakang.
Sementara Channing sudah memegang kertas yang ada dalam kotak. Perlahan ia buka hingga lipatan terakhir. Membalik posisi kertas dan mulai membaca.
"Apa isinya?"
"Entahlah, Ehm.. Hospital Gr--"
Tiba-tiba Calvin datang tepat waktu dan berhasil menarik kertas dari tangan Channing. Membuat semuanya sontak terkejut dengan apa yang Calvin lakukan. Jantungnya sudah tak terkontrol, dengan nafasnya yang tersengal dan keringat yang mengucur di tubuhnya. Menjiplak punggung bagian belakangnya karena keringat yang merembas dari kemeja yang ia kenakan.
"Calvin?"
"Bawa ini dan cari tau siapa yang mengirim mereka dan apa tujuan mereka ke sini. Hukum mereka sampai mereka mengaku. Paham kalian berdua? Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Jika sampai terjadi lagi, kalian yang akan menanggungnya."
"Baik tuan. Kami permisi."Mac dan Mario segera pergi dan Mario mengantongi surat yang di berikan Calvin padanya.
"Kakak tidak apa-apa kan? Ellice kau juga tak kenapa-kenapa kan?" keduanya menggeleng dan Calvin bisa bernafas lega sambil mengelap keringat yang mengucur dari pelipisnya. 'Kertas apa tadi? Semoga saja kakak belum sempat membacanya.' Keluhnya dalam hati.
"Kenapa kau sampai berkeringat seperti ini? Apa kau habis berlari?" Calvin hanya tersenyum samar. "Ada penyusup lagi Cal? Jadi tadi yang melempar kotak ini, itu dari penyusup?"
"Sepertinya kak. Kakak dan Ellice lebih baik jangan keluar rumah untuk sementara waktu. Aku tak ingin sampai sesuatu terjadi pada kalian berdua." Ucapnya tegas sambil mencuri-curi pandang pada Ellice.
"Apa yang coba mereka inginkan? Surat apa memangnya tadi?"
"Entahlah, kakak tak perlu mengurus itu. Biarkan saja mereka yang akan mencari tau. Kalian berdua lebih baik masuk saja. Ayo. Di dalam rumah tempat yang paling aman sekarang."
Ketiganya pun masuk ke dalam rumah. Ellice yang memang berada di belakang Calvin, terus melihat punggung lelaki-nya yang penuh keringat dari belakang. Jika boleh, saat ini Ellice ingin memeluk lelaki-nya ini.
Sejujurnya ia ingin meminta maaf pada Calvin atas ucapan yang sudah ia ucapkan terakhir kali. Tapi karena Calvin menghindarinya, membuat Ellice tak memiliki kesempatan. Nanti saja saat ada kesempatan, Ellice akan langsung berbicara dengan Calvin.
"Kak, aku akan ke kamar dulu. Lebih baik kalian jangan keluar dari rumah untuk sementara waktu. Dan kakak lebih baik bekerja dari rumah saja. Jika memang di perlukan aku yang akan datang ke kantor." Channing hanya menuruti apa yang di katakan sang adik. Karena ia sadar, tanggung jawab adiknya sangat besar pada keselamatan keluarga.
'Sebelum semuanya beres, aku tidak tenang membiarkan kakak di luar sendiri.'
"Cal, lukamu apa belum kau obati? Aku bisa mengobatinya." ucap Ellice khawatir yang melihat luka memar sebelumnya yang masih membengkak di kening.
"Tidak perlu, terima kasih. Aku akan ke kamar dulu."
Raut kecewa terlihat jelas di wajah Ellice. Calvin ternyata masih begitu marah padanya. Bahkan untuk sekedar melihat dirinya, Calvin tak melihatnya seperti biasa yang ia lakukan jika memandang Ellice. Haus akan cinta.
***
"Mario mana suratnya?"
"Ini tuan. Ini suratnya." Mario memberikan suratnya dari dalam saku jasnya.
Calvin membuka suratnya, seketika wajahnya merah padam. Emosinya siap meledak kapan saja. "Fuck! Fuck! Mereka tau tentang kehamilan Ellice! Mereka harus segera di singkirkan! Paman brengsek! Fucking shit!"
Surat hasil tes kehamilan Ellice yang akan mereka berikan pada Channing. Tertera sangat jelas nama dan berapa bulan istri sang kakak saat ini hamil anaknya. Meski tak ada yang menunjukkan jika Ellice hamil anak Calvin, tapi tetap saja Channing pasti berpikir Ellice telah selingkuh darinya.
"Aaarrggh, hampir saja aku kecolongan. Fuck! Fuck!" umpat Calvin sambil meninju dinding dengan kerasnya.
"Tuan, sudah tuan." Mario sudah menahan tangan Calvin yang akan melakukan tinjuan lagi.
"Kalian semua, ingat! Jika kejadian seperti ini sampai terulang lagi. Maka hidup kalian akan sama nasibnya dengan mereka. Kalian paham itu?"
"Paham tuan, maafkan kami."
"Lakukanlah dengan baik. Jangan mengecewakanku. Dan mereka berdua, siksa terus sampai mati. Setelah itu, lemparkan mayatnya pada paman! Brengsek! Fuck, kau paman! Sekali lagi kau berulah. Darah yang mengalir antara kita, akan aku anggap benar-benar putus. Dan saat itu juga kita akan berperang! Aku sudah terlalu baik karena telah memaafkanmu atas kematian orang tuaku."
Calvin keluar dari sana. Di temani Mario mereka berjalan menuju rumah utama. Melewati pepohonan rimbun yang di olah serapi mungkin. Tanpa sengaja pandangan matanya tertuju pada kursi taman yang sebelumnya ia duduki bersama Ellice.
'Kandungannya sebentar lagi akan terlihat. Bagaimana dengan kakak? Semakin lama aku memberitahukan hal ini pada kakak. Maka akan semakin terluka hati kakak. Seharusnya dari awal semuanya tak boleh terjadi. Brengsek kau Fernandes! Brengsek!'
"Tuan, apa ada yang anda pikirkan tuan?" Mario menyadarkannya dari lamunan. Dan tersenyum pada pria Rusia di sebelahnya. Pengawal setia yang sudah ikut lama dengannya.
'Bagaimana caraku memberitahukan masalah ini pada kakak? Oh God..'
"Tuan, tuan Calvin?"
Calvin menoleh dan menggeleng padanya. "Hubungi Ethan, Mario. Aku ingin bertanya mengenai perusahaan."
"Baik tuan."
"Cal... Calvin, bisa kita bicara sebentar?" teriak Ellice yang sedikit berlari mendekat pada Calvin.
'Huft.. Wanita ini. Sudah aku katakan jangan berlari seperti itu. Masih saja tidak mau menurut. Apa dia lupa ada anakku dalam perutnya sekarang?' keluh Calvin dalam hatinya.
Di hati merindu. Namun tubuhnya berusaha keras menahan untuk tidak melakukan apapun. "Masih banyak yang harus aku kerjakan. Nanti saja kalau aku sudah senggang, ya?" jawabnya jujur. Yang hendak akan pergi meninggalkan Ellice.
"5 menit Cal. Hanya 5 menit. Aku ingin bicara padamu. Boleh ya?" melihat mata yang sudah mulai mendung dan memohon seperti itu, mana bisa Calvin tak mempedulikannya?
'Apa yang kau lakukan Cal? Bukan dia yang menginginkan keadaan menjadi seperti ini. Dia hanya korban dari kesalahanmu. Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari.'
"Cal please? 5 menit saja."
Mario yang mengerti, undur diri dari sana. "Saya permisi tuan, nyonya."
Masih memandang ke arah Ellice yang mulai menjatuhkan tetesan rintik hujan, membuatnya tak kuasa untuk memeluk wanita-nya. Calvin menarik Ellice dan membawanya ke tempat yang sepi di dekat danau.
Ia membawa Ellice dalam pelukannya. Memeluk sang wanita dengan sangat erat "Maafkan aku, aku sudah membawamu dalam situasi seperti ini. Maaf jika aku sudah egois padamu Ellice. Maafkan aku."
"Kau jahat. Kau sendiri yang mengatakan jangan pernah mendiamkanmu lagi. Tapi kau sendiri sudah melakukan itu padaku dua hari ini. Aku tau aku salah. Tapi jangan melakukan itu padaku. Jika bukan padamu kepada siapa lagi aku akan menangis?" tangis wanita-nya pecah, membuat Cal semakin merasa bersalah.
Ia kecup berkali-kali kening dan rambut Ellice, hingga kerinduan keduanya mulai memudar. Perasaan nyaman sudah sangat Ellice rasakan dari Calvin. Baru keduanya sadari setelah saling menjauh, jika mereka sudah sangat saling ketergatungan.
"Iya maafkan aku. Aku yang salah. Sudah jangan menangis ya? Jangan menangis lagi. Beri aku waktu sebentar lagi. aku akan membereskan masalah ini." Ellice makin menenggelamkan wajahnya di dada Calvin.
"Jangan menghindariku lagi. Jika aku salah katakan saja, dan marahi saja aku." Mendengar itu, Calvin tersenyum. Cukup seperti ini saja, hatinya sudah sangat luar biasa senang.
"Kalian berdua sedang apa? Kenapa berduaan di sini?"
"Mariana?"
Follow IG Author ya @frayanzstar