"Mario, segera cari mereka. Anak buahmu harus segera mencari tau siapa yang tinggal di sana. Buat keamanan ketat untuk kakakku. Hal seperti ini jangan sampai terjadi lagi." --send. Isi pesan yang Calvin kirimkan pada Mario menggunakan ponsel barunya yang baru ia beli.
"Siap tuan. Akan segera lakukan." --send. Dengan cepat Mario membalasnya dan ia juga segera mengirimkan pesan pada anak buahnya. Untuk menemukan dengan cepat siapa pemilik rumah peternakan itu.
'Paman Rohas. Pasti ini ulahmu. Kau pasti ingin membalaskan dendam Fernandes padaku bukan? Aku akan menemanimu bermain jika itu keinginanmu.' gumam Calvin dalam hati memikirkan tentang teror yang kembali datang menghantui dan siap meledakkan Channing kapan saja ketika kebenarannya terungkap.
"Cal, siapa kira-kira yang melakukan hal ini pada kita? Apa ini benar balas dendam paman Rohas? Mungkinkah jika dia punya sekutu di luar sana?" tanya Channing dengan pandangan menatap jalanan kota.
"Hmm, pasti. Aku yakin. Setelah perusahaanya aku rebut, dan anaknya Fernandes meninggal, pasti paman Rohas kali ini tak akan diam, kak. Dia akan balas dendam." Channing membenarkan ucapan sang adik dengan menganggukkan kepalanya.
Beberapa bulan ini mereka tidak muncul, mungkin mereka sedang memperluas sekutunya untuk melawan Calvin.
"Kau yakin tak perlu memeriksa kepalamu Cal? Lukanya semakin membiru dan benjolnya terlihat membesar. Aku tak ingin jika sampai sesuatu hal terjadi padamu. Lihatlah." ucap Channing. Ia mencoba menekan benjolan itu,
"Aaauww... kenapa kakak menekannya? Sakit kak. Jangan di tekan." omel Calvin. Sedikit ia tekan-tekan benjolan di kepalanya agar tak terlalu nyilu.
"Katanya tadi tidak sakit. Terus kenapa sekarang bilang sakit? Kita ke rumah sakit saja ya?"
"Ya kalau di tekan gitu sakit kak. Tapi tak perlu ke rumah sakit juga. Aku akan mengobatinya nanti." Channing akhirnya mengangguk dan tersenyum dengan tingkah adiknya.
Keduanya kembali terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga tak terasa sudah sampai di rumah.
Terlihat istrinya sedang menantinya di ruang santai ketika mereka berdua masuk dalam rumah. Berlari kecil Ellice menghampiri kedua jagoan hatinya.
Melihat Ellice mendekat, Calvin ingin rasanya melepas rindu. Namun tangannya tak sampai menggapai sesuatu itu. Terlalu jauh jarak mereka.
"Ola sayang, ini kue untuk nyonya Channing." Calvin tersenyum samar mendengar panggilan itu. Ia melirik sebentar pada Ellice dan tersenyum. Melihat sang kakak mendaratkan kecupan di kening semakin membuatnya tak terkendali.
"Kak, aku duluan ke kamar." ucap Calvin yang langsung naik ke lantai dua, tanpa lagi melihat pada Ellice lagi.
Perasaannya kacau hari ini. Berita kesehatan kakaknya membuatnya tidak tenang. Belum lagi teror hari ini. Pesan yang tak di balas oleh sang pujaan hati, juga membuatnya tak bersemangat. Dia rindu dengan Ellice dn calon bayinya.
"Itu kepala Calvin kenapa sayang?"
"Tadi terluka karena ke tatap meja. Ini kuenya yang saya janjikan nyonya. Calvin yang membelikannya untukmu tadi. Dia memaksanya. Lagi pula dia yng paling tau tentang kesukaanmu.
Mendengar hal itu, Ellice jadi merasa bersalah. Padahal dia tadi mau membalas pesan dari Calvin. Tapi dia urungkan karena mengingat kebaikan sang suami. Tapi kalau sudah melihat seperti ini, Ellice jadi tak tega melihat Calvin.
Mendiamkan Calvin seperti ini, malah membuat hatinya sakit. Melihat Calvin terluka seperti itu, ia juga tak tega untuk tak menghiraukannya.
Rasa cinta yang tumbuh untuk kedua lelaki-nya, membuatnya dlam ke bimbangan. Ingin rasanya melupakan Calvin, tapi anak yang ia kandung tak bisa di buang begitu saja. Dan rasa cinta yang ia miliki juga tak bisa ia singkirkan dalam hati.
Sedangkan untuk cintanya kepada sang suami, Ellice inginnya tak lagi membohonginya. Tapi kenapa sangat sulit? Dan membutuhkan extra tenaga, karena nantinya harus ada hati yang ia lupakan. Dan itu terasa sungguh menyakitkan.
"Terima kasih sayang kuenya."
"Aku ke kamar dulu ya?" Channing mengecup kening dan bibir Ellice kemudian ia pergi untuk membersihkan diri.
Sementara di dalam kamar, Calvin sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Belum mandi dan juga belum berganti pakaian. Lebih nyaman langsung tidur dan menikmati aroma sprei dengan wangi yang Ellice tinggalkan.
Melepas rindu dan menghilangkan segala masalah yang ada tanpa peduli dengan luka di kepala.
Hingga waktu makan malam tiba, Calvin tak juga keluar dari kamar. Aroma wewangian Ellice selalu mampu membuat rileks tubuhnya. Tanpa terasa membuat istirahatnya sangat nyenyak.
"Calvin kemana bi? Dia keluar?" tanya Channing saat bersiap untuk makan. Dengan Ellice yang sedang menyiapkan makanan untuknya.
"Tuan muda masih di kamar tuan. Beliau sedang tidur." Ellice hanya mendengarkan apa yang sedang di lakukan Calvin.
Meski dia sedang bersama suaminya, tapi pikirannya bercabang. Memikirkan Calvin yang seharian ini belum sama sekali ia hiraukan. Padahal Calvin sudah beberapa kali meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi.
"Lu-luka Calvin bagaimana sayang? Apa tak perlu memanggil dokter Antony?" tanya Ellice khawatir. Setidaknya luka Calvin harus di obati lebih dulu.
"Dia tak ingin di bawa ke rumah sakit. Aku saja nanti yang mengobatinya setelah makan. Sekalian akan aku bawakan makan malam untuknya.
"Apa aku boleh yang melakukannya sayang? K-kau istirahat saja. Aku yang akan melakukannya. Kau pasti sudah lelah. Hmm?" tanya Ellice hati-hati. Maafkan Ellice jika dia merindukan lelaki-nya yang lain.
"Mmm, tak apa. Terima kasih kau sudah mau peduli dengan Calvin. I love you Mrs. Channing."
"Love you too." Ellice memberikan senyum termanisnya untuk sang suami.
Mereka pun menikmati makan malam berdua. Seperti sebelumnya. Porsi makan Ellice selalu banyak. Membuat Channing takjub dengan perut yang tak juga menggendut.
Ellice ssangat bersyukur, karena di kehamilannya ini tidak rewel sama sekali. Tak ada rasa mual ataupun tak suka mencium aroma apapun. Hanya jatah makannya saja yang semakin membludak. Dan itu sangat ia syukuri karena akan sangat sulit menyembunyikan hal itu dari Channing jika kehamilannya sampai rewel.
Usai makan malam, Ellice segera menuju kamar Calvin. Sedangkan Channing, memilih untuk menonton bola di ruang santai.
Dengan hati-hati, Ellice membuka pintu kamar Calvin. Mengamati Calvin yang tertidur masih dengan pakaian kerjanya dan sepatunya juga masih melekat di kakinya.
'Maaf tadi aku tidak membalas pesan-pesanmu Cal. Aku ingin sekali mengubur perasaanku padamu. Tapi yang ada rasa itu semakin dalam. Bagaimana aku mempertanggung jawabkan ini pada Channing?' gumam Ellice dalam hati sambil melepaskan sepatu Calvin.
Tanpa rencana, bibir itu mendarat di kepala belakang Calvin begitu saja. Calvin yang tidur tengkurap membuat Ellice tak merasa canggung mengecup bagian itu.
"Calvin, maafkan aku." ucapnya lirih. Ia duduk di pinggir ranjang dengan tangannya yang mengusap lembut rambut tebal Calvin. "Bagaimana aku mengobatinya kalau dia tidur seperti ini?"
Tanpa di suruh, Calvin membalik tubuhnya tidur terlentang dengan mata masih terpejam.
"Oh Tuhan Cal, lukamu sudah membiru seperti ini tapi kau tak langsung mengobatinya." Ellice segera membersihkan lukanya dengan alkohol dan kapas dengan hati-hati agar Calvin tak sampai terbangun. Kemudian ia memberikan salep di bagian yang benjol.
Saat Ellice fokus membersihkan luka di kening Calvin, tiba-tiba mata Calvin terbuka. Membuat Ellice terkejut setengah mati.
"Ya ampun Cal, kau mengagetkanku." ucap Ellice yang menekan dadanya yang terkejut. "Masih sakit lukanya? Kenapa tidak langsung di obati? Kau malah langsung tidur."
Calvin hanya diam memperhatikan wajah cantik Ellice yang seharian ini membuatnya rindu. Tapi setelah melihatnya seperti ini, seakan masalahnya rontok tak lagi menggerogoti pikirannya untuk terus bekerja.
"Kenapa kau selalu membuatku bingung Ellice? Kenapa kau selalu hadir di saat paling aku butuhkan?" Ellice yang tadinya sibuk mengobati kening Calvin, langsung terdiam menatap Calvin.
Pandangan keduanya saling beradu. Menyelami lebih dalam untuk melihat apa yang sedang ada dalam pikiran mereka.
"Aku sangat merindukanmu Ellice. Jangan diamkan aku lagi seperti tadi. Aku tak ingin kau membenciku." Calvin duduk dan langsung memeluk Ellice dengan eratnya. Menyalurkan cintanya yang tulus dan selalu bertambah setiap detiknya.
Kian hari cintanya semakin mengembang. Si kecil dalam rahim Ellice, membuat Calvin semakin takut kehilangan Ellice. Bagaimana jika hal itu sampai terjadi?
"Bagaimana jika aku takut kehilanganmu? Tapi aku juga tak ingin kehilangan kalian bertiga." mendengar kata-kata Calvin, hati Ellice teras sakit. Ternyata sudah sampai di tahap itu cinta Calvin padanya.
Tak kuasa merasakan cinta tulus Calvin, akhirnya air matanya ikut mengalir dan membalas pelukan Calvin yang begitu nyaman.
"Maafkan aku." hanya kata maaf yang bisa Ellice ucapkan. Ellice sendiri tanpa di sadari juga masuk lebih dalam pada cinta Calvin.
"Apa yang kalian lakukan?"
Follow ig Author ya @frayanzstar