Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Different Life

🇮🇩PermenChaca
--
chs / week
--
NOT RATINGS
29k
Views
Synopsis
Terbangun di dalam tubuh yang berbeda, apa yang harus Son lakukan ? *** Ketika merasa tubuhnya di sedot oleh sesuatu yang kuat, Son pikir mungkin inilah akhir hidupnya. Tragis dan menyedihkan. Dirinya hanya di jadikan umpan oleh perusahaan dan di tembak mati oleh sesama rekan kerjanya. Tapi ketika membuka mata, kenapa dia berubah menjadi wanita gendut yang di kurung di gubug reot ? Dan apa ini, kenapa semua orang memakai baju zaman Victoria dan lagi, dia sudah menikah ? "Brengsek, apa-apaan ini ?” ***
VIEW MORE

Chapter 1 - Tawaran

"Ini bisa menjadi batu loncatan agar kamu mendapat jabatan yang lebih bagus lagi."

Ketua divisi IV, Paul Simon berkata dengan suara beratnya. Kursi putar yang ia gerakan ke kanan ke kiri berderit di ruangan sunyi itu.

"Sudah 4 tahun, dan selama itu pula pekerjaan mu adalah yang paling membanggakan dari divisi yang aku pimpin." Katanya lagi.

Dua orang yang berdiri di depannya hanya diam tanpa mau membalas perkataannya.

Ketua Paul menghela napasnya pelan, dia meneliti wajah dua orang agen kepercayaannya. Tidak ada keraguan sedikitpun. Hanya wajah datar yang minim sekali ekspresi.

"Perusahaan meminta mu untuk terjun ke dalam tugas ini, para pemegang kendali mempercayakan tugas besar ini hanya padamu, Son."

Son, yang namanya di sebutkan hanya melirik sebentar.

Ketua Paul menghela napasnya sekali lagi, percuma saja. Anak buahnya yang ini memang sangat bebal.

"Kau bisa keluar lebih dahulu, Ze" Putusnya.

Ze, agen yang berada di sebelah Son mengangguk dan berlalu tanpa sepatah katapun. Ketua Paul bangkit dari kursi besarnya dan berjalan menghampiri Son.

"Apa yang sebenarnya menjadi alasan mu untuk tidak memenuhi tugas ini, kamu bahkan langsung mengoper berkasnya pada agen yang lain tanpa memberi tahu ku"

Son memandang tepat di kedua mata ketua divisinya, jarak mereka tak lebih dari 3 langkah. Sama seperti sebelumnya, tak pernah ada keraguan di dalam matanya. Rasa takut dan ragu adalah hal yang terakhir yang dia punya, bahkan mungkin tidak ada.

"Saya hanya tidak mau" Akhirnya Son menjawab.

"Alasan yang lain Son, itu sudah terlalu basi."

Son diam sejenak, "Tugas yang akan di lakukan kali ini terlalu tidak masuk akal menurut ku, dan aku ragu apakah itu tugas yang memang harus aku kerjakan atau para petinggi itu sudah muak padaku, termasuk dirimu."

Ruangan kembali hening, ketua Paul tidak menjawab apa yang Son katakan. Dan Son sudah tidak peduli lagi, dia juga sudah muak.

Tugas yang datang padanya seminggu yang lalu membuatnya benar-benar ingin cepat resign dari sini. Karena selama 6 tahun dia bekerja baru kali ini dirinya merasa sangat di rendahkan.

Bagaimana bisa dia di beri tugas untuk menjadi mucikari di sebuah club mewah. Dan itu hanya untuk menangkap bos bandar narkoba yang juga pemilik club. Dalam laporan di katakan kalau sang bandar juga merangkap sebagai pemasok organ manusia yang di jual di situs ilegal.

Son benar-benar tidak habis pikir. 6 tahun dia di perusahaan ini seharusnya dirinya sudah layak di sebut senior, tapi kenapa tugas yang menurutnya tidak masuk akal malah di limpahkan padanya. Padahal masih banyak junior yang lain yang sepertinya sangat lebih layak untuk di tugaskan dibanding dirinya.

"Terakhir kali kau menugaskan aku untuk menetap di sebuah pulau yang tidak berpenghuni selama 1 bulan, hanya karena seorang pengusaha membayar mahal pada perusahaan." Son semakin memasang wajah datar.

"Dan aku di singkirkan dari group Hell karena kau bilang hanya aku yang pantas mendapat tugas itu." Son mendengus remeh, dia menatap lagi mata si ketua.

"Dari divisi II bahkan banyak sekali junior yang sedang menunggu untuk diberi tugas, kenapa harus aku yang akan berangkat ke Rusia menjalani misi penting? Dan bukankah itu penghinaan pertama kalian? Dan ini, kalian akan menjadikannya yang kedua. Menurut kalian ini lucu?"

Nada dingin yang Son gunakan sedikitnya membuat Ketua Paul bergetar takut, dia bahkan langsung ingat kalau anak buahnya yang satu ini adalah agen kelas atas yang tidak main-main dalam kinerja dan juga keahliannya.

"Son, aku tau mungkin kau merasa ini tidak layak. Untuk kasus 3 bulan yang lalu aku minta maaf padamu karena aku tidak punya kuasa sama sekali untuk membantah, pengusaha itu membayar langsung atas nama mu dan perusahaan mendapatkan keuntungan penuh atas tugas yang kemarin." Ketua Paul menelan kembali rasa takutnya, 4 tahun Son bergabung ke divisinya baru kali ini dia menolak tugas yang di berikan.

"Untuk kali ini aku juga tidak bisa membantah Son, kau dan agen Ze di tugaskan para petinggi untuk mengurus misi ini. Dan Son, kupikir bagusnya adalah kau bahkan bisa membuat divisi baru kalau misi ini berhasil. Para petinggi menyebutkannya dalam rapat kemarin." Ketua Paul melangkah pelan menghampiri Son yang tengah menatap jendela besar.

"Son.. " Panggilnya pelan, "..walaupun aku sudah 8 tahun disini tapi jabatan ku hanyalah ketua divisi, tidak lebih dari itu. Aku juga tidak punya kuasa untuk menolak bahkan memindahkannya pada rekan kerjamu yang lain. Dan Son kau harus tau, kalau kau menolaknya maka divisi IV akan dihapus, rekan kerjamu apalagi grup Hell yang kau ketuai akan di tiadakan" Son reflek menoleh, dia menatap tajam ketua Paul.

"Maka dari itu aku memintamu untuk menerima misinya, kau tau, angka keberhasilan misi-misi mu itu hampir 91% dan itu keberhasilan tertinggi kedua setelah agen Black. Makanya para petinggi memerintahkan ini padamu. Dan kalau junior yang di tugaskan pasti akan kacau. Bandar narkoba itu sangat licik dan penuh tipu muslihat."

Ketua Paul memegang kedua pundak Son dengan sedikit meremasnya, "Aku tau ini tidak masuk akal, aku juga merasakan penghinaan yang kau rasakan. Divisi kita ini termasuk divisi elite yang agennya bahkan tidak bisa di ragukan lagi. Tapi sekali lagi Son, kita benar-benar tidak bisa menolak ini. Maafkan aku"

Setelah itu ketua Paul kembali lagi duduk di kursi besarnya. Tinggal Son yang masih diam menimang semua perkataan sang ketua.

Astaga, kepalanya pening sekarang.

Son menghela nafas kemudian, "Baiklah, akan aku terima"

Sontak membuat ketua Paul menoleh dan tersenyum lebar, dia mendadak berdiri lalu menghampiri Son dengan gembira.

"Hanya saja aku punya syarat, katakan ini pada para petinggi, kalau aku berhasil aku akan membangun divisi baru dengan ketentuan yang aku buat. Tidak ada penolakan dan berhenti memberikan misi yang menyebalkan begitu" Sambungnya, menghentikan langkah bahagia si ketua.

Tanpa mau mendengar jawaban ketua Paul, Son berjalan keluar dan menutup pintu lumayan keras.

Ketua Paul hanya bisa menghela napas, tak apa dia sudah terbiasa dengan kelakuan tidak sopan Son. Apalagi sekarang yang terpenting tugas yang ia berikan sudah di setujui.

Dia berbalik lagi menuju kursinya, menekan beberapa tombol pada telepon yang ada di meja.

"Son sudah setuju."

"..."

"Ya, baiklah."

"...."

"Ya tentu."

"..."

"Ya, ketua. Baik."

Helaan napas lagi yang terdengar setelah menutup panggilannya. Dia memijit keningnya merasa hari ini begitu berat.

"Maaf Son, aku benar-benar tidak bisa melakukan hal lain selain mengumpankan mu."

Ketua Paul menatap jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Setelah hari ini mungkin dia akan di hantui rasa bersalah sepanjang hidupnya.

***

"Kak Son." Teriak seseorang dari kejauhan.

Namun Son tetap melanjutkan langkahnya, dia menghiraukan semua orang yang menatapnya di koridor kantor. Sekarang suasana hatinya lumayan buruk.

"Kak Son, duh tunggu bentar hah hah.." Orang yang meneriaki nya berhenti di belakang Son yang sedang menunggu lift terbuka. Membungkuk karena merasa lelah sekali.

"Duh, cape." Katanya lagi, orang itu menyeka kasar keringat yang ada di dahinya. Mengejar Son memang harus menggunakan tenaga penuh.

"Kak, gimana keputusan akhirnya "

Son membalikkan badannya setelah memencet tombol lantai satu, dia memandang salah satu anak buahnya yang berada di dalam grup Hell.

"Memang apa yang kau harapkan ?" Tanya Son datar.

Sid menggeleng pelan lalu menunduk, sekarang dia malah ragu dengan jawabannya sendiri.

"Tidak ada yang di harapkan dari jawaban ku, sama seperti waktu itu. Aku bahkan tidak bisa berkata tidak." Lalu Son mengubah posisinya menghadap pintu lift, membiarkan Sid di belakangnya terdiam.

"Aku harap setelah ini grup Hell bisa berkarier lebih bagus dari grupnya Black. Kalian harus bisa tanpa aku."

Perkataan itu membuat Sid malah berprasangka yang tidak-tidak, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat berkali-kali.

"Kak Son, kalau bukan kakak yang mimpin kayaknya grup Hell bakalan hilang jati diri. Kita bahkan gak bisa ambil tindakan kalau kakak gak ngasih perintah." Nada Sid sedikit merengek.

"Lagipula aku heran, bukannya itu tugas yang harusnya di bawah kendali polisi, kenapa juga perusahaan keamanan seperti kita menangani masalah seperti itu ?"

Dan Sid berdecak sebal beberapa kali, dilihatnya sang ketua hanya diam menatap datar pintu lift, setelah itu dia menghela napas pasrah.

"Aku tau kalau kak Son bakalan berhasil dalam tugas ini, tapi tetap saja kak. Aku bakalan bilang tolong berhati-hati. Entah kenapa aku punya firasat buruk."

Son melirik sebentar pemuda tanggung yang menjadi hacker di grupnya, dia menyunginggkan senyum tipis melihat raut khawatir anak buahnya itu.

" Akan aku usahakan."

Pintu lift terbuka, Son melangkah keluar dengan tegas. Lobi perusahaan terhitung sepi, namun ada sekitar empat orang yang sedang duduk sofa ruang tunggu, selebihnya kosong. Sid masih mengekor di belakangnya.

Keluar dari pintu utama perusahaan, Son menghentikan langkahnya dan menatap Sid yang juga menghentikan langkahnya.

"Aku tau kalau kalian berpotensi besar untuk menjadi lebih dari grup White. Bahkan Win bisa menjadi leader pengganti yang hebat. Jadi selama aku tidak ada bergantung lah pada Win, dia sangat mengerti bagaimana harus bertindak selanjutnya" Son menepuk lengan Sid pelan.

Dia berbalik melangkah menuju mobilnya yang terparkir cantik di depan gedung.

"Kak.." Panggil Sid pelan.

Son berhenti tanpa membalikkan badan.

"Tolong pulang dengan selamat. Kami semua menunggu kakak kembali."

Setelah mengatakan itu, Sid berlari kedalam gedung tanpa menunggu balasan Son. Dia hanya merasa akan menangis kalau melihat ketuanya kesusahan tanpa bisa ia bantu.

Dan Son hanya bisa menghela napas, kepalanya menatap gumpalan awan yang bergerak pelan seperti mengikuti arah angin.

"Ya. Aku akan kembali."

Semoga saja, karena ku pikir itu mustahil.

***