Chereads / Different Life / Chapter 8 - Perundung

Chapter 8 - Perundung

Pikirannya masih berkelana untuk mencari jawaban. Rasa percaya itu masih enggan ia katakan. Berkali-kali Son mencubit lengannya agar ia tidak merasakan sakit. Tapi bukannya mimpi yang ia dapat malah lengannya memerah hampir biru karena terlalu kuat mencubit.

Son meringis, ada sekitar 4 cubitan yang hampir membiru. Dan mau tak mau ia mengakui kalau ini bukanlah imajinasinya. Ini nyata, dan Son hidup sebagai orang lain.

Son menghela napas, dia mengedarkan pandangannya. Wajahnya mengintip di jendela kecil dekat dipan bambu yang sekarang ia duduki. Masih terang benderang. Tapi panasnya sudah tidak sepanas tadi siang.

Walau begitu, didalam sini terasa sangat panas. Badan Son yang sekarang berubah gendut sudah mengeluarkan keringat seperti orang mandi. Benar-benar gerah dan membuat kulit wajahnya yang agak pucat memerah.

"Lama-lama engap." Katanya.

Son bahkan susah sekali untuk menghirup napas karena lipatan lemak ini. Bukan dia berlebihan hanya saja memang untuk bangun dari duduk saja butuh tenaga yang ekstra.

Tak lama suara gemerincing rantai didepan pintu terdengar. Bukan hanya suara rantai tapi juga beberapa cekikikan perempuan yang entah mengobrolkan apa.

Son menunggu sambil menatap pintu itu datar. Ketika pintu terbuka gerombolan gadis yang kemarin ia lihat saat pertama kali bangun sedang berjalan ke arahnya sambil tertawa-tawa.

Dapat Son lihat gadis yang tadi pagi tengah menunduk paling belakang. Sekitar 6 gadis yang berani menatapnya terang-terangan dengat tawa cekikikan mereka.

Son mengangkat satu alisnya saat nampan makanan yang gadis paling depan bawa dilemparkan kasar ke sisi tempat ia duduk. Son menatap nampan yang menunya sama seperti pertama kali.

Bubur dengan warna ke kuningan dan bau yang menyengat, Son bahkan harus mengerut saat hidungnya mencium aroma aneh itu.

"Makan itu, habiskan jangan seperti kemarin. Dan jangan susahkan kami lagi. Sudah untung kami bawakan kau makanan."

Son menoleh, menatap datar gadis pelayan yang sedang bersidekap dada menatap remeh padanya. Son tidak mengindahkan, dia malah menoleh menatap jendela.

Si gadis yang paling depan merasa diacuhkan menggeram marah, dia melemperkan satu koin perunggu sampai mengenai pipi Son dengan kasar.

Son kembali menoleh, koin itu jatuh ke sisi kaki kirinya. Dia masih menatap datar mereka yang sudah berhenti cekikikan. Son mendengus pelan dan menoleh lagi ke arah jendela.

"Wah, benar-benar. Dia mengacuhkan kita."

Si gadis yang paling menggulung bajunya dengan ekpresi kesal melihat majikannya yang biasanya menangis sambil marah-marah, atau mengeluh sampai mereka mengerjainya kini diam dan bahkan tidak mau menatap mereka.

Karena dia yang paling sering mengganggu majikan tak dianggap ini jadi memang dialah yang paling berani. Yang lain hanya menghasut atau paling tidak tertawa dan membantu kalau-kalau di perintah.

Siapa yang tidak kenal dengan majikan gendut mereka ini. Semua pelayan di istana Camile—rumah megah Duke Alexander yang berada di ibukota Levianthas—sangat tahu dengan nyonya pertama bernama Anastasia Clarkson. Nyonya pertama atau istri pertama Duke Alexander yang diacuhkan oleh suaminya sendiri.

Bahkan semua orang sering memandang rendah dirinya walau dia adalah anak kedua dari keluarga Archduke ternama. Imbasnya, karena memang sering diacuhkan bahkan tak pernah dianggap.

Anastasia yang berperawakan jelek dan gendut sering sekali ditindas oleh semua penghuni istana Camile. Perundungan dari berbagai pihak bahkan oleh istri kedua Duke Alexander sering Anastasia dapatkan. Dari yang biasa sampai yang terparah. Tapi tentu Duke Alexander suaminya yang terhormat itu bahkan tak akan repot-repot untuuk membela apalagi menyelamatkan.

Karena apapun itu, yang ia lakukan semata-mata hanya karena status relasi bisnis dengan ayahnya Anastasia, Hedwig Roland Clarkson. Selain itu Duke Alexander tidak pernah mau menganggap Anastasia ada. Dia menutup mata dan telinga. Imbasnya, Anastasia menjadi perbincangan di seluruh keluarga bangsawan juga penduduk yang ada di Levianthas. Julukannya si gendut yang tak dianggap.

Anastasia yang memilik pribadi yang ceria disalah artikan seperti orang yang meminta perhatian. Tapi tidak ada salahnya, dia juga melakukan itu hanya pada Duke Alexander. Memujanya, melakukan berbagai cara untuk menarik simpati dan perhatian sang Duke, walau hasilnya dia sering dipermalukan.

Tapi dia tidak menyerah, segala cara ia jalankan. Anastasia tidak pernah menyerah sampai akhirnya ia dituduh meracuni kelinci kesayangan Carissa, nyonya kedua yang dipandang tinggi setelah Duke Alexander. Dan penahanan di rumah terasingkan inilah Anastasia berakhir. Pembebasan yang hanya bisa dilakukan oleh Duke Alexander yang tengah menjalani perjalanan bisnis ke negeri seberang.

"Kau tidak akan selamat kali ini, gendut." Desis si gadis, dia maju dan meraih lengan Son untuk berdiri secara kasar.

Son hanya membiarkan, dia ingin melihat sampai mana mereka memperlakukan tubuhnya ini. Dengan tenaga extra, gadis ini menariknya sampai ke halaman belakang gubug tua ini lalu menghempaskan tubuh Son dengan kuat. Son hanya mundur 3 langakah tanpa harus terjatuh, dia menatap datar orang-orang yang tengah cekikikan aneh. Yang barusan mendorongnya tengah menatap congkak dengan wajah sombong.

Angin panas sore hari lumayan masih terik, semilir angin menerbangkan rok yang Son pakai, matanya memindai sekeliling. Masih sama seperti yang sebelumnya ia lihat.

"Heh, gendut!"

Son otomatis menoleh, manatap datar si gadis yang ternyata lebih pendek dari tubuhnya.

"Jongkok!" Seru si gadis seraya menunjuk tanah.

Son tetap diam, tanpa mau menuruti perintah kurang ajar itu. Matanya masih asik menatap halaman belakang yang layaknya seperti hutan. Sebersit pikirannya ingin sekali mencabuti semak-semak belukar yang menganggu penglihatan atau menebang pohon-pohon yang sekiranya berguna untuk kayu bakar. Oh, itu ide yang bagus. Son pikir kayu-kayu itu nanti berguna untuk membuat api unggun. Setidaknya dia harus mendapatkan cahaya di malam hari.

"Heh!"seruan itu lagi, "cepat jongkok!" Kali ini lebih besar keras dibanding yang tadi.

"Untuk apa?" Tanya Son, alisnya terangkat sebelah.

Si gadis mendengkus, "kalau aku suruh ya lakukan saja, jangan banyak bicara!"

Son akhirnya berjongkok dengan malas-malasan. Para gadis itu terkiki geli, merasa kalau Son adalah pertunjukkan yang menyenangkan untuk dilihat. Telalu mudah untuk ditebak, bahkan Son sudah tau kalau tubuh ini sering dijadikan bahan rundungan. Son menunduk dengan senyuman miring, lumayan juga dia dapat hiburan.

"Hei, gendut. Jalan bebek, tunjukan padaku jalan bebek."

Son mendengus lantas berdiri dengan susah payah. Lidahnya didecakkan dengan kesal. Membuat para gadis pelayan ini menganga tak percaya, yang paling depan langsung menukikkan alisnya marah.

"Apa yang kau lakukan, hah? Cepat jalan bebek?"

"Kau saja sendiri."

Jawaban yang belum pernah mereka dengar, nada dingin dan datar itu mengalun bersamaan dengan hembusan angin sore yang hangat. Selama beberapa detik mereka terdiam, masih enggan untuk percaya bahwa ini kali pertama penolakan terhadap yang mereka lakukan.

Yang paling depan diantara mereka tertawa sinis, "sialan, berani ya sekarang kau menolak."

"Ya, lagipula tidak ada untungnya aku menuruti perkataan kalian."

Mereka saling berpandangan, si Nyonya yang sering menangis terisak itu terlihat memasang wajah tidak peduli. Dan itu membuat mereka merasa geram. Tidak akan ada hiburan bagi mereka ketika si gendut ini mulai melawan, ah, atau justru lebih mengasikkan?

"Wah, hebat sekali Nyonya buruk rupa ini. Bagaimana bisa hanya dalam semalam kau berani melawan?"

Son mendengus, enggan menjawab dan memilih menatap halaman rumah, sekiranya para pepohonan lebih enak dipandang dibanding sekumpulan gadis centil tukang perundung.

Gadis yang lain, yang berdiri dibelakang gadis paling depan maju. Langkah kakinya ia bawa untuk meraih belakang kepala sang Nyonya. Ia cengkram rambut gimbal itu sampai si tuan mendongak. Namun tetap saja wajah datar dan acuh yang ia lihat.

"Dasar sombong, apa yang akan kau tunjukkan dengan sikap menyebalkan seperti ini. Kau pikir tuan Duke akan berlari membantumu?"

Ucapan itu membuat teman–temannya tertawa geli, dan Son ikutan tertawa.

"Aku pikir tidak, aku tidak akan mengeluarkan tenaga untuk berteriak minta tolong."

Si gadis yang mencengkram rambutnya tertawa makin kencang dengan dengusan kesal, "bagus, karena harusnya sampah seperti mu itu tau tempat."

Son tersenyum miring, dia melirik si gadis.

"Dan pelayan seperti mu seharusnya sadar diri."

Ucapan Son serta merta membuat si gadis menukik alisnya dengan kesal, dia menghempaskan kepala Son dengan kencang lalu menendang kaki Son sampai membuatnya terjatuh ke tanah.

Ini lebih menyebalkan dari apapun, sialannya Son bahkan harus bersusah payah bangun dan menahan wajah datarnya. Karena rasanya kalau ia meringis tidak keren sama sekali. Son menyumpah serapah dalam benaknya. Kalau memang benar dia pindah ke tubuh ini setidaknya yang harus ia lakukan adalah menurunkan berat badan gajah yang membuatnya susah bergerak.

Terdengar mereka tertawa puas, cekikikan yang menandakan kalau mereka sangat menyukai apa yang baru saja mereka lihat. Dan Son mendengus, prinsip dalam hidupnya adalah gigi dibalas gigi, darah dibalas darah dan nyawa dibalas nyawa. Maka ketika si gadis yang barusan menjambak dan menendangnya sedang tertawa puas. Son tidak segan-segan untuk menjambak rambut bersanggul itu.

Para gadis memekik, begitu juga dengan gadis yang berada ditangannya, kepalanya mendongak dengan mata yang memejam namun mulutnya berteriak.

"Sial, apa yang kau lakukan, hah?!"

Son tersenyum miring, "ini yang dinamakan pembalasan setara."

Setelahnya dia menendang tulang kering si gadis sampai orangnya membungkuk dan menjerit kesakitan lalu Son dengan cepat menghempaskannya ke tanah. Para temannya terdiam. Terkesiap kaget melihat sang tuan membalas dengan hal yang sama.

"A-apa yang kau lakukan, gendut?" Si gadis yang pertama tadi tergagap kaget, dia membantu temannya untuk berdiri.

Tapi Son tidak menjawab dia hanya tersenyum tipis. Itu membuat si kedua gadis di depannya menjadi geram. Tak ayal membuat mereka maju dan menangkap tubuh gendut Son untuk di jongkokkan ke tanah. Namun Son berkelit, dia mundur dengan cepat hingga membuat kedua gadis itu saling bertubrukan.

"Dasar sialan!" Seru salah satunya.

Mereka kembali menghampiri Son dengan cepat namun lagi-lagi Son pandai berkelit. Gerakan tubuh gendutnya terlihat gesit untuk menghindari dua gadis yang sangat marah itu.

"Berhentilah, kalian hanya akan membuang-buang tenaga." Ucap Son santai.

Yang lain hanya menonton tanpa mau membantu, karena mereka malah bingung sendiri. Sang tuan sangat berbeda dari yang terakhir mereka lihat, dan harus mereka akui jikalau aura Son membuat mereka meragu dan sedikit ketakutan.

"Sialan!" Jerit salah satunya.

Son menjegalkan kakiknya saat salah satu gadi itu mendekatinya kembali dan sudah ia pastikan bisa membuat si gadis terjatuh. Son mendengus geli, yang satu lagi ternyata juga maju bahan gerakannya cepat sekali. Namun Son tentu bisa membaca gerakan gadis itu. Son meraih tangan si gadis yang ingin mendorongnya dan ia hempaskan ke tanah bersisian dengan yang satu lagi sudah terjatuh.

Son membawa tubuhnya membungkuk, dia memiringkan kepalanya dengan senyuman mengejek. Dua gadis di depannya tengah meringis kesakitan.

"Kalau kalian mau menjadi perundung, seharusnya kalian harus tahu dulu cara menjadi perundung yang benar."

Son lantas menegakkan tubuhnya, dia menatap sisa empat gadis yang lain. Mereka langsung menunduk ketika beradu pandang dengan dirinya.

"Pergilah, jangan pernah masuk ke rumah ini kalau kalian tidak ingan bernasib lebih buruk lagi. Dan biarkan hanya dia yang membawakan aku makanan."

Mereka menoleh kebelakang saat Son menunjuk dengan dagu, menatap gadis yang sedari tadi menunduk paling belakang. Gadis yang tadi pagi menjelaskan sesuatu yang masih ingin Son pahami sampai sekarang.

"Dan kalian," Son menunduk, melihat si dua gadis yang menyerangnya sedang berusaha bangkit, "jangan pernah tunjukkan lagi wajah menyebalkan kalian didepan ku, aku muak sekali." Pangkasnya. Lalu dengan gerakan dag menyuruh mereka untuk keluar.

Tanpa banyak kata mereka keluar dengan terburu-buru, begitu pula dua gadis yang sudah berdiri. Mereka melayangkan tatapan kesal terlebih dahulu sebelum menyusul mereka yang sudah berlari. Hanya tersisa gadis yang ia tunjuk.

"Kau," Son menjeda sebentar, "ambilkan aku makanan baru yang lebih layak." Katanya.

Si gadis mengangguk dengan cepat dan berbalik untuk mengerjakan perintah. Son mendengus, dia kembali menatap sekeliling halaman.

"Aku akan cabuti semak belukar pengganggu. Lumayan untuk berolahraga."

****