Chereads / Different Life / Chapter 9 - Sebuah Perubahan

Chapter 9 - Sebuah Perubahan

Tak pernah terpikir secuil pun dalam hidupnya akan mengalami kejadian seperti ini. Perundungan? Hah, rasanya dia mau tertawa terbahak sampai berguling di tanah. Tidak, bahkan hanya secuilpun tak pernah ia pikirkan akan mendapat hinaan seperti ini. Apa ya? Terinjak, merasa paling kotor, dan sialnya terlalu lemah. Itu yang sedari tadi terjadi dalam tubuhnya.

Perasaan orang ini, tidak-tidak, perasaan tubuh ini terbawa dan bercampur bersama perasannya sendiri. Apa-apaan itu! Anastasia Clarkson gemetar menghadapi para gadis belia pelaku perundungan. Cih, agen Ze akan merasa mendapat kemenangan kalau tau ini. Sialan, bagaimana caranya Son mengumpat dengan yang lebih kasar.

Tidak-tidak, tubuh ini terlalu lemah untuknya, penakut serta mudah tertekan. Son tidak suka, ia harus mengubah perasaan tubuh ini sama seperti dirinya yang asli. Karena entah apapun itu, Son tidak mau mendekam didalam tubuh yang hanya akan merugikannya sendiri.

Kepalanya berkeliling menatap sekitar, halaman belakang masih sama seperti 15 menit yang lalu saat ia mengusir gadis-gadis tidak jelas itu. Rasanya gatal sekali ingin membuat lahan ini lebih layak ditinggali. Yang benar saja, dirinya serasa hidup di hutan belantara kalau seperti ini.

Lantas dengan pemikiran seperti itu, Son memutuskan untuk berjongkok dan mencabuti rumput yang setinggi betis didekat kakinya. Ia biarkan sinar matahari sore yang terasa hangat menyoroti punggungnya. Ini lebih baik dibanding dia hanya berdiam diri dan membuat keringat hanya karena hawa panas. Setidaknya keringat tubuh ini tidak akan sia-sia.

Namun baru berjongkok selama 10 menit, Son sudah kepayahan. Keringat deras membanjiri seluruh tubuhnya.

"Aduh, kenapa rasanya aku seperti tergencet lemari." Ucapnya terengah, Son berdiri dengan susah payah. Ketika sedang berjalan ke dalam rumah suara gemerincing rantai terdengar dan Son sudah bisa menebak siapa yang akan datang.

"Nyonya, maafkan saya kalau lama. Saya harus memasaknya terlebih dahulu."

Son duduk diatas dipan, suara kayu yang beradu saat berat tubuhya beradu terdengar jelas. Kepalanya mengangguk singkat.

"Ya, ya, asalkan kau mengantarkan makanan padaku aku tak masalah. Apa yang kau bawa?"

Si pelayan tersenyum, dia berjalan pelan dan menaruh nampan yang ia bawa ke dekata Son. Saat penutupnya terbuka, hidangan menggugah selera langsung terpampang, wanginya membuat Son menjilat bibir bawahnya. Sebuah sup ayam yang masih mengepul panas, dengan beberapa potongan buah, satu mangkuk nasi hangat, dengan tumis sayuran yang dihias oleh asparagus dan dua potong kue. Itu cukup membuat perut Son berbunyi.

"Apa kau yang memasak ini semua?" Son langsung menuangkan setengah nasi ke dalam mangkuk sup, dia melirik si pelayan yang tengan menunduk sopan tak jauh dari tempatnya duduk.

"Ya, Nyonya. Maaf jika saya terlalu lama, beberapa bahan makanan untuk anda habis, dan mmm saya hanya bisa masak seadanya saja."

Son mengibaskan tanganya, "tak masalah, masakanmu ternyata enak. Apa kau sudah makan?"

Si pelayan menggeleng pelan. Bibirnya terlipat kedalam dengan tangan yang memelintir pelan apron yang masih terpasang di pingganya.

"Kalau begitu ini makan, aku tidak mungkin menghabiskan semuanya sendiri, ini." Son menyodorkan piring yang ada tumis sayuran dengan nasi yang masih setengah. "Ayo cepat."

Tapi si pelayan malah menatap Son dengan menganga menampilkan ekspresi kaget, sedetik kemudian dia menggeleng keras.

"Maaf Nyonya, itu.. itu tidak sopan, saya tidak berani."

"Apanya yang tidak sopan?" Son mengernyit heran, posisi duduknya kah? Karena Son melipat kaki sebelah kirinya diatas dipan sedang yang kanan masih menapak tanah. "Itu tidak usah dipikirkan, dulu kalau sedang bertugas dan waktunya mepet aku bahkan makan sambil mandi."

Si pelayan mengernyit pelan, lalu menggeleng pelan. "B-bukan itu Nyonya."

"Lalu?"

"Saya tidak berani untuk makan bersama dengan Nyonya." Katanya dengan suara pelan.

Kunyahan Son memelan, sedikit heran mendengar perkataan yang dilayangkan si pelayan. Lalu Son mendengus geli.

"Kau merasa tidak pantas karena aku Nyonya mu?"

Si gadis mengangguk, kepalanya masih menunduk.

"Heh, yang kau panggil Nyonya ini bahkan di serang oleh para pelayan. Kau sendiri lihat bagimana teman-teman pelayanmu itu mengejek dan menghinaku, lalu apa kau masih melihatku sebagai seorang Nyonya?"

Si gadis mengangguk pelan dan Son mendengus geli.

"Bodoh, aku saja tidak merasa kalau aku ini seorang nyonya, kau lihat aku baik-baik, penampilanku layaknya seorang gelandangan. Kau yakin aku istri pertama si Duke yang terhormat itu?" Son mendengus sinis, "aku yakin kau juga menghinaku dalam lubuk hatimu."

Tapi gadis pelayan itu menggeleng dengan ribut, selanjutnya adalah Son dibuat tersedak karena gadis itu lagi-lagi bersimpuh seperti menyembah diringan dengan sebuah isakkan.

"Ampun Nyonya, tapi saya bersumpah, demi apapun yang ada di dunia ini saya tidak pernah menghina maupun menjelekkan Nyonya, saya tidak berani, hukum saja saya Nyonya."

Son menepuk dadanya dengan kuat, dia memandang sekitar nampan, namun air minum yang ia butuhnya nyatanya tidak ada. Oh, rasanya mau mati. Dengan perlahan ia mencoba tenang, batuknya ia tahan dan Son hanya menghirup napas dengan perlahan. Setelah rasa tersedak hilang Son memandang sengit si gadis yang masih terisak

"Yakk." Teriak Son. "Sialan kau, tidak menghina tapi mau membuatku mati dengan cepat."

Si gadis terkaget-kaget, tapi kemudian menggeleng lagi dengan keras.

"Nyonya, tolong hukum saya, saya sudah lancang."

Seketika Son merasa kepalanya berdenyut, dia meringis pelan. Luar biasa, gadis pelayan ini mampu membuatnya kelimpungan.

"Bukan itu, bodoh. Kenapa kau suka sekali dengan hukuman, dan sudah kubilang jangan bersimpuh seperti itu! Aku bukan Tuhan. Berdiri yang benar!"

Gadis pelayan itu langsung berdiri dengan ribut saat mendengar teriakan sang Nyonya, kepalanya menuduk dengan segan.

"Dengar apapun itu, aku tidak suka kau bersimpuh didepanku seperti aku ini Tuhan ataupun Dewa, aku tidak suka, dan tidak perlu menawari diri dengan hukuman, karena aku tidak akan segan-segan jika menghukum seseorang." Desisnya, "kau mengerti?"

Kepala gadis itu mengangguk kaku, isakkannya perlahan memelan. Tangannya dengan cepat mengusap air mata dengan kasar. Masih merasa segan untuk menatap sang Nyonya, perkataan yang tegas dengan aura yang membuat dia merasa ketakutan. Nyonya-nya bukanlah sang Nyonya yang cengeng seperti biasa. Bahkan saat melihat sang Nyonya yang melawan perundungan pelayan-pelayan tadi masih terngiang dalam benaknya.

Tangisan yang biasa mereka lihat atau ocehan frustasi yang biasanya Nyonya lemah ini keluarkan terganti dengan sikap yang bahkan membuat mereka tercengang. Padahal mereka sangat yakin, hari-hari kemarin sin Nyonya cengeng ini masihlah seperti biasanya.

"Ayo makan."

Si gadis menatap sang Nyonya dengan ragu, makan berhadapan dengan majikan bahkan di dalam satu nampan makanan yang sama? Entah apa yang akan ia dapatkan jika tuan Duke Alexander tahu.

"Kalau kau masih ragu, berarti makanan yang kau sajikan terdapat racun, entah aku akan mati beberapa jam lagi, atau aku akan kesakitan dulu beberapa menit kemudian." Ucap Son santai, "saat itu terjadi mungkin yang pertama kali tertawa adalah kau."

Si pelayan menggeleng dengan ribut, "saya bersumpah demi Dewa-Dewi langit, saya tidak akan pernah melakukan hal itu Nyonya, anda harus percaya, saya bersumpah."

Son tertawa kecil disela kunyahan, tangannya menepuk keras dipan yang berada didepannya.

"Cepat duduk, kau juga harus makan."

Pelayan itu mengangguk ragu, berjalan pelan menghampiri Son dan duduk ditempat yang tadi ditepuk keras sang Nyonya. Dengan tangan gemetar, dia meraih piring tumisan yang sudah terdapat nasi.

"Kau juga harus makan buatan mu sendiri, dan ini enak, sebaiknya kau antarkan aku makanan yang kau masak, jangan para pelayan kurang ajar itu."

Gadis itu menganguk dengan tundukannya, dia tersenyum senang. Merasa dihargai dengan pujian yang diberikan sang Nyonya.

"Terima kasih, Nyonya."

Son mengangguk tangan gemuknya terulur untuk mengusak pelan surai gadis pelayan itu, hanya sebuah kebiasaan ketika dia berkumpul dengan para anggotanya, dia akan mengusak surai seseorang jika merasa gemas. Sedang si gadis terdiam kaku, melirik Son dengan takut-takut, tapi melihat senyum Son mau tak mau dia juga ikutan tersenyum.

Walau perubahannya sang Nyonya terlalu drastis tapi ini lebih baik, setidaknya tak ada lagi sang Nyonya pertama yang tertindas dan menjadi bahan perundungan para pelayan.

***