Son terbangun secara tiba-tiba. Napasnya terengah-engah tidak karuan. Keringat dingin membasahi semua tubuhnya. Matanya memandang sekeliling ruangan dengan teliti. Lalu Son mengerjap beberapa kali. Tunggu, tunggu. Sepertinya ada yang aneh.
Son kembali menoleh lagi meneliti sekeliling, lalu berhenti ketika ia menengok sebelah kirinya terdapat dinding yang sama sekali belum di cat. Tangannya ia bawa untuk meraba dinding itu. Jelas ini bukan di rumah sakit ataupun apartermennya.
Tidak mungkin dinding rumah sakit kasar begini. Dinding yang sama sekali belum di lapisi semen halus apalagi cat. Lalu matanya melotot melihat jari-jari tangannya yang gemuk.
Seolah teringat sesuatu Son beralih meraba perut, punggung dan kaki kirinya.
Mulutnya menganga sempurna.
"Se-sejak kapan aku punya betis sebesar singkong begini. Dan lipatan perutku.."
Dengan terperangah Son buru-buru bangkit dan menunduk, melihat bagaimana bentuk tubuhnya yang sekarang. Bulat dan berlemak. Tunggu, tunggu. Bukannya baru saja ia terkena tembakan? Son beralih meraba dahinya.
Tidak bolong.
Hanya terdapat beruntusan kecil seperti jerawat yang lumayan banyak. Son terdiam. Berpikir keras, ada apa dengan dirinya sekarang? Apakah ia koma dan di bawa ke rumah jelek ini? Atau memang dia belum mati dan di rawat disini sampai ia berubah menjadi sebesar sapi?
Hei, jangan bercanda padanya, yang benar saja. Tidak mungkin hanya karena koma tubuhnya menjadi melar begini. Yang ada tubuhnya pasti kurus kering. Tapi ini, Son yakin ia bisa menghabiskan satu bakul nasi dengan sekejap. Dia sesehat itu.
Son lalu berdecak keras, dia mengusap kasar wajahnya. Dia berkacak pinggang, memandang lagi ruangan ini. Dinding kasar yang berupa semen belum sempurna. Lantainya yang tebuat dari tanah, Son berbalik. Tepat di belakangnya ada jendela yang terbuat dari kayu-kayu kecil berjejer dan itu sudah lapuk, gordennya yang kusam dan kotor.
Dua langkah darinya di sudut dekat jendela terdapat lemari dengan kaca yang sudah mulai berjamur. Lalu di sebelah lemari terdapat pintu berwarna coklat yang sudah pudar. Tempat tidur yang baru saja ia gunakan terbuat dari kayu dan akan berderit ketika ia bergerak. Dari tempatnya berdiri Son dapat melihat satu pintu yang agak besar berwarna hitam yang juga sudah pudar.
Son memandang ke atas. Atap rumah ini langsung terlihat genteng, tanpa plafon sama sekali. Son kembali berdecak dan mengusak rambutnya kasar. Sebenarnya ia dimana?
Son berjalan membuka pintu yang berada di sebelah lemari. Hanya ruangan kecil yang terdapat kasur tipis di samping kirinya terdapat jendela kecil yang juga terbuat dari kayu. Tidak ada apapun lagi. Tidak ada lemari ataupun nakas. Lalu dia menutup pintunya lagi. Berjalan memutari ruangan yang sepertinya ruang tengah rumah kecil ini.
Dia menoleh kearah kiri. Son menghampiri sebuah tungku pembakaran yang masih terasa hangat. Terdapat 5 piring putih berjajar di rak kecil dengan gelas kayu yang hanya ada 2 buah, panci dan wajan yang tergantung di dinding hitam. Sepertinya menghitam karena asap dari pembakaran tungku. Ini seperti dapur.
Sejajar dengan tungku pembakaran, di sebelah kiri terdapat ruang kecil. Son melihat beberapa ember berwarna hitam dan putih yang berjejer, ada gayung di atas ember putih paling tengah. Kali ini lantainya berupa batu. Dan ada sebuah batu besar berbentuk bulat tidak sempurna di tengah-tengah
Tunggu, jangan bilang itu toilet. Bahkan tidak ada pintu ataupun penutup lainnya seperti gorden
Son menganga tidak percaya. Dia menghampiri tempat yang seperti toilet itu. Ternyata ada sebuah kayu panjang, ujungnya meneteskan air pada ember hitam di bawahnya. Son melihat kayu panjang itu menembus tembok. Dia penasaran, lalu berjalan melewati jalan antara tempat toilet dan dapur.
Dia melewati lawang yang tidak berpintu. Son tersentak tidak percaya, begitu keluar Son di suguhi pemandangan lahan yang dipenuhi semak belukar. Son juga melihat benteng beton yang mengelilingi rumah ini. Menoleh kearah kirinya kayu yang tadi menembus tembok ternyata sebuah keran yang terhubung dengan alat pompa air manual, disebelahnya terdapat sumur.
"Wow." komentar Son.
Baru kali ini dia melihat pompa air manual begini, setaunya ini ada dalam buku sejarah ketika dia masih sekolah dasar. Son berjalan menghampiri sumur. Kepalanya ia longokkan ke bawah. Dia melihat banyaknya air sumur yang tidak seberapa dalam. Tapi entah kalau dalamnya sumur. Mungkin lebih dalam dari yang ia kira.
Son memperhatikan lagi sekelilingnya. Halaman belakang rumah ini benar-benar hanya di penuhi semak belukar yang menjulang tinggi. Ada beberapa pohon besar juga. Di antara semak belukar Son melihat sekumpulan pohon pisang yang sudah berbuah.
Setelah puas mengamati halaman belakang. Son melangkah menghampiri pintu utama. Dia penasaran dengan halaman depan rumah ini. Tapi begitu membuka knopnya. Pintu itu tidak mau terbuka. Berkali-kali ia tarik pun pintunya tidak goyah sama sekali.
"Ahh sial. Pasti di kunci dari luar." Kesal, Son akhirnya menendang pintu itu.
Dia berbalik dan duduk lagi di dipan kayu tadi. Matanya melirik kaca lemari yang sudah berjamur. Son perlahan mengamati wajah yang ia lihat di pantulan kaca. Keningnya berkerut dalam, dengan perlahan dia bangkit dan meraba kaca itu. Warnanya sudah kekuningan, berjamur di sekelilingnya sampai merembet ketengah.
Tapi Son masih bisa melihat wajah yang sedang menirukan ekspresinya. Dengan lamat Son meraba wajahnya lalu pantulan kaca, seperti itu terus berulang-ulang, sampai ia menjerit dan mundur.
"YAK, WAJAH SIAPA INI?"
Son melotot tidak percaya, wajah yang ia lihat dan menirukan ekspresinya di kaca bukan lah wajahnya. Serius. Walaupun ia berubah jadi buntalan lemak begini tapi wajahnya tidak mungkin jadi orang lain kan? Lalu ini siapa?
"T-tunggu, tunggu. W-wajahnya.. w-wajah ini.. WAJAH KU?" Son kembali berteriak, dia memegang kedua pipi yang terasa penuh dan bulat di tangannya.
"Yak, siapa yang berani-beraninya mengoprasi wajahku hah. Sialan, Yak BRENGSEK!"
Son berkacak pinggang dan melotot pada kaca. Si wajah yang ia lihat tengah menirukan semua gerakannya. Dia mendesis sebal.
Tidak-tidak. Tadi masalah tubuhnya sekarang wajahnya. Yang benar saja, tidak mungkin ia menjadi orang lain hanya karena di tembak. Sial. Yang benar saja.
"Brengsek, sialan. Awas kau agen Ze." Amarahnya memuncak, wajahnya memerah menahan kesal, tak lupa kakinya menendang udara dengan brutal. Dia juga sempat menendang dipan kayu sampai terdengar bunyi kretek nyaring. Napasnya terengah-engah begitu amarahnya masih belum surut.
"Brengsek." Makinya sekali lagi.
Son bawa tubuhnya untuk duduk, bunyi kretek dari dipan terdengar lebih nyaring. Tapi Son tidak peduli. Napasnya masih terengah-engah menahan kesal. Setelah dirasa tenang, Son menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Dia harus berpikir jernih untuk bisa bebas dari sini.
Mengatur rencana, menemukan agen Ze, membalaskan dendamnya dan memulai perhitungan dengan perusahaan tempatnya bekerja, oh dia juga tidak akan lupa dengan lelaki bertopeng keturunan keluarga Megan itu. Semua orang itu harus tau bagaimana cara dia membalaskan penghinaan yang ia terima.
Son terdiam, sikunya bertumpu pada lutut dengan posisi kaki yang agak mengangkang. Ngomong-ngomong pahanya memang tidak bisa ia rapatkan
Bermenit-menit ia berpikir, Son tiba-tiba mendengar suara gemericik ribut dari pintu depan. Dia hanya menoleh, menunggu orang yang sedang membuka pintu itu masuk kedalam. Tapi, keningnya malah berkerut heran melihat segerombolan gadis, yang paling depan membawa nampan yang di tutup penutup bulat.
Son diam saja memperhatikan mereka.
Si gadis paling depan melemparkan nampan ke sisi tempatnya duduk, gadis-gadis di belakangnya terdengar cekikikan.
"Hei gendut. Itu makan siang mu." Katanya dengan melipat tangannya menatap remeh Son.
Son hanya melirik, nampan yang di lempar barusan membuat penutupnya miring.
"Dan ini jatah mu." Gadis tadi melemparkan satu koin perunggu kedekat nampan tadi.
Son diam saja, dia melirik sebentar lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.
Sikap Son yang seperti itu ternyata membuat si gadis paling depan tersinggung, sambil meendengus sebal dia menendang kaki dipan yang tengah Son duduki.
"Cih, dasar sombong. Kau bahkan lebih rendah dari kami babi gendut." Katanya dengan nada remeh.
Son menoleh mendengar kalimat barusan, dia menatap tajam si gadis.
"A-apa?" Gadis itu tiba-tiba merasa gugup dengan pandangan tajam yang Son layangkan, dia berdehem memperbaiki nada suaranya.
"Dengar ya gendut. Cepat habiskan makan siangmu dan kami akan mengambil kembali nampanya dua jam lagi." Setelahnya si gadis berbalik dan berjalan paling dulu menuju pintu.
"Dadah genduut.." gadis-gadis yang lain berjumlah 5 orang mengejeknya sambil tertawa cekikikan. Mereka berlalu. Dan terdengar suara gemericik dari luar. Son menebak pasti itu rantai.
Lalu dia mendengus, dia melirik lagi nampan yang katanya berisi makan siang. Tangannya menyingkirkan penutup bulat itu.
Dalamnya hanya bubur berwarna kekuningan dengan seiris wortel satu buah buncis dengan beberapa kacang polong dan juga satu lembar roti kering. Kening Son berkerut mencium bau yang tidak mengenakkan menguar dari bubur itu.
Son lalu mengambil roti keringnya. Benar-benar kering, saking keringnya ia kira ini adalah batu. Lalu dia meremas roti itu sampai hancur. Sialan, ternyata mereka juga menghinanya terang-terangan.
Dengan kesal Son melempar remahan roti kesembarang arah, menutup lagi nampanya dan melemparnya ke lantai. Sungguh baunya membuat perutnya mual.
Tak sengaja ia melihat koin yang gadis tadi lemparkan. Son mengambilnya, dia mengamatinya dengan seksama. Koin perunggu dengan dua sisi gambar yang berbeda. Sisi yang pertama ia lihat naga yang menyemburkan api, sisi lainnya ia lihat gambar seorang lelaki dengan memakai mahkota. Son berkerut heran.
Untuk apa dia di berikan koin ini .?
Lalu dia mengangkat bahunya tidak peduli, koinnya ia lemparkan ke dekat lemari. Son putuskan untuk merebahkan dirinya, sepertinya tidur siang enak. Karena entah kenapa badannya merasa lelah dan matanya mengantuk berat.
Rencana kaburnya nanti sajalah ia pikirkan. Untuk sekarang ia akan tidur santai lebih dulu.
***