Jarum jam berlalu dengan gerakan lambat. Suasana hingar bingar club mewah sudah tidak terlihat lagi. Pukul 05.06 menandakan club sudah tutup dari beberapa menit yang lalu. Hanya ada beberapa pegawai yang sedang membersihkan sisa-sisa dari para pelanggan.
"Segera bereskan, setelah itu kalian boleh langsung pulang." Zedd memberi perintah dari lantai atas.
Semua pegawai mengangguk mengerti. Mereka mempercepat pekerjaannya. Setengah jam berlalu, semua sudut bar ini sudah bersih seperti sedia kala. Para pegawai sudah pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan para bodyguard, di siang hari memang club mewah ini tidak akan ada yang berjaga kecuali satpam depan dan 2 orang yang bertugas di ruang cctv.
Zedd mengangguk puas dengan kinerja mereka. Lalu dia keluar dan pergi dari sana melakukan pekerjaan yang lain. Jarum jam di tengah ruangan begitu terdengar di keadaan sunyi senyap ini. Dari ruang staf di bilik loker pegawai paling ujung, Son sedang memandangi layar Handphonenya dengan serius.
Son sedang memperhatikan keadaan di dalam club, ia baru ingat tentang cctv tadi jam 4 pagi karena ia ternyata tertidur dalam keadaan berdiri. Handphone yang ia pakai khusus untuk melakukan hal-hal seperti ini. Dan untungnya cctv bisa di akses dengan mudah. Keadaan luar club juga masih terpantau sepi dan lengang. Dari ruang cctv, 2 pegawai itu tertidur begitu pulas di atas sofa.
Tapi Son menyayangkan hanya ruangan manager dan 3 ruangan lain yang berjejer itu tidak bisa ia akses sama sekali. Sulit atau memang sepertinya tidak ada cctv di sana. Entahlah. Yang pasti untuk 4 ruangan itu Son benar-benar harus menyiapkan diri.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 08.26 baru Son keluar dari persembunyiannya. Son melangkah tanpa menggunakan sepatu haknya. Dia memutar knop pintu yang tidak di kunci, melangkah pelan kekamar mandi terlebih dahulu, aman tidak ada orang.
Lalu dia melangkah pelan ke arah tengah ruangan bar, kosong. Tidak ada orang sama sekali. Wangi pengharum lantai berhembus tercium olehnya. Gelas-gelas kaca tersusun rapi di depan meja bartender. Botol-botol anggur mahal dan jenis alkohol lainnya terlihat bersinar. Ruangan terlihat redup dengan penerangan minim.
Son memandangi sebentar suasana sepi lantai ini lalu beralih ke lantai atas. Kakinya melangkah pasti menyusuri tangga. Tujuan pertamanya adalah ruangan manager.
Terkunci.
Son menutar knop pintunya sekali lagi, tapi tetap saja terkunci. Lalu dia mengambil jepit rambut besi yang ia pakai. Fiel berjongkok, mencoba membuka pintu lewat lubang kecil dengan jepit rambutnya. Hanya membutuhkan beberapa detik, suara klek pintu terdengar. Son mau tak mau tersenyum tipis.
Dia membuka pelan pintu ruangan itu, mengintip sebentar lalu membuat ancang-ancang siapa tau ada si manager di dalamnya. Nihil. Kosong. Si manager sudah pulang seperti para pegawai lain. Son entah kenapa merasa sedikit lega. Lalu ia tutup lagi pintu itu, masuk dengan berjalan terburu-buru melangkah mendekati meja manager.
Tangannya sigap mencari beberapa berkas penting yang menunjukkan adanya aktivitas transaksi narkoba atau penjualan organ yang sudah di bahas oleh ketua Paul. Namun Son berdecak kesal, dari sekian banyak berkas yang bertumpuk di meja tidak ada satupun berkas yang ia cari.
Berkas-berkas itu hanya pendataan wine mahal serta jenis alkohol lainnya yang masuk setiap hari, jumlah pelanggan, dan juga pendapatan perhari.
Lalu Son beralih lagi mencari di laci meja, itupun masih tidak ada. Lalu beralih pada lemari rak yang berada di belakang kursi manager, tapi itu hanya berkas-berkas yang sudah lewat satu bulan yang lalu. Son menghela napas kesal.
Matanya menatap sekeliling ruangan.
Tidak ada yang special sama sekali. Tidak ada brangkas tidak ada lemari yang terkunci atau sesuatu yang mencurigakan. Son diam berpikir. Ini bahkan lebih mencurigakan, kenapa rasanya seperti di sengaja untuk ia mencari tahu. Kalau sebenarnya di sini tidak ada hal yang sedang ia cari.
Son menatap sekeliling ruangan sekali lagi lebih teliti. Badannya berputar mencari yang sekiranya dapat di jadikan petunjuk. Namun sepertinya dia harus berdecak kesal sekali lagi. Benar-benar tidak ada apapun. Lalu dengan langkah lebar Son keluar dari ruangan manager. Son menoleh ke tiga pintu yang berjejer di sebelah kirinya.
Dengan perlahan, ia berjalan dan memutar knop pintu kedua, terkunci. Sama seperti pintu pertama, Son menggunakan jepit rambutnya untuk membuka kunci.
Suara pintu terbuka, ia melangkah kedalam. Lalu dahinya mengernyit aneh. Tidak ada apapun di dalam sini. Hanya ada sofa hitam di sebelah kiri ruangan. Tidak ada meja, berkas, ataupun lemari. Kosong. Tidak seperti yang ia bayangkan. Son melangkah keluar menutup pintu.
Pintu ketiga sama seperti sebelumnya. Terkunci dan Son melakukan hal yang sudah-sudah. Ketika masuk kedalam. Son malah makin aneh. Ruangan ini kosong melompong. Tidak ada benda apapun. Hanya lampu saja yang menyala. Son mengerutkan keningnya tidak mengerti. Apakah ini termasuk ruangan yang sama sekali belum terpakai? Atau kah sengaja?
Son mengangkat bahunya tidak peduli. Dia keluar dan menutup pintu. Tersisa satu pintu. Entah ada angin apa tiba-tiba perasaan tidak enak malah muncul. Son segera menepis perasaan itu. Dia berjalan melakukan hal yang sama terhadap tiga pintu yang lain.
Tidak seperti ruangan sebelumnya. Ruangan ini malah gelap gulita. Son mencari handphonenya guna menyalakan senter, tapi sialnya si handphone yang tadi ia pakai entah ia taruh dimana. Ah, pasti di ruang loker. Gerutunya.
Son mencoba meraba dinding di dekatnya, di berjalan menyusuri mencari saklar. Setelah lampu hidup, Son menatap ruangan dengan teliti. Ini seperti ruangan pertama. Seperti ruangan duplikat. Sama persis, tata letak barang, warna ruangan pun barang-barangnya yang sama persis. Son mengerutkan alisnya lagi.
"Kenapa ruangannya sama persis?" Tanya Son pelan.
"Entah, lah. Mungkin manager sangat suka dua ruangan yang sama."
Suara berat seseorang membuat Son berjengit kaget. Dia mundur dua langkah. Dan melihat seorang lelaki dengan topeng yang sedang bertumpang kaki di sudut kanan ruangan terhalang oleh pintu yang belum ia tutup.
Son membuat gerakan siaga. Dia menatap tajam si lelaki yang tenang-tenang saja sambil menggoyangkan gelas berisi wine.
"Oh, hai Meggy." Sapa si lelaki dengan riang, bibirnya tersenyum menatap Son.
"Atau haruskah aku panggil agen Son?" Tanya si lelaki dengan nada main-main.
Son makin membuat aura waspada. Matanya menatap si lelaki yang kini berdiri dari duduknya. Tangannya ia masukkan kedalam saku celana. Kepalanya miring ke kanan menatap Son dengan teliti.
"Kau habiskan malam mu di ruangan loker?" Si lelaki terkekeh geli.
"Kenapa kau repot sekali menginap di sana agen Son?"
Son hanya diam saja, memandang datar si lelaki.
"Kau sudah menemukan yang kau cari agen Son?" Si lelaki itu, bos besar, berjalan menghampiri Son perlahan.
"Sayang sekali kau di tugaskan di bar ini. Kenapa tidak coba ke bar inti ku saja? Disana banyak sekali hal penting yang kau cari." Bibir si bos tersenyum senang melihat aksi diamnya Son.
Baru kali ini dia merasa tertarik oleh orang yang diam saja menghadapinya. Lalu bos besar itu terkekeh. Langkahnya ia bawa mendekati Son. Wajahnya ia sejajarkan dengan Son, meneliti dengan intens bentuk wajah agen Son. Cantik dan sempurna pada tempatnya.
"Kau tau agen Son. Apa yang kau cari tidak akan kau temukan hanya karena kau menggeledah laci meja dan berkas yang di tumpuk." Si bos tersenyum sinis.
"Itu karena kau harus mencarinya bukan pada kertas, tapi di satu tempat yang tidak akan adanya kertas berisi data." Sambungnya.
Son menatap bola mata kehijauan si lelaki dihadapannya ini. Terlihat bulu mata yang lentik dan bibir kissable yang merah merona. Wangi aroma bergamot bercampur aroma resin mur tercium olehnya. Bahu tegap dengan proporsi tinggi yang sempurna. Aura yang terpancar dari lelaki ini bukanlah untuk orang biasa.
"Siapa kau?" Tanya Son membuka suara.
Si bos besar tertawa kencang. Wine dalam gelas yang ia pegang terlihat bergoyang dengan isinya yang jatuh keluar. "Tunggu tunggu, kau di tugaskan memata-matai club ku tapi kau tidak tau siapa aku?" Tanyanya masih tertawa kencang.
Son diam saja memandang lelaki itu tanpa ekspresi apapun.
"Hebat sekali kau.." tawa si lelaki sedikit mereda, dia berdehem dua kali," apakah aku harus mengenalkan diriku?"
Mereka bertatapan dalam diam, lelaki di hadapannya menunggu jawaban Son. Dan Son tidak mau membuka mulut atau sekedar menjawab ya.
"Baik. Baik. Aku perkenalkan diriku. Namaku Jacob Morgen. Dan aku keturunan Morgen yang ke empat." Jacob menunduk ala bangsawan yang memperkenalkan diri.
"Morgen?" Tanya Son pelan.
Jacob tersenyum miring. "Ya, Morgen. Tidak mungkin kau tidak tau keluarga terpandang Morgen."
Iris mata Son bergetar menatap Jacob. Tangannya mendadak tremor. Kakinya melangkah mundur perlahan menjauh dari Jacob, dia menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan tidak percaya.
"Anastasia Clarkson." Panggil Jacob dengan suara beratnya.
"Agen Son. Bergabung selama 6 tahun dan sudah menjadi agen elite di perusahaan keamanan ternama di dunia. Kemampuan yang tidak akan siapapun meragukannya. Bukan begitu?..." Jacob mengubah tatapannya menjadi dingin. "...Anastasia Clarkson?"
"Oh atau aku salah mengungkapkan informasi?"
Jacob berbalik dan berjalan menghampiri kursi yang tadi ia duduki, berpangku kaki dan menuangkan lagi wine mahalnya dengan elegan.
"Anastasia Clarkson. Anak dari Erhard Clarkson. Pengusaha tambang emas yang mempunyai kekayaan setara dengan keluarga Morgen. Tapi sayang, nyawa keluarganya tidak bisa bertahan lama di dunia karena di bunuh oleh musuh yang menginginkan tanah pelelangan hasil dari sitaan pejabat korupsi. Ayah mu dengan sukarela membeli tanah 5 hektar itu dengan harga tinggi. Musuh ayahmu membelinya dengan harga yang lebih tinggi tapi tidak ia berikan. Karena ayahmu tau. Tanah gersang itu punya harta karun yang tertimbun jauh di dalamnya." Jacob berdecak setelah meminum winenya.
"Tapi sayang sekali. Musuh ayahmu punya 1001 cara agar tanah itu mereka dapatkan. Yaitu dengan membunuh semua keturunan dan saudara ayahmu." Jacob terkekeh, dia menaruh gelas wine dengan agak kasar lalu menyandarkan punggungnya dengan santai menatap Son yang diam tak bergerak sama sekali.
"Tapi tuhan berkehendak lain. Anak perempuan ketiga mereka selamat dari tragedi berdarah itu dan masih hidup sampai sekarang.." Jacob tersenyum miring. "Sampai dia membalaskan dendamnya, membunuh semua keturunan dan saudara musuh ayahnya sampai tidak tersisa, itu keren kau tau?"
Jacob berdiri, dia berjalan pelan menghampiri Son yang sudah siaga.
"Sayangnya yang ia bantai menyalahi target."
Jacob berhenti di depan Son, memandangi raut wajah datar itu.
"Bukankah seharusnya kau tau kalau Roland Morgen bukan lah musuh ayahmu. Kenapa kau membantai dengan bayinya sekaligus?" Nada berat Jacob membuat seisi ruangan mendadak dingin.
Tangan Son mengepal sempurna, dia menatap lebih tajam kedua mata Jacob. "Dan seharusnya kau tahu. Kalau dia juga terlibat dengan keluarga Sigrid. Dia yang memberi tahu semua informasi tentang keluargaku."
"Bukankah kau juga tahu kalau ayahmu itu berhutang pada pamanku? Dan asal kau tau Anastasia Clarkson, ayahmu lah yang membuat semua kekacauan ini. Dia mengumpankan marga keluarga kami pada pemerintah dengan dalih sebagai informan rahasia untuk negara lain."
Lalu hening terjadi. Son maupun Jacob saling memandang dengan tajam. Mereka punya keyakinan masing-masing dalam argumen yang mereka lontarkan.
"Cih, memang sama seperti Clarkson yang asli. Bodoh dan berpikiran sempit." Jacob yang pertama kali memutuskan tatapan mereka, dia mundur menjauhi Son.
"Tapi aku bersyukur, atas kejadian ini aku bisa bertemu dengan pembunuh keluarga pamanku tanpa harus bersusah payah. Kau datang sendiri padaku di saat aku bahkan sudah akan melupakan kejadian itu." Jacob terkekeh.
"Oh, aku akan balas dendam agen Son dan itu perlu. Tapi aku tentu tidak akan mengotori tanganku dengan percuma." Jacob menoleh pada pintu yang terbuka.
Lalu suara langkah high heels terdengar. Son menolehkan pandangannya pada pintu. Disana. Agen Ze sedang berdiri tegap menenteng dua buah rellover berbeda warna.
"Surprise.. " Jacob berkata riang, dia bertepuk tangan dua kali. "Nah, ini kejutan untuk mu agen Son."
Son melirik Jacob yang tertawa sambil berjalan lagi pada kursi yang tadi. Laki-laki itu duduk dan bersantai memainkan winenya sambil tersenyum seolah melihat pertunjukan opera.
"Maaf agen Son. Tapi aku harus melakukan ini secepat mungkin."
Son melotot kaget, dia melompat ke belakang meja di kala agen Ze menodongkan kedua pistolnya.
Letusan pistol terdengar bergema di ruangan sempit yang sunyi ini. Son mendengar kekehan Jacob, dan helaan napas Ze. Son langsung merogoh senjata yang ia simpan di pahanya. Bersiap untuk membalas.
"Kau tau agen Son. Aku muak padamu dan akan selalu muak." Ze membuka suara.
"Aku bukanlah junior mu, aku masuk ke perusahaan tiga bulan setelah kau dan bukankah kita setara? Tapi kenapa mereka-mereka itu selalu saja terfokus oleh mu, hah? Kemampuan ku juga sama seperti mu SIALAN."
Ze berteriak dan menembak lemari yang ada di belakang, dia mendesah frustasi. Seolah-olah dia harus mengeluarkan semua pikiran yang selama ini ia pendam, dia melanjutkan,
"Kau harus tau satu hal agen Son, yang memilih mu untuk misi ini adalah aku. Aku yang meminta ketua Paul untuk menggunakan dirimu. Karena kau tau kenapa? Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membunuh mu di dalam misi." Ze berdesis, setiap kata yang ia keluarkan punya makna kekasalan yang amat dalam.
Dari balik meja Son perlahan bangkit dan menodongkan pistolnya pada agen Ze. Wajah kaku tanpa ekspresi Son menatap datar Ze, tapi jika lebih teliti, binar mata Son tidak percaya apa yang agen Ze katakan. Karena seingatnya dia tidak pernah punya masalah apapun dengan rekan atau pun orang-orang di dalam perusahaan. Son orang yang tidak akan mengakrabkan diri begitu saja kalau bukan karena tugas. Dan untuk Ze, dia sama sekali tidak merasa dengan apa yang perempuan itu katakan.
"Kau terlalu tamak, dan aku benci ketika kau merasa di atas angin. Dari semua misi yang ketua Paul berikan, hanya akulah yang mendapatkan misi sampah dan itu adalah tugas buangan dari mu." Ze terkekeh sinis, dia menatap benci pada Son.
"Kalau kau ingin misi yang layak. Kau seharusnya bisa mendapatkan itu kalau memang layak." Son menjawab.
Ze tertawa kencang mendengarnya, "lihatlah jagoan kita. Benar-benar keparat sombong."
"Aku tidak akan menyesal menerima tawaran tuan Morgen. Berkhianat untuk membunuh mu adalah alasan utamaku sekarang. Aku tidak perlu repot-repot memutar otakku untuk mengumpankan mu." Sambungnya di iringi kekehan sinis.
Son tetap bertahan menodongkan pistolnya, "aku tidak mengerti dengan semua iri hatimu agen Ze. Aku bahkan tidak tau kau menerima misi-misi rendahan seperti itu. Dan sekarang sekarang kau menyalahkan ku?"
Ze berdecih, "kau memang tidak akan pernah mengerti. Dan harusnya kau juga tau. Para petinggi mengijinkan ketua Paul menugaskan mu karena mereka yakin kau adalah umpan yang paling sempurna di perusahaan. Karena apa? Karena yang menyewa kita adalah adik dari pemilik club ini. Mereka akan melepaskan satu agen elite untuk melindungi perusahaan. Para petinggi itu mengorbankanmu demi sebuah harga tinggi yang di tawarkan."
Rahang Son mengetat mendengar perkataan Ze. Giginya bergemeletuk seiring dengan amarah yang timbul perlahan, tangannya memegang pistol dengan erat hingga jari kukunya memutih.
"Sudah terjawab rasa penasaran mu?" Tanya Ze dengan nada main-main:
"Kalau kau ingin menembakku tembak saja."
Son mengarahkan moncong pistolnya kearah kepala Ze, "aku tidak pernah punya urusan apapun padamu agen Ze." katanya dingin.
Ze tertawa kembali, dia menggeleng dengan raut wajah geli. "aku yang selalu punya urusan dengan mu. Dan aku sudah terlanjur muak."
Son mencoba menarik pelatuk pistolnya berkali-kali, tapi sialannya tidak ada suara tembakan ataupun peluru yang keluar. Dia menatap tajam Ze yang tengah tertawa geli.
"Surprise.. hihi aku yang menghilangkan pelurunya." kata Ze dengan nada riang.
"Bos aku akan langsung saja ya?" Ze menoleh pada Jacob yang tengah menonton mereka sedari tadi. Lelaki itu mengangguk.
Ze menatap kembali menatap Son yang membuang pistolnya ke sembarang arah, " nah ayo kita mulai."
Tembakan pertama hanya mengenai dinding, Son dengan gesit menghindar, dia berlari lagi kebelakang meja.
Ze melangkah dengan perlahan sambil bersenandung, wajahnya terlihat bahagia di tengah suasana tegang dan menyeramkan pagi ini.
" ARRGGHHH "
Dua tembakan itu mengenai punggung tengah dan kaki kiri Son yang akan berlari keluar pintu. Son menjerit kuat, rasa sakitnya berdenyut hebat. Darah keluar mengotori lantai. Son merayap perlahan menjauhi Ze yang sedang menuju kearahnya.
"Ahh sayang sekali meleset." Ze cemberut, dia terkikik geli melihat Son yang merayap seperti buaya.
"Agen Son~" panggil Ze dengan mendayu.
Son berusaha kuat keluar dari ruangan, rintihan keluar dari mulutnya seiring dengan gerakan tubuhnya.
"Berhenti lah Son. Percuma saja." Ze menyender di palang pintu, dia bersidekap dada menggeleng prihatin.
Son mendesis hebat, kaki kirinya mulai mati rasa dan perutnya benar-benar terasa nyeri. Sepetinya peluru yang digunakan menembus sampai organ perutnya. Dia mencoba bangun. Ketika mendongak matanya tak sengaja menatap tubuh seseorang yang tergantung di langit-langit ruangan. Matanya melebar sempurna, dia segera menoleh pada Ze yang tengah tersenyum manis.
"Kau.. KAU MEMBUNUH CAT?" Teriak Son, wajah piasnya menatap tak percaya pada Ze.
Ze mengangkat kedua bahunya seolah tidak peduli. "Dia tidak mau bekerja sama. Apa boleh buat." Katanya enteng.
Son mengepalkan tangannya mencoba meredam amarah. Dia mengumpulkan semua kekuatannya mencoba untuk bangun. Dengan tertatih, Son berhasil berdiri walaupun sesekali oleng, tangan kanannya mencoba meraih teralis pembatas, dia berpegangan kuat mencoba untuk tidak ambruk.
"Kau gila agen Ze. Hanya karena iri kau berkhianat sampai sejauh ini." Son mencoba menahan ringisan sakit yang menjalar keseluruh tubuhnya.
"Entah lah. Aku pikir aku memang gila sedari dulu."
"Lantas kau senang dengan semua ini?"
"Tentu, senang sekali melihatmu tidak bisa melawan seperti itu. Aku jadi ragu kau ini agen elite atau bukan." Ze berkata dengan nada remeh.
Son mendesis, "aku mencoba untuk menghargai mu karena kau rekan kerja ku. Tapi sepertinya aku salah."
Ze mendengus jengah, "aku tidak perlu rasa kasihan mu ."
"Tidak kah kau berpikir, laki-laki itu juga akan membunuh mu? Itu tidak akan ada bedanya."
Ze menatap tajam Son, dia melangkah mendekati Son yang sedang menahan sakit. Dia melemparkan pistol yang ada di tangan kirinya entah kemana.
"Dengarkan aku Son. Aku tidak butuh kata-kata yang keluar dari mulut mu ini.." Ze mencengkram kuat rahang Son. "..aku sudah senang melihat mu tidak berdaya seperti ini. Sangat menyenangkan dan itu terlihat seperti sehuah lelucon di mataku."
"Aku bersumpah, aku tidak akan melupakan penghinaan ini. Dan aku akan membalas kau agen Ze." Dengan suara serak Son mencoba fokus, banyaknya darah yang keluar membuat ia pusing, kepalanya serasa berputar dan kakinya tidak kuat menahan tubuhnya sendiri.
Ze malah terkekeh, dia menghempaskan wajah Son dengan kasar dan mundur 3 langkah kebelakang.
"Ya. Coba kau balas di dimensi lain.." Ze mangangkat tangan kanannya menodongkan pistol ke arah dahi Son. "..karena sekarang hidup mu disini akan berakhir."
Seiring dengan suara tembakan yang menggema, tubuh Son melayang kebelakang. Jatuh dari lantai atas dan ambruk dengan keras ke lantai bawah. Semua sendi dan perasanya sudah mati rasa. Pandangannya mengabur seiring napasnya yang memendek.
Ze melangkah pelan, melongokkan kepalanya kebawah. Bibirnya tersenyum. Dia melihat darah yang perlahan menggenang di sekitar tubuh Son.
Ze berdecak prihatin beberapa kali. "Kasihan." Katanya pelan.
Di akhir kesadarannya, Son memandang jijik dan benci pada Ze yang menatapnya hina. Dalam hatinya dia bersumpah akan membalas semua perbuatan Ze dengan sama persis. Ya. Dia akan pastikan itu.
Lalu perlahan semuanya gelap.
***