Suasana rumah saat Nicholas kembali begitu sunyi dan senyap. Sekelilingnya dilingkupi kegelapan akibat pencahayaan yang begitu minim seperti biasa.
Nicholas lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa menimbulkan suara. Membuka kenop pintu dan mencari satu sosok yang selama setengah hari ini mengganggu konsentrasinya.
Savvana tersadar ketika dia menyadari ada seseorang yang berada di dekatnya. Mengawasinya dalam gelap dan membuat sekujur tubuhnya menggigil. Savvana hampir saja berteriak kencang jika mulutnya tidak dibekap paksa oleh Nicholas.
"Ini aku. Dan jangan berteriak. Apa kamu tidak bisa mengenali bayangan suamimu?"
Savvana menepis kasar tangan Nicholas.
"Apa yang sedang Anda lakukan? Kenapa Anda mendadak mengejutkanku? Dan membuatku takut setengah mati..!"
Savvana tersentak ketika melihat mata coklat dan jernih itu menatapnya lurus tanpa berkedip di tengah-tengah pencahayaan yang remang. Jarak mereka pun berubah menjadi hanya terpaut beberapa inci. Savvana tanpa sadar mundur ke belakang.
Dia tersadar sedang terkurung hanya berdua dalam kamar Nicholas. Lalu, sah saja jika mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih intens daripada ini dan berakhir menjadi mimpi buruk. Savvana tertegun membayangkan hal yang mengerikan.
Dia terkesima pada ketampanan luar biasa Nicholas yang tak memiliki celah. Hatinya juga kian berdegup kencang tanpa bisa diatur dan inginkan. Nicholas mendekat dan membuat Savvana semakin ketakutan.
"Tuan... apa yang akan Anda lakukan?" bibirnya bergetar. Savvana juga sadar ucapannya terdengar bergoyang. Mata Nicholas memicing.
"Apa kiranya yang akan aku lakukan denganmu?"
Savvana menelan salivanya.
"Anda sudah berada di luar untuk tidur bersama gudik Anda. Jadi, saya yakin Anda tak akan melakukan apapun dengan saya?" Savvana benci melihat tatapan buas Nicholas. Dia tidak bersedia menghabiskan malam pertamanya bersama Nicholas. Meski mereka sudah berstatus suami istri.
Nicholas mengulaskan senyum tipis. Dia tidak terkejut melihat wanita polos macam Savvana menyebutkan kata 'gudik' dari bibirnya yang mungil. Dia juga telah tahu bahwa Savvana sempat menguping pembicaraannya dengan Elsa.
Nicholas menemukan sisa air mata di salah satu sudut mata Savvana.
"Kamu cemburu? Kamu marah padaku dan mengusirku?"
Savvana menunduk dalam. Dia terjebak antara dinding dan pandangan tajam Nicholas.
"Saya tidak mungkin cemburu. Dan jangan pernah berharap! Tapi saya memang marah dan ingin mengusir Anda."
Nicholas menurunkan pandangan matanya untuk menelusuri lekuk tubuh Savvana yang sebetulnya tidak buruk. Savvana cantik dengan standar-nya. Dia bisa memikat pria lain jika dia lebih meningkatkan pesona tersembunyinya.
"Aku menginginkanmu. Malam ini. Dan jangan membantahku."
Mata bulat Savvana terbuka lebar. Dia terkejut mendengar perintah itu. Dia juga sama sekali belum mempersiapkan hatinya.
"Saya mohon jangan. Anda sudah puas bermalam dengan wanita lain. Namun, Anda masih juga menginginkan saya?"
Nicholas menyentuh rambut panjang Savvana.
"Dia dan kamu berbeda. Lalu, akan lebih baik jika kamu menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri."
Savvana mengalihkan pandangannya ke samping. Dia menolak untuk menuruti permintaan Nicholas. Dia sudah sangat menderita menikah dengan pria asing. Kini pria yang sudah menjadi suaminya bahkan tak sedikitpun mempertimbangkan bagaimana keji sikapnya kali ini pada Savvana.
"Jangan pernah bermimpi. Meski saya harus mati. Saya tak akan menuruti permintaan Anda!"
Nicholas merengkuh wajah Savvana. Mendekapnya erat dan tak bersedia membiarkannya sampai lepas.
"Apa ini berarti kamu menolakku? Meski aku bersedia memberikan apapun yang kamu inginkan dan memanjakanmu dengan uang?"
Savvana mendorong Nicholas agar menjauh.
"Singkirkan wajah menyebalkan Anda dari hadapan saya! Anda hanya akan menjadi pengecut jika menginginkannya!" Savvana sulit menutupi ketakutannya. Dia gelisah. Dia juga sangat cemas bila malam ini akan menjadi malam terburuk baginya.
Nicholas tak mengendurkan keinginan sesaatnya. Dia memang sempat berpikir bahwa dia mungkin akan menyesali ini nanti. Namun, keinginan besarnya untuk mengetahui bagaimana dia akan melewatkan malam pertamanya bersama Savvana membiusnya.
"Vana... kamu adalah istriku. Kamu harus melakukan apa yang diwajibkan. Tak ada alasan bagimu untuk menolak. Aku pun harus menjalankan tugasku sebagai seorang suami di kamar ini."
Savvana menggigil hebat. Dia tak bersedia menurutinya.
"Tidak! Lepaskan aku dan menyingkirlah!" ini adalah permohonan sungguh-sungguh Savvana. Namun Nicholas tak berusaha mencoba untuk memahaminya.
Nicholas merengkuh bibir Savvana. Mengecupnya dalam dan bermain lidah saat dia membuka paksa bibir Savvana yang sekuat tenaga bungkam. Savvana gagal mempertahankan dirinya. Dia kalah kuat menghadapi cengkraman ketat Nicholas.
Dia juga merasa telah dipermalukan.
Tangannya yang gemetar berusaha mendorong Nicholas menjauh darinya. Tapi tak berhasil. Dia justru membuat jarak kosong diantara mereka semakin mengecil. Nicholas dengan berani mendorong Savvana hingga jatuh ke atas ranjang. Menindih tubuhnya dan menekannya.
Savvana memejamkan mata. Dia takut melihat ke depan.
Dia juga sudah terjepit antara tekanan batin dan fisiknya secara bertubi-tubi. Hingga rasanya kehormatannya pun ikut dibombardir.
"Le... paskan.. aku. Menjauh.. dan jangan.."
Belum selesai melayangkan segala gugatannya. Nicholas sekali lagi merengkuh bibir Savvana. Mengecupnya dengan buas dan menyentuh setiap inci tubuh Savvana dengan tanpa adanya aturan.
Mengecup bagian mana saja yang dia sukai. Menyentuh setiap bagian yang ingin dia kuasai. Savvana mengernyit hebat. Dia meremas kuat sprei tebal yang menjadi saksi bisu dari sikap kurang ajar Nicholas padanya.
"Ini penipuan! Bagaimana mungkin kamu membuat semua orang mengatakan hal baik tentangmu? Mengatakan bahwa kau adalah pria paling sempurna dan terbaik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih baik dari seorang pekerja komersial?"
Nicholas menertawakan tuduhan menggelikan Savvana.
"Jadi, alasan sebetulnya kau ingin menikah denganku adalah, karena aku termasuk dalam jajaran pria sempurna dan terbaik? Karena itu, kamu tidak pernah berniat untuk berpikir dua kali? Langsung menerima dan menyanggupinya? Sambil berpikir bisa mendapatkan keuntungan pribadi dariku?"
Savvana menunjukkan kelelahannya dalam menjelaskan kesalahpahaman ini. Dia muak. Dia juga jijik pada dirinya.
"Sejak awal saya tidak pernah menyanggupi permintaan itu. Anda yang memaksa saya. Dan Anda juga yang sudah mengancam!!"
Nicholas menghentikan perdebatan mereka. Dia mewujudkan kata-katanya. Menjadikan Savvana sebagai wanitanya dan mengukir sebuah moment yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
***
Malam itu akhirnya lewat dengan segala situasi yang panjang bagi Savvana. Berbagi raga dan menyatukan diri dengan pria asing yang masih belum Savvana kenal dengan baik. Bahkan hanya sepenggal.
Segala situasi semalam membuat ekspresi wajah Savvana keesokan paginya menjadi beku. Menatap sedih dan kosong bagaimana pun dia berusaha menghadapi situasi menyengsarakan semalam.
Puluhan butir air mata menetes tanpa henti dari sumbernya. Sudah berulang kali ditahan. Namun selalu saja gagal. Hingga rasa sakit dari penghinaan ini menciptakan lubang. Savvana berjuang melawan sakit hatinya dan bergumam pelan dalam kemelut pikirannya yang masih kacau.
"Apa sebenarnya kesalahanku? Hanya karena aku ingin membantu dan menolong Arianna. Anda tega melakukan hal ini padaku?" masih belum bisa menerima semua kenyataan pahit ini. Savvana berulang kali bertanya-tanya sebetulnya di titik mana dia harus memperbaiki kesalahan pahit dalam hidupnya?
Dia hanya bermaksud menyelamatkan kepentingan semua orang. Namun, kini dia harus menjadi korban yang tidak berhak menuntut perlindungan?!
Nicholas terjaga. Dia menatap sepintas sosok Savvana yang duduk kaku di pinggir ranjang sambil melipat tangan sekaligus kakinya di balik selimut. Nicholas teringat kembali pada apa yang telah dia lakukan pada istrinya.
Mereka telah menyatukan tubuh mereka. Nicholas pun mengingat ulang berapa banyak kadar alkohol yang dia minum sebelum mendatangi wanita malang ini.
"Apa kamu... masih belum merasa baik?" tanya Nicholas mencoba logis.
Savvana tak merespon. Dia hanya diam dan tenggelam dalam kesedihannya.
***