"Apa kau mulai mencintai Yuna?" Nara berbalik tanya pada suaminya.
Soni langsung pergi begitu saja dari kamar VVIP sang anak. Soni benar-benar malas berdebat seperti ini.
Nara sudah menahan tangan sang suami, tapi tenaga laki-laki sudah pasti sangat kasar dari pada wanita.
Soni sudah pergi dari kamar VVIP dan hanya ada Nara yang menatap ke arah ranjang rumah sakit. Perlahan-lahan Nara melangkahkan kakinya menghampiri ranjang itu.
"Nak, lekas sembuh ya!" Nara membelai wajah anaknya yang masih tertidur pulas di atas ranjang itu.
Air mata Nara menetes kala mengingat perdebatan tadi, perdebatan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Nara juga mencoba melupakan masa lalunya, tapi tidak bisa.
Nara masih memendam perasaan pada Yunki, entah sampai kapan ia akan memendam perasaan itu. Padahal Yunki tidak pernah memiliki perasaan apa pun pada Nara.
"Maafkan ibu," gumam Nara yang masih menangis.
Di luar kamar VVIP.
Soni tengah duduk di kursi depan pintu kamar VVIP itu. Soni menundukkan kepalanya dan merenung dengan apa yang di katakan istrinya tadi.
Sejenak, Soni termenung dan kembali berpikir. Apa dirinya benar-benar mencintai Yuna? Kalau iya, kenapa bisa? Bukan kah ia mencintai Yura bukan Yuna?!
Pikiran Soni seperti kacau dan galau dengan semuanya, ia tidak bisa berpikir jernih saat ini.
"Apa aku benar-benar mencintai Yuna?" Lagi-lagi Soni mempertanyakan itu pada dirinya sendiri.
Sepertinya pikiran dan otaknya Soni saat ini sedang kurang baik, itu sebabnya ia tidak bisa berpikir apa pun.
Soni malah jadi memikirkan istri orang lain, apa lagi istri sahabatnya sendiri. Otak Soni benar-benar tidak berfungsi dengan baik.
***
Keesokan harinya.
Pukul 4 sore. Aku dan keenam anak-anakku baru saja sampai di rumah, karena hari ini anak-anak ke kantor setelah pulang sekolah.
Sepertinya aku dan Yunki akan membiarkan keenam anak-anak kami untuk langsung pulang ke rumah saja saat pulang sekolah. Apa lagi pekerjaan aku dan Yunki yang semakin banyak membuat kami tidak tega dengan anak-anak.
Aku dan Yunki juga harus mempercayai bi Ika apa lagi ia sudah bekerja sangat lama untuk kami, tapi sebenarnya kami hanya takut kalau bi Ika kewalahan saat menjaga keenam anak-anak kami. Walau pun anak-anak kami sudah besar, setidaknya mereka masih anak kecil.
"Mama, nanti malam kita makan barbeque dong," ucap Hana sambil bergelayut di tanganku.
"Hem, tumben sekali kamu mau mau makan barbeque?" tanyaku yang sekilas melirik ke arah Hana.
"Sudah lama juga kita tidak makan barbeque," jawab Hana dengan mata penuh harap.
"Benar mama, kita makan barbeque saja!" Winda juga seperti tidak sabar ingin makan barbeque.
"Baik lah, kalau gitu mama akan telepon papa Yunki untuk meminta beli beberapa bahan untuk barbeque nanti malam," ucapku yang langsung mengambil ponsel.
Keenam anak-anakku bergegas masuk ke dalam kamarnya masing-masing, dan aku juga bergegas masuk ke dalam kamar. Namun, tiba-tiba saja bi Ika menyapa padaku.
"Selamat sore nyonya," sapa bi Ika dengan sangat ramah.
"Sore bi," aku membalas sapaan bi Ika dengan tersenyum.
"Nyonya, untuk makan malam mau masak apa?" tanya bi Ika yang masih berdiri di depanku.
"Mau makan menu barbeque, anak-anak ingin bakar-bakar katanya bi," jawabku.
"Kalau begitu bibi izin ke supermarket dulu ya, nyony?" Bi Ika meminta izin untuk membeli bahan-bahan barbeque.
"Bibi hari ini tidak perlu masak dan tidak perlu ke supermarket, karena aku akan minta tolong suamiku untuk pergi ke supermarket," jelasku.
"Tapi, nyonya..."
"Sudah, sekarang bibi kerjakan pekerjaan lain saja dan kalau sudah tidak ada pekerjaan sebaiknya bibi istirahat saja," ucapku sambil menyentuh pundak bi Ika.
Karena bi Ika sudah tidak bisa menolak keinginan aku, akhirnya ia mengalah dan pamit undur diri. Aku segera masuk ke dalam kamar dan mencoba menelepon suamiku.
Satu panggilan pada suamiku tidak di jawab, aku kembali meneleponnya dan sambil duduk di sofa. Namun, panggilannya tidak di jawab juga.
Aku sedikit bingung panggilannya tersambung tapi tidak di jawab oleh Yunki. Apa dia sedang meeting? Namun, tidak mungkin.
Tidak lama kemudian, setelah panggilan ke sempat kalinya. Yunki menjawab teleponku.
"Halo istriku sayang," ucap Yunki setelah menjawab teleponku.
"Hem, lama banget sih. Lagi ngapain?" tanyaku dengan nada sedikit curiga.
"Hahaha aku baru masuk ke dalam mobil dan mau pulang ke rumah sayangku, kenapa istriku sering sekali ngomel sih. Lagi hamil pasti nih," goda Yunki yang berhasil membuatku berpikir.
Hamil? Secepat kilat aku langsung bangun dari sofa dan melangkah menuju kalender yang ada di atas meja kerja.
Aku mencari lingkaran merah yang ada di kalender dan itu menandakan bahwa diriku telah datang bulan. Namun, bulan ini aku belum menemukan lingkaran merah itu.
Padahal sebentar lagi akan akhir bulan, tapi aku belum juga datang bulan. Seketika wajahku panik dan pucat, karena aku tidak menggunakan KB. Yunki juga melarang diriku menggunakan KB.
"Sayang, kenapa diam?" Yunki bersuara ketika diriku cukup lama diam.
Aku masih memikirkan masalah datang bulan dan tidak sadar bahwa diriku sedang menelepon sang suami.
"Sayangku!" Yunki kembali memanggil diriku dan menyadarkan diriku.
"Eh, iya sayang haha!" Sumpah, aku seperti orang bodoh yang melamun tidak jelas.
Seharusnya aku tidak perlu panik seperti ini kalau belum datang bulan, apa lagi aku melakukannya hanya dengan sang suami.
Namun, aku sepertinya belum ingin hamil lagi. Apa lagi aku sedang fokus pada perusahaan keluarga, lalu aku juga sudah memiliki setengah lusin anak. Harus kah menambah anak lagi? Haha. Mirip kucing yang anaknya banyak.
"Sayang, kalau kamu diam begini melulu aku jadi tidak bisa pulang nih," celetuk Yunki.
"Eh iya sayang, ya ampun kenapa aku ngelamun gini ya!" Lagi-lagi aku melakukan masalah datang bulan.
"Ada apa sayangku?" tanya Yunki lagi.
"Anak-anak mau makan malam dengan barbeque, ia ingin bakar-bakaran. Katanya sudah lama tidak melakukan itu," jawabku.
"Lalu?" Yunki masih menunggu apa yang akan aku katakan.
"Hehe, boleh minta tolong enggak? Belikan bahan-bahan untuk barbeque," ucapku.
"Tentu, apa pun yang kamu inginkan akan aku belikan," kata Yunki.
"Hehe, terimakasih suamiku yang tampan!" Memberikan pujian pada Yunki agar ia semangat membeli bahan-bahan untuk barbeque nanti malam.
"Hem, tidak cukup hanya untuk berterimakasih saja, sayangku!"
DEG!
Seketika jantungku terhenti, sudah pasti Yunki akan meminta imbalan setelah ini.
"Sayang!" Yunki kembali memanggil diriku.
"I ... iya sayang?" Seketika, aku mulai gugup untuk mendengar apa yang akan di katakan oleh Yunki.
"Nanti malam, aku akan meminta sesuatu padamu. Sayang!"
"Se ... sesuatu apa, ya?"