Kening Tara berkerut. "Kania, kalau sudah berbaikan kenapa kalian memutuskan pisah kamar? Cerita sama papa! Kamu bosan sama Genta? Atau ada sesuatu unek-unek kamu tentang Genta yang kamu simpan selama ini. Kamu bisa cerita sama papa."
"Tidak ada unek-unek apapun, Pa. Kania butuh sedikit ruang aja. Om Genta sudah setuju itu kok. Risih kalau Kania dekat terus sama Om Genta. Jadi merasa tertekan gitu."
"Kalau tidak ada masalah kenapa kamu butuh ruang?" tanya Tara lagi tidak mengerti. "Ta, bisa lo jelasin ke gue ini sebenarnya gimana kondisinya?" Tara menodong sahabat sekaligus menantunya tersebut yang baru memasuki rumahnya tersebut.
Genta menaikkan alisnya. Laki-laki itu jelas tidak tahu apa-apa. "Kania, ngaku sama gue kalau kalian tidak ada masalah apapun tapi dia merasa tertekan kalau memiliki banyak waktu yang lama sama lo. Bahkan kalian pisah kamar."
Genta melirik isterinya itu. "Aku enggak bisa bohong sama papa," ujar Kania menunduk takut Genta marah kalau membongkar urusan rumah tangga mereka pada ayahnya.
Namun laki-laki itu mengusap kepalanya lembut. "Yah memang enggak ada apa-apa. biasa kok ruang itu."
Tara menggelengkan kepalanya. "Enggak, enggak! Itu enggak biasa untuk sebuah hubungan."
Kania menunduk menyembunyikan dirinya di belakang Genta. "Kamu sama Mikaela ke atas dulu ya, biar aku bicara berdua dengan papa." Genta bicara pada isterinya tersebut. Kania menganggukkan kepalanya. Membawa Mikaela yang berada tidak jauh dari sana. Barulah setelah itu Genta menatap Tara lagi. "Tar, udah keputusan gue sama Kania. Dan keputusan ini sudah yang terbaik setelah kami mendiskusikannya."
Tara menghembuskan nafasnya. "Gue enggak mau aja ini jadi bola salju. Awalnya kecil tapi setelah itu membesar ketika tidak bisa diselesaikan. Saat itu terjadi kalian tidak bisa lagi memendung bola itu menghantam kalian dengan keras hingga sesuatu yang buruk terjadi."
Genta mengerti perasaan Tara. "Lo khawatir perasaan cinta Kania hilang?"
"Gue enggak melihat dia yang biasanya ke lo setelah syndromenya kemarin."
Genta mengusap kepalanya. "Dan karena hal itu Kania butuh ruang juga untuk dirinya." Genta memberikan alasan lain yang membuat Tara bisa mengerti dengan keputusan mereka. Biarlah, Tara tahu Kania depresi pasca melahirkan. "Memaksakan segalanya seperti semula membuat Kania tertekan. Percaya sama gue."
"Lo selalu memanjakan Kania hingga dia tidak bisa mendapatkan tekanan seperti itu. Dia sudah dewasa, dia juga harus tahu tanggung jawabnya sebagai seorang isteri. Tidak hanya soal perasaannya."
"Balik lagi, dia baru saja mengalami …"
Tara menganggukkan kepalanya. "Okeh, tapi kalau enggak membaik, gue harap lo akan mendiskusikannya sama gue."
"Ayolah! Gue bukan pria tua tanpa pesona. Kania masih tergila-gila sama gue. Lihat aja sebentar lagi." Genta dengan wajah optimisnya meyakinkan sahabat karibnya itu.
Tara melipatkan tangannya di dada dengan mata yang menyipit. "Dan lo baru aja bilang gue pria tua tanpa pesona hah?"
Genta menaikkan bahunya. Mereka sudah lagi ke dalam mode kawan. "Buktinya enggak ada yang nerima lo selain Dita."
Tara makin menganga. "Enggak ada yang nerima gue selain Dita, hah? Gue bisa aja dapatin wanita manapun yang gue mau!"
Genta menganggukkan kepalanya. "Anggap aja gue percaya. Sayang, kita akan punya mama baru!"
"Eh! Gue enggak bilang akan cari wanita lain ya?!! Jangan dengarkan Genta, sayang. Aku tidak akan menikah." Tara buru-buru menjawab kemudian menggumam pada potret yang terpajang di ruangan itu.
"Om, kok hobi banget sih becandain papa kayak gitu." Kania berdecak saat Genta memasuki kamar. Tentu saja untuk menemui puterinya dan mengambil baju. Dia hanya tidur di kamar Mikaela. Sementara semua barang-barangnya masih ada di tempat Kania.
"Lima tahun yang lalu diusia kamu yang sekarang kamu minta tante sama saya. Kamu sendiri yang bilang kamu pengen juga punya mama. Saya kan sudah tidak bisa mencarikan kamu tante. Papa kamu lagilah yang jadi umpannya."
Kania berdecak. "Papa sudah hilang harapan. Tapi sekarang aku sudah punya mama."
Alis Genta terangkat. "siapa?" tanya Genta tidak mengerti.
"Oma," jawab Kania. "Juga sudah punya keponakan yang usianya melebihi usiaku."
Genta juga ikutan berdecak. Pria itu tertawa kecil mengusap kepala isterinya. "Benar juga."
"Buru kita beres-beres, Om. Jadikan hari ini ke pamerannya tante Mila? Kita titip aja Mikaela sama papa. Mumpung papa udah pulang!" Kania mendorong suaminya.
Genta melirik anaknya. "Kamu sering ditinggal terus sekarang sama mama, nak. Lagipula papa kan baru saja pulang dari luar kota. Dia masih lelah."
"Daripada dia sendirian. Kita juga enggak tahu pulang kapan. Kasian Mikaela. Emang om tega melihat anaknya ketiduran kena angin malam? Enggak baik tahu om." Kania mengerutkan hidungnya sambil meyakinakan alibinya pada sang suami.
"Kamu ingin mampir lagi ya?" tanya Genta dengan sebelah alis terangkat. Wajah Kania berubah menjadi masam.
"Om!" geram perempuan itu memberikan cubitan.
"Saya hanya becanda, Ka'." Genta buru-buru meralat. "Maaf keceplosan terus bikin humor kayak gitu."
Kania berdecak tipis. "Udah sana! buru!" ujar Kania mendorong Genta untuk berberes. "udah tua masih aja genit." Kania menambahkan.
"Saya tidak tua, Kania. Saya berumur." Genta membantah tidak terima dengan perkataan isterinya yang sukses membuat Kania memutar bola matanya.
"Terserah deh," dengus perempuan itu.
***
Kania dengan dandanan selalu berhasil membuat Genta terkagum-kagum dengan isterinya itu. bahkan hanya dengan polesan make up tipis ala remaja tanpa berlebihan. Dandanan yang memperlihatkan paras cantik alami miliknya.
"Kamu cantik," puji laki-laki itu tanpa canggung.
Kania berdecak tipis. "Om …" Kania memberikan peringatan agar Genta tidak terlalu bertingkah.
"Saya tidak boleh memuji?" balas laki-laki itu.
Kania memutar bola matanya. "Orang bilang aku tidak boleh percaya dengan buaya."
"Kamu bilang apa tadi hah? Aku buaya?"
"Pa, titip Mikaela ya!" ujar perempuan itu sambil mendorong tubuh Genta. Ia tidak menanggapi perkataan Genta karena akan berakhir panjang ujung-ujungnya. Makin banyak mereka berdebat semakin lama juga nanti mereka sampainya.
"Ka', kamu kenapa?" tanya Genta saat mereka berada di perjalanan. Kania terlihat tidak nyaman dengan sesuatu.
"Aku benaran cantik enggak sih om?" perempuan itu bertanya dengan bibir cemberutnya.
"Kenapa tanya seperti itu? Tadi bilangnya saya buaya."
Kania menatap perutnya. "Masih buncit. Padahal udah olahraga. Tapi penurunannya belum banyak."
Genta mengusap kepalanya. Masalah perempuan. "Kan kamu masih berbagi nutrisi dengan Mikaela, sayang. Wajar kamu masih perlu makan yang banyak."
"Tapi nanti kalau tante Mila cantik gimana?"
Genta mengetuk stir mobil pelan-pelan. "Ya itu urusannya dia. Apa hubungannya dengan saya?"
Kania menatap laki-laki itu. "Nanti Om …"
Genta menepikan mobilnya sebentar. "Kita tidak jadi pergi saja? Saya benaran tidak mau pergi ke tempat Mila cuma menjadi ajang masalah baru untuk kamu dan Kita."
"Cantikan aku atau tante Mila? Omkan udah pernah bertemu. Pasti bisa menilai." Kania benar-benar masih tujuh belas tahun. Wajar dia bertingkah seperti itu. Masih jauh dari kata dewasa yang mengujii kesabaran Genta setiap harinya.