Chereads / Turning Into Beautiful / Chapter 24 - Divya Masuk ke Rumah Sakit

Chapter 24 - Divya Masuk ke Rumah Sakit

Divya sudah tidak bisa banyak mengoceh. Ia langsung terdiam sembari menatap wajah pria tampan itu. Memang saat ini ia sangat memerlukan tindakan medis. Tubuhnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.

Setelah sampai di tempat tujuan, Devan langsung membawa Divya ke rumah sakit. Kesigapan pria itu pun membuat Raymond merasa kesal. Namun, ia hanya bisa diam menyembunyikan gerutuannya. Kedua netranya pun kembali menatap Luke. Tampaknya, pria itu juga merasa sangat cemas dengan kondisi Divya.

"Kenapa kamu tidak pergi bersama mereka tadi?" sentak Raymond sekaligus membuat Luke merasa sangat tercengang.

Luke langsung tersenyum canggung melihat wajah sepupunya. "Hahaha, kamu akan segera memecatku, jika aku melakukan hal tersebut," celetuknya.

"Ayo, kita pulang untuk beristirahat! Tubuh dan pikiranku sudah sangat lelah memikirkan semua masalah ini," gerutu Raymond seraya mulai meranjakkan kakinya.

Di rumah sakit, Divya langsung mendapatkan perawatan intensif. Ia juga sudah melakukan pengambilan sampel darah untuk ditindaklanjuti. Tentunya, ia berharap hasilnya akan baik-baik saja. Ia juga tidak mau merepotkan siapapun atas kelalaiannya.

"Divya, kamu tidur saja. Jangan banyak bergerak. Lihat, nanti infus yang ada di tanganmu berdarah," gumam Devan masih merasa cemas.

"Pak, aku sangat mengkhawatirkan hasil pemeriksaan lab. Aku tidak mau merepotkan siapapun atas kelalaianku, Pak," ungkap Divya merasa sangat segan.

Devan segera menuntun tubuh Divya ke atas ranjang medis. "Hm, kamu jangan memikirkan yang lain-lain. Tidak ada yang direpotkan atas ini. Kamu kembalilah berbaring, sebentar lagi hasil lab akan keluar."

Beberapa belas menit kemudian, hasil lab keluar. Ternyata, Divya terjangkit penyakit tipes. Devan juga sudah mengira hal yang sama. Karena kondisi Divya yang sangat menunjang ke sana. Divya pun harus puas karena selama beberapa hari tidur di rumah sakit.

"Kamu jangan khawatir, aku yang akan mengkoordinasikan hal ini kepada Raymond," ungkap Devan dengan lembut.

Divya langsung menelan salivanya. "Namun, siapa yang akan mengerjakan tugas-tugasku, Pak?" tanyanya merasa sangat cemas.

"Kamu jangan pikirkan itu. Pikirkan saja kesehatan kamu, ya. Hm, tidurlah! Aku mau pergi sebentar. Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan dengan segera," gumam Devan seraya mengelus pucuk kepala Divya.

Divya hanya bisa pasrah pada keadaan. Ia pun segera meluruskan tubuhnya di atas tempat tidur. Sedangkan, Devan segera pergi untuk menemui Raymond. Pria itu juga tidak mau temannya terlalu menyiksa Divya. Memang seharusnya Raymond mendapatkan teguran atas tindakan kerasnya.

Setelah sampai di kediaman, Devan segera menemui temannya yang kini sedang duduk santai menikmati secangkir kopi di ruangan tengah. Kedua mata pria itu langsung mengerucut setelah melihat kehadiran Devan. Ia pun segera menawarkan minuman yang sama kepada pria bertampang manis itu. Namun, pria tersebut menolak tawarannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, Ray. Hal ini mengenai Divya," ungkap Devan setelah duduk di hadapan temannya.

Dengan tatapan datar Raymond kembali berkata, "Kenapa kita harus membicarakan wanita itu? Tidak adakah pembahasan yang lain selain tentang dirinya?" Ia kembali meneguk minumannya.

Devan pun segera memberikan hasil pemeriksaan laboratorium kepada Raymond. Ia juga menjelaskan hasil dari pemeriksaan itu. Pria yang sejak tadi bertampang ketus langsung merubah ekspresi wajahnya. Ia langsung menutup secarik kertas yang ada di kedua tangannya. 

"Dokter mengatakan bahwa Divya harus istirahat total selama beberapa minggu. Hal ini terjadi karena ia kurang istirahat dan menjaga pola makanannya. Aku harap kamu mengerti, Ray." Devan masih terus menatap wajah temannya.

"Apakah aku sekejam itu? Dia sampai sakit karena aku terlalu keras memforsir pekerjaannya," pikir Raymond merasa sangat bersalah. "Oke, terima kasih atas bantuanmu."

"Kenapa kamu malah berterima kasih kepadaku?" tanya Devan merasa sangat heran.

"Iya, kalau bukan kamu yang membawanya ke rumah sakit. Mungkin saja kondisinya sudah semakin parah, 'kan?" jelas Raymond seraya mengambil ponselnya.

"Saranku, beberapa orang harus berjaga di sana. Dia akan sangat kesulitan dalam beraktivitas." Devan kembali meluruskan tubuhnya pada sandaran sofa.

Raymond kembali menatap wajah Devan dengan serius. "Aku akan mengirimkan Fay untuk menemaninya," ungkapnya.

"Ya, sebaiknya begitu." Devan kembali menegaskan ucapannya.

***

Divya sedikit memicingkan kedua netranya ketika terbangun. Sudah ada seorang wanita berpenampilan casual di dalam ruangan itu. Dengan tatapan heran, ia mulai membangkitkan tubuhnya. Suaranya yang ditimbulkan pun membuat Fay berbalik arah.

"Hm, Nyonya Divya. Jangan bangkit dulu. Tiduran saja, saya yang akan mengurus segalanya di sini," ungkap Fay seraya membantu Divya untuk merebahkan tubuhnya.

Divya masih menatap wajah wanita itu dengan buncah. "Kamu siapa?" tanyanya merasa penasaran.

Fay langsung menundukkan seluruh tubuhnya. Ia pun segera memperkenalkan dirinya kepada Divya. Fay merupakan karyawan terbaik yang ada di perusahaan Wilfred Estate. Bisa dikatakan bahwa dirinya karyawan senior di sana. 

Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Hal itu disebabkan karena ia sosok wanita yang tertutup. Namun, tidak kemungkinan bahwa ia tidak dekat dengan Raymond. Dari seluruh karyawan, hanya dirinya yang sangat dikenal oleh Raymond.

"Siapa yang sudah mengirim kamu ke sini?" tanya Divya merasa sangat penasaran.

"Pak Raymond yang sudah mengirim saya ke sini, Nyonya." Fay kembali menundukkan separuh badannya.

Batin Divya kembali berbicara. "Raymond? Kenapa dia mengirimkan orang untuk menjagaku?" Divya kembali melirik wajah wanita itu dengan tatapan heran. "Hm, kamu sudah makan?" alih Divya kemudian.

"Sudah, Nyonya." Fay kembali menatap wajah wanita yang ada di hadapannya.

"Kamu jangan terlalu sibuk. Duduk saja di sana. Terima kasih atas perhatiannya. Dan, sampai berapa hari kamu berada di sini, Fay?" tanya Divya merasa sangat penasaran.

"Sampai keadaan Nyonya mulai membaik. Saya akan terus berada di dalam ruangan ini untuk menjaga Nyonya," ungkap wanita itu seraya kembali menundukan kepalanya.

"Kenapa Raymond begitu berlebihan seperti ini? Aku juga bisa mengurus keperluanku di tempat ini," batin Divya. "Hm, jangan terlalu serius Fay. Kamu bisa pulang ke rumahmu, jika hal itu yang kamu inginkan. Aku juga tidak akan memberitahu kepada Raymond perihal itu."

"Baik, Nyonya. Terima kasih atas perhatian Anda. Nyonya belum makan, 'kan? Saya sudah membelikan bubur ayam. Pak Raymond berpesan kepada saya untuk selalu mengingatkan Anda untuk makan tepat pada waktunya." Fay segera mengambilkan bungkusan makanan yang ada di atas nakas. 

"Terima kasih, kamu kalau masih lapar makan juga, ya. Jangan terlalu tegang seperti itu. Posisi kita juga sama di perusahaan Pak Raymond. Panggil aku dengan sebutan Divya saja. Jangan pakai 'Nyonya' hanya Divya saja. Oke!" Divya kembali melebarkan senyumannya.

"Oke, baik, Divya." Fay juga membalas senyuman wanita manis itu.

Raymond yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur pun merasa sangat resah. Ada hal yang janggal pada hari itu. Biasanya ia selalu melihat wajah wanita muda bertampang rupawan di sana. Namun, kini Divya malah dirawat karena ulahnya. Raymond pun kembali menatap ponselnya yang masih dalam keadaan sepi pemberitahuan.

"Biasanya Divya akan mengirimkan pesan kepadaku. Apakah kondisinya separah itu?" pikir Raymond merasa sangat tidak tenang.