Chereads / Turning Into Beautiful / Chapter 29 - Bertemu Ibu

Chapter 29 - Bertemu Ibu

Divya langsung mengerutkan dahinya. "Eh, Pak Raymond? A–apa yang sedang Anda lakukan di sana?" pekik Divya merasa sangat cemas.

Wajah Raymond langsung memucat. Ia juga tidak menyangka Devan akan pulang secepat itu. Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan lain, ia pun memutuskan untuk pergi dari sana. Namun, Divya malah kembali menarik tangannya. Ia juga kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada sang atasan.

"Kenapa kamu malah menjadi menindasku seperti itu?" serang Raymond yang sudah merasa gelisah.

Divya sontak menempelkan kedua tangannya di pinggang. "Lah, kenapa Bapak jadi membentak saya? Saya bertanya dengan intonasi yang baik. Namun—"

Devan langsung memotong perdebatan mereka berdua. "Eh, kenapa kalian malah bertengkar?" Devan kembali melirik ke arah Raymond. "Divya, aku pulang, ya. Kamu juga harus hati-hati di sini," ucapnya kemudian.

Kedua netra tajam Divya kembali melemah ketika melihat wajah Devan. "Baik, Pak. Bapak juga berhati-hati di jalan, ya," sahutnya.

Setelah mobil Devan berlalu, ia segera beranjak masuk. Namun, tampaknya Raymond tidak mengindahkan maksud hati wanita cantik itu. Ia juga kembali nerjaln masuk dan menarik tangan sekretarisnya sampai masuk ke dalam rumah. Divya yang mendapatkan tindak itu pun langsung memberontak.

"Apa yang ingin kamu lakukan, Pak? Lepaskan tangan saya!" sentak Divya.

Raymond segera melepaskan cengkraman tangannya. "Kenapa kamu menerima tamu pria semalam ini?"

Alis Divya masih menanjak tajam. "Semalam ini? Ini masih jam berapa, Pak?" Divya langsung menyilangkan tangannya di depan dada.

Raymond langsung tergagap. "Eh, suaramu itu! Berani sekali meninggikan suaramu di depanku!" pekik Raymond seraya melemparkan tatapan menikam kepada sekretarisnya.

Divya kembali menarik napas panjang untuk berbicara. "Pak, maaf. Kalau tidak ada yang ingin dibahas lagi. Bisakah saya pergi untuk beristirahat?" alihnya.

Raymond kembali menyosor, "Tidak! Berdiri di sini dan dengarkan ucapanku ini Divya! Pertama, kamu jangan pernah menerima tamu pria di malam hari. Kedua, jaga sikap dan intonasi suaramu di depanku dan di hadapan semua orang. Ketiga—"

Divya dengan santai langsung memotong ucapan atasannya. "Ketiga, bisakah Bapak keluar dari rumah saya sekarang?"

Raymond langsung menundukan kepalanya ketika mendengar ucapan Divya. "Apa? Kamu berani mengusirku dari sini?" Ia kembali menatap wajah sekretarisnya dengan menikam.

Divya langsung mengernyitkan dahinya. "Lah, bukannya tadi Bapak yang bilang tidak boleh menerima tamu pria di malam hari, 'kan? Lantas, apa salah saya jika mengatakan hal itu? Bapak pria, 'kan? Atau—"

Karena merasa sangat kesal, Raymond sampai merematkan kedua tangannya di depan wajah Divya. "Divya! Kenapa kamu selalu membuat emosiku melonjak tajam? Hah?"

Divya juga tidak mau terus disalahkan. "Lah, salah saya dimana, Pak? Saya hanya ingin menjalankan perintah Bapak. Sekarang—"

"DIVYA! BERHENTI BERBICARA!" bentak Raymond sekaligus membuat bahu sekretarisnya tersentak tajam.

Divya segera memalingkan pandanganya. Ia sudah merasa sangat bersedih mendengar suara bentakan tersebut. Raymond pun langsung terdiam dan merasa bersalah melihat rekasi sekretarisnya. Ia segera memejamkan kedua mata untuk mengatur lonjakan emosinya.

"Maafkan aku, Divya. Aku tidak bermaksud—"

Divya langsung mematahkan ucapan Raymond. "Maaf, Pak!" Ia kembali merunduk. "Tubuh saya merasa sangat lelah. Saya ingin segera beristirahat," lanjutnya.

Raymond langsung merasa cemas melihat wajah sedih wanita itu. Kedua netranya masih terus menatap kepergian Divya. "Aku tidak bermaksud ingin membuatmu bersedih," batinnya.

Raut wajah murung Raymond pun mengundang pertanyaan di dalam benak Luke. Pria yang masih duduk santai di depan ruangan tengah pun segera berjalan mendekati Raymond. Satu tangannya mulai menyentuh pundak pria itu.

"Ada apa, Ray? Kenapa wajahmu terlihat begitu cemas?" tanya Luke kemudian.

"Pikiranku menjadi sangat kacau. Sepertinya aku harus segera mengistirahatkan tubuhku. Kamu menginap saja di rumahku. Tubuhmu pasti juga merasa lelah karena seharian ini menemaniku beraktivitas," alih Raymond seraya kembali memeluk pundak sepupunya.

"Oke, selamat beristirahat," sahut Luke seraya  beralih dari sana.

Hari yang cerah, tetapi tidak dengan hati wanita yang baru saja selesai membersihkan diri. Ia kembali menghela napas panjang untuk merilekskan pikirannya yang masih dalam keadaan kacau. Di depan halaman rumah, ia mendengar suara klakson mobil dari arah selatan. Ia pun segera membidik dan memastikan bahwa Raymond sudah pergi bekerja.

"Zeline! Sepagi ini dia sudah menemui Raymond? Obsesinya terlalu berlebihan!" pekik Divya.

Pandangannya menjadi sangat tajam ketika melihat pagutan bibir yang dilakoni oleh kedua insan yang sedang dimabuk asmara. Ia pun segera memalingkan pandangannya dari sana. Dengan kasar ia panggung menghela napas panjang. Pandangannya pun mulai kosong mengingat aktivitas mereka.

"Tidak seharusnya aku merasa marah seperti ini. Hubunganku dengan Raymond hanya sebatas Sekretaris dan CEO saja. Namun, aku juga tidak bisa mengendalikan perasaanku. Hm, entah sampai kapan aku terus … dan tidak seharusnya aku mengucapkan hal ini!" Ia segera pergi ke dalam ruangan makan.

Karena merasa sangat bosan, akhirnya Divya memutuskan untuk pergi ke luar rumah. Tidak disangka, ia bertemu dengan seorang wanita yang tidak asing. Air matanya langsung menetes setelah melihat wajah Anisa, ibu Divya bersama dengan seorang anak perempuan di dalam restoran. Rasanya ia ingin sekali memeluk tubuh wanita itu.

"Ternyata, Ibu sudah menikah lagi dan mempunyai seorang putri. Namun, kenapa Ibu tidak memberitahu diriku mengenai hal itu? Oh, iya! Aku lupa kalau kehadiranku memang tidak diharapkan di dalam hidup ibu." Divya segera memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

Entah bagaimana lagi ia menahan rasa nestapanya. Ia segera pergi ke toilet karena merasa tidak sanggup menunda isak tangis. Di dalam sana, ia segera mengeluarkan emosinya. Ia tidak menyangka bahwa Anisa tega menghapuskan hubungan mereka.

"Ibu, aku berusaha mencari keberadaanmu. Namun, tampaknya kamu tidak demikian! Kenapa kamu sangat membenci diriku Ibu? Kenapa?" tangisan Divya semakin menjadi-jadi.

Setelah selesai melupakan segalanya, ia kembali duduk di tempat yang sama. Kedua matanya masih belum bisa beralih dari pandangan itu. Dengan sarkas, ia kembali menyatu makananya sampai habis. Setelah itu, ia pun segera pergi ke kasir untuk membayar tagihan. Tidak disangka, pada saat yang bersamaan, Anisa juga melakukan hal yang sama.

"Ibu, setelah ini kita mau kemana?" tanya wanita yang ada di sebelah Anisa.

Dengan lembut, Anisa langsung mengelus pucuk kepala anaknya. "Kamu mau kemana, Nak?"

"Aku mau pulang saja, Bu."

Divya terus mendengarkan perbincangan mereka tanpa berekspresi. "Bahkan, Ibu tidak pernah sebaik itu ketika berbicara kepada diriku."

"Permisi, Nyonya Divya. Silakan ambil kembaliannya," ucap penjaga kasir.

Divya segera tersentak. "Hm, terima kasih." Ia kembali memberikan salam hormat.

Anisa langsung mengerutkan dahi ketika mendengar nama wanita yang ada di hadapannya. Ia pun segera memalingkan wajahnya seraya membidik mengikuti kepergian wanita bertubuh proporsional tersebut. Setelah selesai membayar tagihan, ia segera berjalan dan mencari keberadaan wanita tadi. Namun, kedua netranya sudah kehilangan jejak Divya.