Tok tok tok!
"Siapa?" tanya laki-laki tampan nan kejam tanpa melihat siapa yang berada di ambang pintu.
"Saya Pak."
"Kamu enggak punya nama hah?"
"Oh maaf Pak, saya sekretaris Bapak."
"Ada apa?"
Derap langkah perempuan yang saat itu menjadi sekretarisnya.
"Ini ada beberapa berkas yang harus Bapak tanda tangani."
Sekretaris itu mendekat memberikan dokumen yang harus ditanda tangani atasannya.
"Ini saja?"
"Iya Pak, terima kasih Pak, saya permisi dulu."
"Tunggu."
"Ada apa Pak?"
"Siapa namamu?"
Dengusan kesal keluar dari sekretarisnya terebut. Pasalnya ia selalu saja menanyakan namanya.
"Anna."
"Anna saja?"
"Anna Pramudya Mahika."
"Kamu kesal sama atasanmu?"
"Enggak Pak, saya permisi."
"Ya sudah tinggal keluar, tahu pintunya kan."
Anna Pramudya Mahika, sudah 2 bulan menjadi sekretaris atasannya. Bukan hanya sekali atau dua kali atasannya menanyakan namanya, hal itu kadang membuat Anna kesal. Belum lagi sikapnya yang mengesalkan dan pastinya kejam juga bersikap semaunya pada siapapun.
Bruk!
"Etdah, kenapa kamu?" tanya Danita seorang sahabatnya sejak berkuliah dan mendapat pekerjaan yang sama.
"Tahu tuh atasan nyebelin banget."
"Apa? Tanya namamu lagi?"
Anna menganggukkan kepalanya.
"Tapi tumben loh Pak Aksel enggak mecat sekretarisnya."
"Kamu gila apa, nyumpahin aku dipecat juga?"
"Ya bukannya begitu, tapi tumben saja."
"Kenapa memangnya?"
"Selama bekerja di sini Pak Aksel paling sensi masalah sekretarisnya, paling tahan 1 bulan atau beberapa hari saja, sedangkan kamu cukup lama bertahan."
"Ah aku enggak bangga sama itu, tapi yang jelas aku butuh banget pekerjaan ini, kamu tahu kan Dan?"
"Iya paham, makan dulu yuk!"
"Nanti deh, tanggung banget ini, nanti nyusul."
"Aku duluan."
Danita meninggalkan Anna yang berkutat dengan tugasnya. Anna dan Danita sudah bersahabat sejak kuliah tahun pertama. Mereka menjadi lebih dekat karena adanya tugas kelompok.
Aksel, ya itu atasan dari Anna dan Danita. Aksel Birendra, lengkapnya begitu. Ia merupakan CEO dari perusahaan yang cukup besar dan terkenal tersebut. Bahkan wartawan juga kerap mencari informasi tentangnya dan sering berlalu lalang melalui televisi. Apalagi dalam waktu terdekat ini berita mengenai Aksel dan kekasihnya yang baru saja putus.
Aksel melewati tempat kerja Anna, namun ia tidak pernah menyapanya atau mencari tahu apa yang sedang dikerjakan oleh sekretarisnya tersebut.
"Siang Pak," sapa Danita yang kembali bekerja usai makan siangnya.
Aksel hanya menundukkan kepalanya dan berlalu meninggalkanya.
"An, Anna!"
"Apaan sih Danita?"
"Kamu enggak makan siang apa?"
"Enggak, lewat saja dulu."
"Yee sakit tahu rasa.
Anna menghiraukan ucapannya tersebut. Tak lama kemudian Aksel masuk kembali ke ruangannya dengan membawa minuman instan.
Bruk!
Suara terjatuh dari meja Anna membuat Danita berteriak karena saat itu Anna hendak berdiri namun ia terjatuh hingga kepalanya terbentur mengenai meja kerja.
"Anna! Astaga," bersusah payah Danita menolong dan menyadarkan Anna. Karena ruangan tersebut cukup tersendiri karena posisi mereka itu sekretaris dan keuangan dalam perusahaan tersebut.
"Pak Aksel! Tolong Pak!" pekik Danita yang meminta pertolongan.
Mendengar pekikkan Danita tersebut Aksel kesal dan keluar dari ruangannya.
"Apa!"
"Pak tolong, ini Anna pingsan Pak."
"Suruh saja yang lain, jangan saya."
"Pak, apa salahnya sih menolong sekretaris Bapak sendiri, kalau mannggil yang lain kelamaan. Ini kepalanya terbentur juga kena meja."
Tatapan sinis sudah dilayangkan oleh Aksel, ia kesal namun karena tidak ada laki-laki lain dalam ruangan tersebut mau tidak mau ia harus menolongnya.
"Menyusahkan saja wanita ini!"
Aksel menggerutu seraya menggendong Anna menuju tempat kesehatan yang disediakan oleh perusahaan tersebut.
"Terima kasih,Pak," ucap Danita yang juga membungkukan tubuhnya sebagai hormat pada CEO nya.
"Kenapa anak ini?"
"Mungkin kecapekan Pak."
"Memangnya dia ngapain? Nyangkul?"
"Lah kan dia mengerjakan tugas yang Bapak berikan, juga Anna melewatkan sarapan dan makan siangnya Pak."
"Siapa suruh melewatkan, kalau begini menyusahkan jadinya. Kamu urus dia!"
Aksel berlalu meninggalkan Anna dan Danita di ruang kesehatan, Danita dibantu petugas kesehatan yang ada di situ.
"Atasan macam apa sih, bisanya marah doang, tahu sekretarisnya sakit bukannya kasihan, malah ngomel," gerutu Danita saat itu.
Setelah beberapa saat akhirnya Anna sadar dan meminta kembali ke ruangannya. Ia memang gila terhadap pekerjaan. Bukan karena suka, akan tetapi karena ia membutuhkan uang.
Anna dibantu Danita berjalan sampai ruangannya.
"Thanks ya Dan," ucap Anna yang kembali duduk pada kursinya.
"Iya, besok-besok jangan telat makan deh, lihat itu kening kamu."
"Iya tapi kan tanggung saja sama pekerjaannya."
"Untung tadi ada Pak Aksel bantu."
"HAH! Pak Aksel bantu? Serius? Sumpah?"
Danita tersenyum getir menjawab pertanyaan Anna, sebab tepat di belakangnya ada Aksel yang berdecak tangan di pinggang.
"Iya! Saya yang bantu kamu!" bentak Aksel dari belakang Anna.
Anna segera berbalik dan menunduk "Maaf Pak, makasih ya Pak sudah bantu saya."
"Lain kali enggak usah sakit apalagi pingsan seperti tadi, menyusahkan!"
"Maaf Pak, saya juga enggak tahu kalau mau pingsan."
"Tahu kan sakit itu menyusahkan, saya benci orang sakit! Semua yang bekerja di sini tidak saya perbolehkan sakit, camkan itu!"
Aksel pergi keluar dan meninggalkan Anna yang kesal karena ucapannya tersebut.
"Wah gila CEO itu, benar-benar. Orang sakit juga siapa sih yang mau."
"Sabar An, mungkin dia lagi capek."
"Capek enggak capek setiap hari kerjaannya hanya marah Argh!"
Anna kembali bekerja dengan hati terus menggerutu karena kekesalannya pada Aksel sang CEO.
Malam pun tiba dengan cepat, saat itu Anna tidak ada kerjaan lembur dan bisa istirahat dengan cepat. Namun belum saja ia beristirahat, keadaan rumahnya bukan seperti rumah. Kapal pecah, ya tepatnya seperti itu dan layaknya neraka jika Anna mendeskripsikannya.
"Bu, bisa enggak sih kalau kalian berantem itu bereskan semua perabotan di rumah?"
Ibunya hanya diam dan menghela napasnya, melihat Anna mulai memunguti barang-barang yang terbang ke sana ke mari itu Ibunya pun ikut membantu. Tidak ada pembicaraan apapun saat itu.
"Bu, kalau Anna berhenti kerja di perusahaan itu gimana?"
"Kamu bilang apa sih Anna, jangan ngaco! Hutang orang tuamu masih banyak!"
Bukan menanyakan sebabnya, Ibu Anna malah meneriakinya dengan sedemikian rupa.
"Heh! Kamu bilang mau berhenti kerja?" tanya Ayahnya yang tiba-tiba datang dengan tatapan ingin melahapnya hidup-hidup.
"Iya, Anna enggak suka sama atasannya, lagi pula masih banyak tempat lain."
"Kamu kalau bicara mikirnya pakai otak! Bukan pakai dengkulmu itu!"
"Ayah kenapa sih? Anna Cuma mau ngeluh saja kalian marah-marah."
"Kamu harusnya mikir, hutang orang tuamu masih banyak, jangan seenaknya mau berhenti."
"Ya kalau begitu Ayah saja atau Ibu yang menggantikan Anna kerja!"
"Anak kurang ajar!"
Plak!