"Shit!"
["Kamu bicara apa?"]
"Enggak, saya hanya bicara sendiri, Pak."
["Jangan jadi orang gila kamu, pokoknya besok saya mau kamu kembali ke kantor!]
Hanya suara dehaman saja dari Anna dan mematikan panggilannya.
Anna kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
***
"Gimana?"
"Anna mau kerja lagi."
"Oke bagus, saya minta jangan ada lagi kasus begini, saya capek Aksel."
"Edric, kan saya sudah bilang kalau ini kecelakaan."
"Terserah apa pun itu, saya pusing."
Edric pergi dari ruangan Aksel. Namun baru beberapa langkah ia kembali ke ruangan tersebut.
"Enggak bisa ke kantor hari ini?"
"Dia sakit."
Helaan napas Edric cukup pasrah "Kamu apain sih! Sampai Anna begitu?"
"Enggak diapa-apain, ya begitu."
Edric berjalan memijit-mijit dahinya, pergi ke kantin untuk meminum kopi agar pengarnya hilang.
Kebetulan Edric duduk pada meja Danita yang hanya duduk seorang diri.
"Siang, Pak," sapa Danita sopan.
"Kamu tahu Anna kenapa?"
Danita menggeleng, ia pun memang tak mengetahui cerita jelasnya.
"Saya belum dengar cerita lengkapnya dari Anna, Pak. Saya juga menunggu tapi kayaknya cukup berat bagi Anna."
"Kata Aksel dia enggak jadi resign."
"Akhirnya, dia ke kantor hari ini kan Pak?"
"Sakit, kata Aksel."
"Sakit apa?"
"Saya enggak tahu sakit apa, saya malas berdebat dengan Aksel. Manusia itu rasanya enggak pernah bosan hidup dengan masalah."
***
Pagi yang begitu cerah telah menyinari bumi dengan bahagia. Bagaimana tidak, cahayanya terlalu menyilaukan.
Tangan kanan Anna menutup sebagian wajahnya yang mulai terkena matahari pagi. Bus yang biasanya tiba belum juga melalui halte tersebut. Anna duduk santai di halte tersebut.
Tin!!!
Sebuah klakson mobil mengagetkannya.
"Kamu mau tidur di jalanan?"
"Saya nunggu Bus."
"Cepat naik!"
"Enggak usah, Pak. Saya tunggu Bus saja."
"Apa kata orang saya menelantarkan pacar sendiri."
"Peduli apa saya tentang berita itu."
"Kamu jangan keras kepala! Cepat naik!"
Enggan rasanya melangkahkan kaki dan berada dalam satu mobil dengan Aksel sang CEO nya. Namun, apa boleh buat.
"Kamu bego atau apa hah? Duduk depan!"
"Lagi pula saya hanya menumpang, Pak."
"Kalau kamu duduk di belakang, kesannya saya supir kamu!"
"Maaf," ucap Anna seraya berjalan dan duduk di depan bersama Aksel seperti malam kemarin.
Ada rasa takut yang masih membayanginya. Sebab kejadian malam itu tidak mudah hilang begitu saja dalam ingatannya.
Jalanan menuju kantor cukup lengang. Sehingga Aksel dapat bebas melaju pedalnya dengan cepat.
"Selamat pagi, Pak," sapa beberapa karyawan kala mereka memasuki kantor.
Ada yang berkumpul untuk saling berdiskusi pekerjaan. Ada pula yang berkumpul untuk mencibir satu sama lain.
Benar saja, telinga Anna masih sangat baik mendengar. Banyak dari mereka yang mulai membicarakan dirinya . Apalagi setelah kasusnya berada dalam mobil berdua di malam hari.
"Langsung ke ruangan saya!" Aksel berbalik badan dan mengagetkan Anna.
Senyum kesal namun tetap berupaya sopan menanggapi hal tersebut.
"Iya, Pak."
Tas yang Anna bawa ia letakkan bebas di atas mejanya. Ia melirik Danita dengan tatapan penuh beban. Hingga Danita mengepalkan tangannya pada Anna agar ia semangat.
Aksel melepas jas hitamnya, ia mengenakan kemeja berwarna putihnya dan melonggarkan kerah tersebut. Hal itu membuat Anna meneguk salivanya paksa.
"Kamu kenapa?" tanya Aksel membuyarkan lamunannya.
"Oh eng—nggak, pak."
"Kamu takut?"
"Sedikit," jawab Anna ragu.
"Ini di kantor, kamu jangan mikir macam-macam!"
Anna mengernyit entah apa yang ada di pikirannya.
"Maaf, apa ada kerjaan yang harus saya kerjakan, Pak?"
"Oh ada tentu," Aksel melemparkan berkas beberapa lembar pada Anna.
"Ini apa?"
"Itu ada beberapa pertanyaan dan jawaban yang harus kamu tahu untuk wawancara nanti."
"Wawancara?" Anna tidak tahu jika hari ini adalah wawancara eksklusif di beberapa media.
"Oh saya lupa bilang, nanti akan ada wawancara eksklusif tentang hubungan kita."
"Hah! Apa maksud Bapak sebenarnya?"
"Kamu bego, tuli, buta atau apa hah? Kamu tahu berita buruk di mana-mana, jelas wawancara ini sebuah klarifikasi agar semua headline buruk itu hilang!"
"Jadi saya harus jawab semuanya sesuai ini?"
"Tepat."
"Itu bisa kamu baca dan dengarkan saya, selama kamu menjadi pacar saya tentu banyak yang harus kamu tahu."
"Pak, tapi…" kalimatnya terputus karena tatapan sinis Aksel menghentikannya.
"Jangan menyela pembicaraan saya!"
Anna diam dan tidak mengatakan apa pun.
"Selama kamu menjadi pacar saya, setidaknya kamu harus perhatian atau bersikap cukup manis di depan umum. Jangan lupa kamu harus tetap menjaga citra baikmu, karena saya ini CEO ternama. Jangan pernah melakukan hal bodoh!"
"Tapi saya punya pacar, Bapak juga tahu itu."
"Itu urusan kamu, bukan urusan saya."
Rasanya Anna ingin membanting benda yang ada di hadapannya. Berbuat sesuka hati karena kekuasaan berada dalam genggamannya.
"Lalu bagaimana dengan keluarga saya, kerabat saya, bahkan keluarga Bapak?"
"Itu urusanmu! Saya tidak punya keluarga!"
Anna mendengus kesal, kertas itu ingin ia sobek dan menghamburkan di muka CEO yang begitu kesal tersebut.
"Kamu bisa bersiap-siap, pakaian dan segalanya sudah disiapkan. Saya tunggu di ruang wawancara."
"Pakaian juga? Pak, saya enggak nyaman pakai baju orang."
"Itu baju baru, berpenampilanlah seperti kekasih CEO kaya dan tampan! Bukan seperti sekretaris yang menyusahkan orang!"
Tangan Anna di atas paha sudah terkepal sempurna, ia begitu kesal pada Aksel namun tidak mampu berbuat apapun selain menurutinya.
"Keluar," ucap Aksel dengan tatapan datarnya.
Anna keluar dari ruangan tersebut. Menaruh kepalanya di atas meja kerja dengan pasrah.
"Anna, are you okay?" tanya Danita seraya menepuk pundaknya.
"No! Aksel gila!"
"Kenapa bisa sampai begini An?"
"Aku pun bingung kenapa bisa begini, yang jelas sepertinya aku kena kutukan alam."
"Maksud kamu?"
"Gimana enggak, punya atasan galak, gak punya hati, dan kasus ini juga."
"Kalau belum siap cerita enggak apa-apa, istirahat dulu."
Aksel keluar dari ruangannya. Ia berjalan dengan tegapnya. Jelas terlihat begitu angkuh.
"Kamu masih bermalas-malasan di sini?" tanya Aksel mengagetkan Anna menaruh kepalanya di atas meja.
"Iya, saya ke sana."
"Dan, kamu urus dulu tugasnya sebentar."
"Baik, Pak."
"Nanti makan siang tunggu aku ya."
Danita hanya menganggukkan kepalanya saja.
Anna berjalan menuju ruangan yang akan mengubahnya menjadi bukan dirinya. Ia tidak suka berpakaian yang bukan pakaiannya.
"Kak, bajunya yang disuruh Pak Aksel yang mana?" tanya Anna pada kakak yang akan membantunya.
"Ini, Bu."
Dress hitam dengan lengan seperempat dan panjangnya mungkin hanya sampai bawah lututnya sedikit.
"Enggak ada baju lain?"
"Maaf, Bu. Tapi Pak Aksel hanya menyuruh yang ini saja, katanya agar senada dengan pakaiannya."
"Sialan!" umpat Anna seraya meraih kasar dress tersebut dan menggantinya di kamar mandi.
Anna sudah siap dengan dress hitam simple namun terkesan elegan. Ia berjalan ke ruangan untuk wawancara tersebut. Karena ia melihat ada Edric duduk sendirian maka ia duduk bersama Edric bukannya di samping Aksel.
"Pak, harus wawancara banget ya?"
"Nggak ada pilihan Anna," jawab Edric juga pasrah.
Helaan napas Anna yang kesal dan mulai sendu ketika melihat semuanya tengah mempersiapkan.