Anna duduk dan merapikan rambutnya yang berantakan. Saat itu Anna mengenakan kemeja berwarna biru langit. Sebab hujan pakaian dalamnya menjadi terlihat. Karena hal itu, Anna menyadarinya. Ia menutupi bagian tubuh depannya menggunakan tas dan tampak takut dengan kondisi tersebut.
"Apa?" lirik Aksel heran.
"Eng—nggak, Pak."
"Kamu takut?"
Tidak ada jawaban dari Anna. Ia mematung. "Saya sadar, enggak akan apa-apakan kamu."
"Ya sudah jalan saja Pak, jangan lihat saya."
Aksel mengamatinya dan mengetahui jika tubuh Anna sedikit terlihat sebab bajunya menerawang. Aksel memberikan jasnya pada Anna, bukan memberikan tepatnya melemparkan.
"Untuk apa?"
"Bajumu terlalu tipis. Saya bisa lihat dalamnya."
"Pak, jangan macam-macam!"
"Makanya pakai, toh saya sudah lihat yang asli juga."
Napas Anna memburu kesal, ingatan malam itu kembali dengan undangan dari perkataan Aksel. Terdengar Anna serapah sendiri.
"Pakai! Biar kamu nyaman juga!"
"Dengan ini sudah 2 jas Pak Aksel sama saya."
"Jas saya masih banyak."
Anna buru-buru memakainya. Rasanya ia seperti selalu sial setiap bersama Aksel.
"Tadi Bapak dari kantor?"
"Iya."
"Bapak lembur?"
"Apa urusanmu?"
"Maaf hanya tanya saja pak."
"Kamu kenapa baru pulang jam segini?"
"Sengaja lembur aja, Pak."
"Memangnya saya menyuruhmu mengerjakan itu hari ini?"
Anna menggelangkan kepalanya.
"Maaf, Pak."
"Untuk?"
"Karena saya lembur."
"Lupakan. Besok jam 7 saya jemput kamu."
Anna membelalak dan memandangi Aksel, pikrannya mulai bertanya-tanya. "Buat apa Bapak jemput saya?" walau ragu akhirnya ia menanyakan hal itu.
"Pergi ke suatu tempat. Jangan banyak tanya, ikuti saja."
"Baik, Pak."
Tak lama kemudian Aksel sampai di sekitar perumahan Anna. Namun, ada yang berbeda. Ayah Anna dan beberapa orang laki-laki di sana. Segera Anna menghentikan Aksel.
"Pak, jangan ke sana. Berhenti."
Anna menghentikan paksa karena Aksel tak mendengarkannya. "Berhenti! Pak."
"Apa?"
"Jangan sampai mereka tahu saya diantar."
"Mereka pelangganmu?"
"Itu Ayah saya, dan laki-laki yang lainnya mungkin teman atau penagih hutang."
"Ya sudah turun sini kalau begitu."
Raut wajah Anan memelas menatap Aksel "Apa maksud muka kamu?"
"Biarkan saya di sini sebentar sampai mereka pergi, Pak. Saya mohon," ucap Anna meminta pada Aksel. Meski tidak mau tetapi tidak ada pilihan.
"Jangan memelas."
"Tolong ya Pak, sebentar saja."
Aksel melirik arloji di tangan kirinya. Waktu sudah menentukan pukul 11 malam.
"Saya ada urusan nggak bisa lama-lama."
"Sebentar saja, Pak."
"Hanya 5 menit."
5 menit waktunya Anna berdoa agar orang-orang itu segera pergi dari rumah Anna. Rupanya alam kali ini berpihak padanya. Hampir 5 menit kemudian akhirnya mereka meninggalkan rumah Anna.
Terdengar helaan napas Anna yang lega karena ia bisa pulang tanpa harus bertengkar.
"Pergilah!"
"Makasih banyak ya, Pak."
Anna buru-buru membuka pintu mobil tersebut. Namun, entah ia lupa atau bagaimana. Ia melepas jaket tersebut pikirnya baju yang ia pakai sudah kering.
"Anna!"
"Hah, kenapa Pak?"
"Kenapa lepas jasnya! Kamu ini bego ya. Tubuhmu masih jelas terlihat."
Jas yang semula ia lepas kini dipakai kembali. "Maaf pak, saya permisi."
Ana berlari kecil menuju rumahnya. Ia merasa bodoh saat itu. "Bodoh banget sih, malah kelihatan murahan kan Anna!" gerutu Anna seorang diri.
Ceklek!
Rumah tersebut sudah gelap, sepertinya Ibunya telah tidur dan Ayahnya pergi entah ke mana. Anna sengaja membawa kunci rumah agar ia bisa masuk saat pulang malam hari.
Beruntunglah malam itu ia lolos dari pertengkaran Ayah dan Ibunya. Namun, ketika pagi ia harus berhadapan kembali.
"Semalam kamu lembur?" tanya Ibunya ketika Anna keluar dari kamarnya.
"Iya," jawabnya singkat dan melangkah keluar rumah.
"Pantas Ayahmu menunggu lama."
"Mau apa lagi?"
"Dia butuh uang, Ibu sudah enggak ada uang lagi. Katanya hari ini akan ada yang tagih."
"Bukannya Ayah kerja juga? Kenapa hanya mengandalkan Anna saja."
"Kamu kan anaknya, wajar dong minta sama anaknya."
"Wajar sih kalau hanya beberapa kali, bukan setiap waktu, Bu."
"Uangmu sekarang ada berapa?"
"Anna enggak punya uang!"
"Kamu coba minta dengan pacarmu yang kaya itu pasti dikasih banyak."
"Bukan pacar Anna."
"Apa perlu Ibu ke kantormu untuk bersilaturahmi, atau supaya kenal saja."
"Ibu jangan gila, kalau sampat Ibu ke sana Anna semakin benci sama Ibu."
Ibunya terhenyak dengan kelakuan Anna yang semakin hari tak terkendalikan.
Sebuah mobil mewah berwarna putih telah terparkir di depan rumah. Anna mengingat jika semalam Aksel akan menjemputnya pagi hari dan memang benar saja, ia sudah di sana.
"Ini Ibumu Anna!"
"Anna tahu."
"Biarkan pergi anak durhaka itu, orang tua minta uang saja malah dibenci," timpal sang ayah yang baru bangun tidur.
"Uang uang uang terus! Gila lama-lama tinggal sama kalian!"
Anna pergi keluar rumah dengan raut wajah yang kesal.
"Anna!" terdengar suara pekikkan Ibunya sampai ke deoan rumah. Mungkin saja Aksel mendengar hal itu.
"Selamat pagi Pak," sapa Anna dengan suara dan wajahnya yang datar.
"Masuk."
"Maaf Pak, menunggu lama."
"Kamu kalau bertengkar lihat waktu!"
Aksel mengendarai mobilnya dengan cepat. Untung saja mobilnya memang bagus. Jadi tak akan mudah rusak walaupun ia memakainya sembarangan.
"Maaf, Bapak dengar ya?"
"Kalau saya enggak dengar harus periksa berarti."
"Maaf Pak, maaf."
Banyak kata maaf yang keluar dari bibir Anna. Jalan yang Aksel lalui tampaknya tjdak sejalan dengan arah ke kantor. Lantas Anna bertanya-tanya sendiri. Mau ke mana lagi ia pergi.
"Loh kantor kan arahnya bukan ke sini, Pak?"
"Diam dan ikuti saja."
Anna terdiam kembali. Rasanya ia tidak berhak berpendapat apapun jika bersama Aksel.
Mereka tiba di sebuah butik yang cukup besar dan ternama. Aksel turun dari mobil, Anna pun mengikuti karena jika tidak ia takut akan dimarah kembali.
"Selamat pagi, tuan," sapa pelayan butik tersebut.
"Wah lihat tamu agung ini datang ke butik kembali, tampaknga tidak sendiri lagi," ucap perempuan yang terlihat kaya. 'Mungkin ini yang punya butik,' pikir Anna saat melihat perempua tersebut menghampiri mereka.
"Carikan pakaian terbaik untuk perempuan ini," tangan yang berada dalam saku dan menilah Anna untuk mengisyaratkan perempuan itu maksudnya Anna.
"Baiklah," jawab perempuan kaya tersebut.
"Maksud Bapak?" tanya Anna bingung.
"Ikuti perempuan itu."
"Baju? Untuk saya?"
"Anna jangan paksa saya kasar sama kamu."
Anna menghela napasnya "Okay." Ia segera mengikuti perempuan dan diikuti pelayan butik tersebut. Aksel duduk di area tunggu dengan sofa mewah yang nyaman. Memainkan ponselnya.
"Namamu siapa?" tanya perempuan kaya tersebut.
"Anna," jawabnya singkat. "Ini adalah pakaian dengan mode terbaru, kualitasnya jangan diragukan, kamu suka yang mana, Anna?"
"Hah? Saya? Saya enggak tahu semuanya tampak sangat bagus."
Aksel melihat gerak gerik Anna yang kebingungan dengan baju-baju tersebut. Ia berjalan dengan angkuh dan berada di samping Anna.
"Ini bagus?"
"Ini semua pakaian dengan mode terbaru dan kualitas yang paling bagus di atara lainylnya, Tuan. Sama seperti biasanya."
Baju-baju tersebut tampak bagus dan elegan. Bahannya pun tidak setipis yang Anna kenakan sehari-hari. Aksel melangkah ke arah baju-baju tersebut. Menunjuk beberapa.
"Kamu coba semuanya," perintah Aksel pada Anna. Jelas itu mengejutkan. Menciba baju mahal dan sangat bagus.