"Mau apa?" tanya Anna sinis memandang kedua laki-laki tersebut.
"Oh rupanya kamu berani."
Anna terus berjalan namun kedua laki-laki tersebut menghalangi langkahnya.
"Kalian mau apa hah? Mau uang? Iya kan?"
"Oh tentu, tapi ada yang lebih kami inginkan."
Laki-laki tersebut hendak menyentuh pipi Anna, segera ia tepiskan tangannya. Karena ia bekerja selalu memakai celana panjang maka dengan mudah ia menendang laki-laki tersebut.
Akan tetapi yang namanya seorang perempuan tetap akan kalah dengan laki-laki.
"Sepertinya tubuh kamu lebih indah dari pada uangmu nona."
"Gila apa kalian!"
Anna berusaha sekuat tenaga memberontak tubuhnya yang kini dipegang oleh salah satu laki-laki tersebut dan satunya tentu menggodanya yang walaupun Anna tidak sedikitpun tergoda.
"Tolong!!!"
Anna memekik dengan keras, namun itu malam hari. Jalanan menjadi sepi. Biasanya masih ada yang berlalu lalang namun tampaknya kali ini cukup sepi karena Anna sudah berjalan dari halte depan kantor tadi.
'Ya Tuhan, tolong!' Anna benar-benar takut malam itu.
"Ayolah kita bermain sebentar dulu, jangan buru-buru pulang, nona."
"Kalian enggak tahu saya siapa, hah?"
Laki-laki tersenyum dan terlihat merendahkan Anna.
"Kami enggak peduli siapa kamu, yang jelas kamu bisa menemani kami malam ini."
"Memang gila!"
Anna kembali memberontak sebisa yang ia lakukan. Menendang-nendang kakinya yang jenjang tersebut. Hingga akhirnya sebuah mobil yang jelas ia kenal. Siapa lagi yang punya mobil mewah tersebut selain atasan sendiri.
Benar, ia adalah aksel. Entah dikirim Tuhan untuk menolong Anna ataukah 2 laki-laki tersebut orang suruhan Aksel. Anna masih menerkanya.
"Sial! Siapa lagi sih!" Laki-laki tersebut kesal ketika mobil Aksel berhenti di dekat mereka.
Aksel membuka kaca mobilnya dan menatap sekeliling.
"Pak Aksel!" Anna sengaja memekik agar Aksel menolongnya segera.
Tampaknya Aksel pun baru mengetahui jika perempuan yang bersama dua laki-laki di jalanan adalah sekretarisnya sendiri.
Aksel keluar dari mobil tersebut dan bersandar di mobilnya, memasukan satu tangannya ke saku celananya.
"Mau jadi jagoan? Iya?" tantang satu laki-laki yang mendekati Aksel. Tampaknya kedua orang tersebut tak mengetahui Aksel itu siapa sebenarnya.
"Mau kalian apakan perempuan ini?" tanya Aksel santai.
"Mau kami apakan perempuan ini terserah kami, tidak ada urusannya sama anda."
Aksel menyeringai, tidak seperti pria kebanyakan yang akan menolong perempuan dengan cepat. Aksel malah berlama-lama seakan bernegosiasi.
"Kalian cuma butuh uang kan? Kalian yakin mau sama perempuan ini?"
Pandangan kedua laki-laki tersebut berbeda, mengira apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Aksel.
"Aww!" Anna mengernyit seperti kesakitan.
"Bukankah suara sakitnya indah? Jelas saya ingin membuatnya kesakitan dan mengeluarkan suara indahnya."
"Gila ya kalian semua ini! Mau kalian ini apa? Kalian mau saya, silakan!"
"Lihat, perempuan itu menyerahkan dirinya dengan mudah, bukan?"
Aksel menghela napasnya. Ia memang hanya menggunakan kemeja hitam panjang dengan lengan yang bergulung saja. Tidak memakai jasnya. Ia berjalan menuju Anna dan menarik paksa serta membuat laki-laki yang kuat memegangi Anna terjatuh dengan pisaunya sendiri.
"Sret!" Sayatan pada leher Anna yang kedua membuat Anna menggigit bibir bawahnya. Menahan sakitnya.
"Jangan bodoh mau kasih tubuhmu!" bisik Aksel pada Anna yang menahan sakit pada kulit lehernya.
Kedua laki-laki ini tak terima akan perlakuan Aksel. Mereka mulai menyerang Aksel, dengan mudahnya Aksel menyerang mereka. Seperti tidak ada apa-apanya. Mereka berlari cepat meninggalkan Anna dan Aksel sembari serapah.
"Sialan!!"
Aksel hanya menyeringai saja lalu pandangannya beralih pada leher Anna yang berdarah.
"Nyusahin terus perempuan ini!" keluh Aksel menatap Anna.
Anna tidak melawan perkataan Aksel, karena itu memang benar. "Maaf, Pak."
"Masuklah!"
Anna mengikuti perintah Aksel dan masuk ke mobil. Ia duduk di samping Aksel seperti biasanya. Ia meraih tisu yang ada di mobil Aksel mencoba mengelap darah yang ada pada lehernya. Cukup Perih namun Anna mampu menahan rasa sakit itu.
"Lihat ke sini!" kini Tubuh Anna menghadap Aksel dengan tatapan entah apa. Bisa dikatakan sendu dan juga kesal.
Aksel keluar mobil dan menuju bagasinya kemudian kembali membawa sekotak kecil seperti p3k. Aksel meraih paksa dagu Anna.
"Bapak mau ngapain?" tanya Anna sedikit takut.
"Saya cuma mau obati luka kamu bukan mau cium kamu!"
"Eng—nggak begitu maksudnya, Pak."
Aksel melihat luka sayatan di leher Anna tanpa ada rasa kasih sayang, ia dengan cukup kasar mengobatinya. Ada 2 sayatan di sana.
"Kan sudah saya bilang leher dan tubuh atas kamu itu indah, makanya jangan diperlihatkan!" Aksel bergumam ketika mengobati luka Anna.
"Pak!"
"Apa? Kamu mau marah sama orang yang menolong kamu?"
"Harusnya tadi kalau Pak Aksel nggak mau nolong saya ya sudah."
"Kamu kira kalau saya lewat memangnya kamu enggak akan meneriaki saya?"
"Ya akan," jawab Anna menunduk.
"Ini semua ada harganya!" Aksel selesai mengobati Anna dan juga memberi perban pada lehernya.
"Saya harus bayar pakai tubuh saya juga?"
"Tentu."
Mata Anna membulat, menatap Aksel yang mulai mengendarai mobilnya. "Maksudnya Bapak apa?"
"Kamu bekerja yang lama."
"Hah?" Anna belum mengerti.
"Kamu kerja di kantor dengan waktu yang lama."
"Melayani Bapak?"
"Melayani apa?"
Anna menggaruk kepalanya "Pak, tolong yang jelas kalau bicara jangan buat saya bingung."
"Iya kerja di kantor sebagai sekretaris, memangnya kamu mau apa?"
"O—oh iya itu tentu, Pak."
"Kenapa kamu enggak minta diantar kalau tidak ada bus."
"Sama Pak Aksel, ya nggak mungkin lah Pak."
"Kenapa sama saya, kan ada karyawan lainnya."
"Oh saya kepedean berarti, mana berani Pak."
"Atau kamu memang sengaja seperti ini agar pulang sama saya?"
Aksel memancing pertanyaan yang membuat Anna kesal.
"Memang ada yang pura-pura sampai luka begini? Yakali Pak, enggak ada gunanya buat saya."
"Kamu jangan pernah meminta saya perhatian sama kamu."
"Saya juga enggak menginginkan perhatian Pak Aksel."
"Bagus kalau begitu."
Keduanya terdiam tidak ada suara apapun selain keheningan malam. Anna sudah menatap dalam-dalam pemandangan di depan rumahnya. Ada beberapa orang di sana.
"Pak, berhenti dulu," perintah Anna menyentuh lengan Aksel.
"Lepaskan jarimu."
Anna menghiraukan ucapannya. Ia menatap orang-orang yang di sana. Sepertinya Anna mengenal siapa mereka. Selain Ayahnya, ada 2 orang pria yang ia kenal.
"Bukannya itu laki-laki tadi?" ucap Aksel yang berkata secara langsung.
"Astaga! Kok Ayah bisa tahu mereka," kening Anna mengernyit. Ia bingung mengapa Ayahnya bersama 2 laki-laki tersebut.
Anna memegang kepalanya, memutar otaknya berusaha mencari tahu sendiri.
"Jangan bilang Ayah yang buat rencana ini, Astaga!"
"Kamu mau pulang nggak? Atau sengaja mau berdua sama saya hah?"
"Pak, bisa simpati sedikit enggak sih! Bapak lihat kan Ayah saya lagi sama orang yang buat anaknya begini."
"Mungkin memang itu orang suruhan Ayahmu."
Anna membelalakkan matanya.