"Pak Aksel kalau ngomong jangan sembarangan dong."
"Saya hanya berbicara menurut yang terlihat."
"Buat apa coba Ayah saya begitu sama saya, ngaco deh."
"Kenapa tanya saya?"
"Ya Pak Aksel yang mengeluarkan kalimat itu."
"Kamu ini sengaja cari perhatian dari saya?"
"No! Ngapain cari perhatian ke Bapak, saya punya pacar!"
"Cepat keluar dari mobil!"
"Pak Aksel enggak lihat di depan rumah saya itu?"
"Itu bukan urusan saya."
Anna menatap Aksel kesal sedangkan Aksel hanya memainkan tangannya di atas setir mobil saja dan hendak melaju kembali.
"Terima kasih," gumam Anna yang langsung keluar mobil.
Ia berjalan perlahan menuju rumahnya. Dengan langkah kaki yang cukup takut namun tidak memiliki tempat berlindung. Rumah pun bukan segalanya tempat perlindungan.
Kedua laki-laki yang sempat melukai serta menggoda Anna menatapnya, melihat sekeliling.
"Habis dari mana kamu jam segini baru pulang?"
"Kerja."
Ayah Anna menganggukkan kepalanya dan masih melihat Anna. Ia menghalangi langkah Anna untuk ke dalam rumah.
Saat itu dari kejauhan Aksel masih melihat Anna berjalan sampai depan rumah. Setelahnya ia pergi tanpa melihat apa yang terjadi pada sekretarisnya.
"Anna capek, mau istirahat."
"Beri uang dulu."
"Untuk apa? Untuk bayar mereka yang melukai anaknya sendiri?" tanya Anna menyeringai.
"Kamu enggak usah banyak tanya, yang diminta uang bukan ocehanmu!"
"Enggak ada!"
Ayah Anna menarik rambut Anna.
Anna kesal mengepalkan jemarinya jika buka Ayahnya mungkin Anna sudah melayangkan pukulan.
"Ayah!"
"Apa? Kamu sakit? Makanya kasih uang!"
Rasa nyeri pada kepalanya karena rambutnya ditarik membuatnya kesal, kesabarannya habis. Ia menarik tangan Ayahnya hingga rambutnya kini sudah terlepas dari tangan Ayahnya.
"Anak kurang ajar!"
Anna merogoh sakunya melemparkan dua lembar uang puluh ribu dan segera masuk ke dalam rumah. Masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Malam itu ia benar-benar kesal dan merasa sangat kesal. Yang lebih kesal adalah orang yang melukai lehernya orang suruhan Ayahnya.
Dengan mudah Anna mengetahui jika itu orang suruhan Ayahnya karena mereka berbincang cukup akrab. Bukan seperti lawannya tetapi seperti teman lamanya.
Malam itu Anna hanya meringkuk di atas tempat tidurnya. Membiarkan tubuhnya beristirahat. Ponselnya tetap berada di dalam tas. Semakin hari hidupnya semakin melelahkan.
Pukul 06.00 Wib
"Bukankah terlalu pagi untuk ke kantor?"
"Biar saja, Bu."
Anna meninggalkan rumahnya sejak pagi hari. Meninggalkan sarapannya. Ia memilih berjalan pagi menuju halte lalu membeli makanan di kantin dan sarapan di ruangannya.
Pagi itu ia datang lebih awal sekali dari biasanya, bahkan petugas keamanan saja baru berganti shift.
"Pagi, Bu," sapa security yang berjaga.
Anna tersenyum dan menundukkan kepalanya.
"Yang lain belum ada yang datang kok, Bu."
"Iya, saya ingin berangkat awal saja. Kantin sudah buka kan?"
"Tentu sudah sejak pukul 5 tadi, Bu."
"Hah, pagi banget," Anna terkejut mendapati kalimat tersebut. "Tentu, karena mereka tinggal di sini, begitu pula kami yang bekerja untuk berganti shift sudah harus sarapan," papar security yang bersama Anna tersebut.
"Aturan?" security tersebut menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Okay, good job!" Anna menepuk bahunya.
Tampaknya security tersebut terkejut karena Anna menepuk bahunya. Meskipun memberinya semangat, akan tetapi hal tersebut membuat security yang selalu bersikap datar kini terkejut.
Anna berlalu dengan santai dan tersenyum sebelum meninggalkan security tersebut. Ia berjalan tanpa rasa bersalah apapun dan melangkah menuju kantin dahulu.
"Pagi, Bu," sapa karyawan juru masak di sana.
Anna hanya tersenyum dan mengambil beberapa makanannya, selain itu ia mengambil segelas kopi hangat pula. Setelahnya ia duduk di ruangannya. Sembari menghidupkan komputernya Anna menyantap sarapannya dahulu.
Perasaannya jauh lebih baik saat ke kantor pagi hari seperti ini. Paginya menyenangkan dan ia begitu menikmati sarapannya.
"Woah, ada yang sudah sarapan di kantor sepagi ini," Danita yang baru tiba setelah Anna satu jam seorang diri.
Danita menaruh tasnya dan mengambil makanan Anna, ia menarik kursinya dan duduk di samping Anna.
Rupanya Danita menyadari ada luka perban di leher sebelah kanannya Anna. "Omo! Ini apa?"
"Oh, kamu tahu. Hmm nggak apa-apa kok, Dan."
Anna masih melanjutkan aktivitasnya "Ini luka woy! Kamu pulang aman?"
"Luka ini," Anna menunjuk lukanya. "Semalam ada 2 laki-laki yang main-main, alhasil ada luka ini, seperti biasa ada pahlawan kemalaman yang nolong."
"Siapa?" Danita semakin penasaran dengan cerita Anna. "Pak Aksel."
"What! Terus, terus gimana?"
"Ya sudah ditolong, diantar pulang. Ada satu hal yang buat saya bertanya-tanya, sewaktu tiba di rumah, Ayah Sama 2 laki-laki yang di jalanan itu."
"Jangan bilang 2 orang itu suruhan Ayah," Danita menatap Anna.
"Kamu sama Pak Aksel sama saja, saya masih bingung juga. Mau tanya juga rasanya enggak akan terjawab selain dengan kekerasan."
"Heran deh, Ayah kamu sebenarnya kenapa sih?"
"Gila."
"Heh, sembarangan."
"Kalau bukan gila, sebutan yang pas enggak ada lagi."
Danita terlihat menghela napasnya, namun tak lama kemudian Aksel tiba. Danita segera duduk pada mejanya.
"Pagi, Pak Aksel," sapa Danita pada Aksel sedangkan Anna hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kamu masih hidup rupanya," kalimat yang keluar dari bibir Aksel merupakan kalimat yang menakjubkan bagi Anna.
"Sa—ya?"
"Obati lagi lukamu kalau tidak mau memburuk"
Aksel berlalu dan meninggalkan Anna di mejanya. Ia berkata demikian membuat Anna lantas bingung. Pertama, ia begitu mencengangkan. Kedua, ia perhatian.
"Dia manusia apa sih, Dan?" tanya Anna yang bingung sendiri.
Danita nyengir saja "Bukan manusia."
Cermin yang ada di lacinya, ia keluarkan. Anna melihat lehernya, rupanya ia tak sadar jika ada darah yang keluar dari sana. Anna pun bingung, mengapa ada darah lagi.
"Kok darahnya keluar lagi ya," gumamnya sendiri.
"Itu luka apa sebenarnya?"
"Sayatan pisau."
"Astaga, Anna! Pisau? Kagak sakit apa?"
"Perih."
"Buruan gih obatin."
"Semalam sudah kok, pagi juga tapi enggak tahu kok keluar darah lagi."
"Bisa jadi karena aktivitas yang berlebihan, jangan kecapean dulu deh."
Anna mengambil beberapa perlengkapan untuk mengobati lukanya. Kini ia mulai membersihkan lukanya kembali. Setelah selesai, ia kembali bekerja.
Sengaja Anna bekerja tanpa henti agar ia dapat menyelesaikan tugasnya yang menumpuk. Meskipun ia harus rela lembur malam hari.
"Masih mau lembur lagi malam ini?"
Anna menganggukkan kepalanya.
"Memang enggak capek? Kamu enggak sehat loh."
"Tugasnya masih banyak."
"Bantu ya, nanti makin lama lagi."
"Enggak usah, kamu punya pekerjaan lain kan. Pulanglah."
"Dih, manusia ini enggak berubah dari dulu! Ya sudah hati-hati, jangan pulang malam banget, Anna."
"Iya, Danita. Siap!"
Danita meninggalkan Anna dan melangkah keluar kantor.
Anna menggerakkan lehernya yang kaku dan masih mengerjakan tugasnya.
"Kamu hobi lembur tanpa disuruh ya?"