Aksel mengamati Anna dari pintu ruangannya. Ia masih melihat dengan jelas jika Anna masih mengerjakan tugasnya. Ketika Aksel di kantor jika sudah siang biasanya ia akan melepas jasnya dan hanya mengenakan kemejanya saja.
Sebuah pertanyaan dan juga membuat kaget Anna padahal ia tahu jika masih ada Aksel di dalam kantor.
"Bukan ho—bi, Pak."
"Lantas? Oh atau untuk cari perhatian saya lagi?"
"Maaf Pak, saya nggak pernah minta perhatian Pak Aksel juga. Lagi pula saya mengerjakan ini semua karena takut tak selesai."
"Waktu pagi sampai soremu tidak terlalu padat, kenapa harus lembur?"
"Memangnya saya tidak boleh lembur ya Pak?"
"Makanya kalau ada kontrak kerja itu dibaca bukan dilihat doang!"
Anna menatap Aksel "Beneran enggak boleh, Pak?"
"Ada saatnya lembur dan itu bukan sekarang."
"Ooh, its okay. Saya lembur nggak apa Pak."
Aksel mengernyit. "Kamu memang hobi lembur."
"Saya bilang lagi kalau bukan lembur, tapi…" kalimatnya terhenti. Ia tak melanjutkan kalimatnya dan menatap layar komputer.
"Anna! Saya lagi bicara sama kamu!"
'Kalau gini caranya kerjaan kagak akan selesai, bego!' Anna mendengus kesal dalam batinnya.
"Oh kamu kesal sama saya?"
"Enggak, Pak."
"Jadi tapi kenapa?"
"Saya enggak mau lama di rumah, dengan begini waktu saya akan di rumah akan sebentar saja."
"Begini? Lembur?" Anna menganggukkan kepalanya.
Aksel hanya menggelengkan kepalanya saja dan sedikit heran, ia kembali ke ruangannya karena ponselnya berdering. Namun, tak lama kemudian ada security yang naik ke lantai mereka. Anna pun heran lantas bertanya "Pak, ada apa?"
"Pak Aksel manggil saya, Bu."
"Iya kenapa?"
"Belum tahu, Bu. Saya permisi."
Anna menganggukkan kepalanya dan memandangi langkah kaki security ke ruangan Aksel tersebut.
"Permisi, Pak."
"Duduk saja."
"Maaf ada apa, Pak?"
"Gimana keadaan kantor?"
"Aman terkendali, Pak."
"Ada yang lembur selain Anna di kantor ini?"
"Tidak ada Pak, hanya Bu Anna dan Bapak saja yang berada dalam kantor."
"Seberapa sering wanita itu lembur?"
"Kalau saya perhatikan sudah hampir 2 minggu lebih ini, Pak. Tapi, tetap berangkat sangat awal sekali."
"Pukul?"
"Masih pagi, sekitar pukul 06.30 dan pernah juga masih pukul 06.00 pagi, Pak."
Aksel memutar-mutar kursinya "Kenapa alasannya?"
"Alasan yang mana, Pak?"
"Datang awal."
Tampaknya Aksel malam ini tidak begitu keras pada siapapun entah moodnya memang sedang baik atau ada kabar bahagia lainnya.
"Katanya takut kesiangan."
"Pernah kesiangan?"
"Tidak, Pak. Selama bekerja di sini saya belum lihat Bu Anna terlambat."
"Pagi dia ke mana?"
"Langsung ke ruangannya, sempat juga bertanya untuk sarapan di kantin."
"Oke, keluarlah."
"Maaf ada apa ya, Pak?"
"Itu urusan saya."
"Baik, maaf Pak. Saya permisi."
"Jangan jawab pertanyaan apa pun jika wanita itu tanya."
"Baik, Pak."
Security tersebut melangkah pergi meninggalkan ruangan Aksel.
"Ada apa?" Anna menodong security tersebut.
"Maaf, Bu. Saya tidak bisa mengatakannya."
"Dih, rahasia banget ya?"
Security tersebut hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan Anna.
Kini Anna kembali pada layar komputernya, semakin lama ia menatapnya maka rasa kantuknya mulai menyerang. Akhirnya ia menaruh kepalanya di atas meja. Ia hanya berniat sebentar saja tiduran di sana. Namun, tampaknya kantuk itu begitu berat.
Bruk!
Aksel menutup pintu ruangannya, membawa kunci mobil dan ponselnya. Berjalan angkuh melewati meja kerja Anna.
Beberapa langkah kemudian ia berbalik badan. Melihat ruangan sekretarisnya. Ia menemukan Anna yang masih tertidur di depan komputernya.
"Anak ini tampaknya mau mati," ucap Aksel sambil memegang gelas kopi yang Anna pakai di sana ada sekitar 4 bungkus kopi yang sudah Anna habiskan.
"Harus saya apakan dia?" tanya Aksel seorang diri.
Hingga akhirnya Aksel duduk di meja tersebut dan membangunkan Anna.
"Anna! Bangun bodoh!"
Belum ada jawaban dari anna.
"Anna!" Seketika Anna terperanjat kaget karena suara Aksel yang begitu meras hingga membuat Anna terkejut.
Benar-benar tidak seperti manusia kebanyakan yang membangunkan dengan perlahan atau pun dengan kasih sayang.
Mata Anna membulat, ia melihat Aksel dengan jarak yang sangat dekat untuk kedua kalinya. Sangat dekat dalam artian lebih intens.
"Apa yang kamu lihat?"
"Maaf, Pak. Saya segera menyelesaikannya, maaf saya ketiduran."
"Sudah tutup saja!"
"Tapi, Pak masih tanggung."
"Tubuhmu itu tak mendukung, kalau kamu mati di kantor siapa yang kena?"
"Saya enggak akan mati, Pak. Lagian hanya ketiduran."
"Buat apa minum kopi sebanyak itu kalau kamu masih ketiduran?"
"Hmmm, ya mungkin terlalu ngantuk, Pak."
"Cepat bereskan! Saya tunggu di bawah!"
Anna masih mencari nyawanya sendiri, ia tampak linglung. Namun, ia segera kembali untuk sadar. Merapikan semuanya dan turun ke bawah. Tampaknya Aksel akan mengantarkan Anna lagi.
"Maaf Pak," Anna masuk ke mobil dan mengucapkan maaf pada Aksel.
Aksel tak menjawab apapun, ia menekan pedalnya dan melaju dari halaman kantor.
"Pak Aksel marah sama saya?"
Aksel mengernyit karena pertanyaan dari Anna tersebut, "Buat apa kamu tanya hal yang tidak penting."
Kring!!
Ponsel Anna berdering dan segera Anna menjawabnya. Panggilan tersebut dari Gibran, kekasih Anna yang sebenarnya.
"Hallo?"
["Kamu di mana?"]
"Ini di jalan pulang, kenapa?"
["Besok aku mau ketemu di tempat biasa."]
"Kamu ke Jakarta?"
["Kalau aku bilang mau ketemu berarti ke sana dong, Anna!"]
"Aku hanya memastikan saja, sampai ketemu besok."
Panggilan itu segera mati begitu Anna menyelesaikan kalimatnya.
Setelah mendapat panggilan telepon itu Anan menghela napasnya dan menatap jalanan malam dengan tatapan kosong.
"Besok saya izin ya, Pak."
"Ke mana?"
"Saya ada janji, mungkin hanya 1 jam saja."
"Besok kita ada janji ketemu klien."
"Kenapa Pak Aksel baru bilang sih pak, saya sudah janji loh."
"Itu bukan urusan saya."
"Tapi ini penting bagi saya, Pak."
"Lantas?"
"Ya saya tetap izin."
"Izin untuk menemui laki-laki lain tak akan saya izinkan."
"Tapi Gibran ini pacar saya, sedangkan Bapak kan bukan. 1 jam doang, Pak."
"Masa bodoh! Yang semua tahu kamu itu pacar saya."
"Tapi itu bohong!"
"Meski bohong, jelas kamu tahu omongan siapa yang akan lebih didengar."
Anna mendengus kesal kembali, mengepakan tangannya. Ingin melawan namun tetap ia tak kuasa akan hal itu.
"Terima kasih atas tumpangannya, Pak. Selamat malam," ucap Anna yang turun dari mobil tersebut.
Aksel segera pergi meninggalkan Anna, tanpa menjawab apapun dari Anna.
"Wah memang bukan manusia sih dia!" Ucapan yang Anna lontarkan kini keluar sempurna tanpa menggerutu di hati.
Glek!
Perlahan, Anna membuka pintu rumahnya yang sudah sepi tersebut. Entah ada orang tuanya atau tidak ia tak akan merisaukan hal tersebut. Anna segera masuk ke kamar dan menguncinya.
Anna mulai memejamkan matanya perlahan tanpa membersihkan diri dahulu.