"Hai!"
Security yang Anna sapa kebingungan.
"Ibu menyapa saya?"
"Lah memang ada yang lain?"
"Oh, i—ya pagi, Bu."
"Kenapa sih, aneh ya?"
Security tersebut hanya sedikit tersenyum canggung pada Anna.
"Selamat pagi, Pak."
Anna berbalik setelah security tersebut menyapa 'Pak' pada seseorang di belakang Anna.
"Pagi, Pak," Anna pun menyapa juga karena itu adalah Aksel.
Aksel tak memberikan respon apapun selain sedikit anggukkan kepalanya. Setelah itu ia berjalan mendahului Anna.
"Pak Aksel," panggil Anna yang berjalan di sampingnya.
Aksel hanya berdeham saja. "Hmm enggak jadi."
"Apa?" Aksel berbalik tanya pada Anna dan menghentikan langkahnya.
"Enggak kok, Pak."
"Kalau bicara yang jelas!"
"Cuma mau nyapa saja."
"Kamu mau buat security di sini kebingungan lagi?"
"Loh Pak Aksel lihat tadi? Itu yang mau saya tanyakan Pak, kenapa kayaknya bingung banget padahal saya hanya–"
Kalimatnya terhenti segera dipotong oleh Aksel "Hanya menyapa, itu hal aneh!"
"Aneh apanya sih, Pak. Menyapa memangnya salah?"
Anna terus bertanya dan mengikuti langkah Aksel. Beruntungnya pagi itu masih terlalu pagi dan tak banyak yang sudah datang. Anna bertanya hingga ke ruangan Aksel.
"Ya salah."
"Apanya? Bukannya mereka juga sama?"
"Kamu kenapa bertanya sampai ke sini?"
Anna baru menyadari jika dirinya berada di ruangan Aksel. "Hah! Kok saya di sini?"
"Tanya kakimu."
"Pak, jawab dulu dong. Soalnya beberapa orang begitu, apa ada aturannya saya enggak boleh nyapa mereka?"
Tarikan napas dari Aksel terlihat kesal pada Anna yang terus bertanya. "Mereka bekerja sesuai porsinya, menyapa yang seharusnya, kamu jangan terlalu ramah, mereka menjadi kaget kalau ada yang ramah."
"Wow! Orang-orang di sini pada jahat berarti," Anna mendengus sendiri dan berlalu meninggalkan ruangan Aksel.
"Anna!" Ia berbalik badan menatap Aksel tanpa rasa bersalah.
"Kamu ini, ah sudah pergilah!"
Mata Anna aneh, ia menganggap Aksel lebih aneh. Sangat susah sekali menerka pemikirannya. Ia terus berjalan menuju meja kerjanya.
Sebelum itu, Anna meninggalkan meja kerjanya. Ia membuat minuman hangat untuknya.
"Oke, kita mulai kerja, semangat Anna!" ia menyemangati dirinya sendiri.
***
"Bagaimana?"
"Aksel ini susah untuk dikalahkan dan pemikirannya tak mudah ditebak, Pak."
"Untuk apa saya kerjakan kamu kalau begini saja tak becus!"
"Maaf, Pak. Tapi memang kantor Pak Aksel luar biasa perlindungannya."
Ditya, seorang pengusaha yang cukup terkenal namun ketenarannya dan perusahan yang ia pimpin masih sangat jauh tertinggal dari milik Aksel.
Ditya sudah lama menjadi musuh bebuyutan Aksel. Mereka sama-sama ingin mengusai nusantara bukan hanya itu, kekayaan akan selalu menjadi nomor satu dibandingkan yang lainnya.
"Atur strategi lagi, saya mau besok kalian sudah menemukan cara agar tahu pengolahan proposal mereka!"
Semua orang terdekatnya menunduk dan mengikuti apa yang Ditya inginkan. Sudah sangat lama Ditya sangat ingin menguasai apa yang Aksel miliki.
"Pak Ditya, maaf mengganggu."
"Apa?"
"Bapak tahu kan berita terbaru Pak Aksel?"
Ditta tampaknya terpengaruh oleh ucapan orang kepercayaannya. "Ada apa?"
"Ia baru saja mengencani sekretarisnya sendiri."
"Lalu?"
"Sepertinya kita bisa memanfaatkan sekretatisnya untuk masalah Nusantara yang selalu mendunia. Kita bisa juga meminta strategi mereka agar tembus sampai dunia."
Ditya menyeringai, seraya sedikit tersenyum dan ia juga tampaknya sudah memiliki rencana.
"Kita cari tahu dulu tentang sekretarisnya."
"Baik, Pak."
***
"Permisi, Pak."
"Bicara," Aksel mempersilakan Anna segera berbicara.
"Saya minta izin keluar dulu, Pak."
"Ambil tas mu kita akan pergi dinas."
"Hah! Pak tapi kan saya sudah minta izin dari semalam."
"Saya tidak mau tahu."
Anna menghentak-hentakkan kakinya dan kembali ke ruangannya. Mengambil tasnya, mau tidak mau ia tetap mengikuti. Apapun tidak ada alasannya untuk menolak.
Setelahnya Anna pergi bersama Aksel "Mau ke mana, Pak?"
"Ketemu klien."
"Kenapa sih saya enggak bisa bebas dari kerjaan ini?"
"Bukannya kamu sendiri yang melamar."
"Iya saya tergiur gajinya."
"Ya sudah kalau butuh uang ikuti saja aturan kerjanya. Jangan mengeluh!"
Anna menatap Aksel kesal, jika bukan atasannya mungkin wajah Aksel sudah habis oleh Anna yang bersiap meninjunya.
Mereka tiba pada satu tempat dan segera masuk ke tempat yang sudah disediakan3. Anna tak memunculkan senyumnya sama sekali, sama halnya dengan Aksel. Benar-benar seperti pasangan yang kejam.
"Masih ada lagi, Pak?"
"Sudah, hanya satu klien saja."
Anna melihat ponselnya.
"Pak, saya pergi ya, kan sudah bertemu klien."
"Ini masih jam kerjamu."
"1 jam saja Pak," wajah Anna memelas.
"Pergi!"
Anna sumringah sekali dan segera pergi dari mobil tersebut. Berhubung mereka berada di tempat yang Anna ingin tuju pula. Tempat itu memang menjadi tempat yang sering Anna dan Gibran datangi.
Tampaknya Aksel tetap berada di parkiran melihat langkah Anna yang berada di sekitar tempat tersebut.
"Hai," sapa Anna seraya melambaikan tangannya.
"Kamu sama siapa?"
"Oh, aku kerja tadi jadi sekalian sama karyawan."
"Yakin?"
"Masuk yuk, aku lapar. Kita ke sini mau menghabiskan waktu bersama bukan?" ucap Anna seraya memegang tangan Gibran.
Hari itu sudah memang sudah cukup sore, langit pun mendung. Aksel yang merasa sia-sia di sana hanya melihat Anna berpegangan tangan dengan kekasihnya. Janji 1 jamnya hanya berbohong.
"Kamu sengaja ya mempermainkanku?"
"Maksud kamu apa? Kita baru ketemu loh Gibran, jangan berantem dulu dong."
Gibran melepaskan tangan Anna. "Kayaknya kita nggak bisa lanjutkan hubungan ini."
"Gibran," mata Anna sudah berkaca-kaca.
"Buat apa aku punya pacar tapi bermesraan sama atasannya sendiri."
"Itu berita bohong! Kamu harusnya bisa percaya aku dong, Gibran."
Gibran menyeringai, tangannya berdecak di pinggang.
"Kamu itu sudah jadi perempuan bayaran kan?"
Mata Anna benar-benar membelalak. Ia terkejut mendengar perkataan yang tak menyangka jika akan diucapkan oleh Gibran.
"Gibran, kamu tahu aku bagaimana," ucap Anna yang sudah tak dapat membendung air matanya lagi. Rasanya hancur saat orang terdekatnya bersikap seperti itu.
"Aku sudah peringatkan kamu, suruh berhenti kerja di sana. Dari awal aku nggak suka, Anna."
"Aku butuh uang, aku harus kerja, kamu harusnya bisa paham keadaanku."
"Buat apa aku paham dengan pacar tapi sibuk pacaran dengan orang lain? Pantas menurutmu?"
Anna tak dapat berkata apa-apa, selain menangis. Ia mencoba menggenggam kembali jemari Gibran. Bukan perlakuan baik namun yang ada Gibran berlaku sebaliknya pada Anna.
"Jadi maumu aku berhenti kerja?"
"No! Aku capek sama kamu, aku enggak mau terima kamu yang entah sudah berbuat apa saja dengan laki-laki lain!"
"Gibran! Jaga ucapanmu."
"Lantas apa? Bukannya memang benar begitu, bayaranmu di sana mungkin mahal karena melayani pria kan?"
"Oh aku tahu sekarang, kamu memang enggak sebaik yang aku kira. Ini sikap kamu yang sebenarnya!"