"Buang semuanya tanpa tersisa, renovasi kamar ini!" Aksel melangkah pergi dari ruangan tersebut.
Langkah kaki Aksel tentu akan diikuti Anna, Edric dan beberapa orang suruhannya. Tampaknya Anna cukup mengalami perasaan yang berbeda dengan pengawalan yang cukup ketat.
Aksel melewati manajer yang kini akan dibawa menuju tempat yang akan Aksel hukum.
"Beritahu keluargamu sekarang!" Aksel memerintah dengan meleparkan ponsel milik manajer tersebut.
Buru-buru ponsel tersebut ia pungut dan menekan kontak istrinya dengan tangan yang gugup karena takut. "Katakan kalau suaminya yang bodoh ini ada pekerjaan beberapa hari tanpa pulang!" Aksel menyeringai.
Manager tersebut mengikuti apa yang dikatakan oleh Aksel. Ia mengatakan jika ada pekerjaan sampai tidak mengharuskan pulang. Jelas itu adalah berbohong. Usai menelepon selesai, ponsel itu Aksel ambil kembali ke dalam sakunya.
"Pak, apa ini tidak berlebihan?" tanya rekan kerjanya yang bekerja sebagai kepala staff di hotel tersebut.
"Apanya yang berlebihan? Katakan!"
"Bukankan dia sudah bekerja lama di hotel ini, apa harus dihukum juga?"
"Memangnya kamu tidak tahu kesalahan dia hampir merobohkan hotel ini!"
"Tapi pak," rengeknya seraya tergugup. Seperti ada yang tidak beres.
Namun, saat itu Aksel menerima laporan jika kepala staff tersebut ikut campur tangan dalam masalah tersebut.
"Oh paham, ternyata kamu ikut juga pemasarannya, iya?" Aksel menatap kepala staf tersebut dengan tersenyum. Namun lebih menakutkan.
"Eng—nggak, Pak. Saya enggak tahu apa-apa."
"Kenapa gugup?"
Ia terdiam, hingga akhirnya Aksel melayangkan satu pukulan keras di pipi kepala staf tersebut hingga bibirnya berdarah. Ia tak mampu melawan. Setelah pukulan tersebut maka berlanjutlan dieksekusi oleh suruhan Aksel.
Saat Aksel, Anna, dan Edric di hotel tersebut berlangsung cukup lama. Hingga pukul 7 malam akhirnya usai.
"Pulanglah dengan anak itu, saya pulang sendiri," Aksel melangkah pada mobilnya. Setelah membuka pintunya ia teringat sesuatu dan berkata kembali "Anna, masuklah."
"Bukannya Bapak ingin sendiri?"
"Saya suruh masuk, cepat!" dengan cepat Anna bergegas menuju mobil Aksel dan pulang bersamanya.
Aksel menancap gasnya dengan cepat. Tampaknya ia masih kesal karena masalah hari ini. Anna pun tak berani bertanya apapun.
"Kerjamu bagus."
2 kata yang membuat Anna bingung, ia memandangi Aksel. "Maksud Bapak?"
"Kamu enggak dengar saya bilang apa?"
"Oh maaf, saya kurang paham, Pak."
"Besok-besok saya akan sering ajak kamu lagi."
"Hah, kenapa Pak?"
"Karena itu tugasmu."
"Pak, apa boleh saya bertanya?" dengan ragu Anna berbicara namun izin dahulu.
Aksel hanya berdeham mempersilakan.
"Saya paham dengan kasusnya, tapi semuanya apa harus dengan kekerasan ya?"
"Kamu salah bertanya sama orang."
"Tapi kan Bapak sendiri yang menghakiminya dahulu."
"Orang seperti itu tidak akan melunak jika tidak dilawan dulu. Enggak akan mempan dengan bualan apa pun."
"Apa separah itu Pak masalahnya?"
"Tentu! Saya kehilangan banyak pengunjung karena kasus sialan itu."
Anna memijat-mijat dahinya. Masih mencerna semuanya.
"Saya tidak pernah membuat tempat bermain seperti itu."
"Maaf, bukannya Bapak juga mampir ke tempat seperti itu?"
Aksel tertawa ringan seolah meremehkan Anna. "Rupanya memang kamu berani sama saya."
"Maaf Pak, saya hanya penasaran."
"Bermain itu ada tempatnya, saya tidak pernah membuat bisnis dengan permainan seperti itu. Bisnis tetap bisnis!"
Anggukkan pelan dari Anna. Membuatnya perlahan memahami.
Tak lama kemudian akhirnya mereka sampai di dekat rumah Anna. Beruntung malam itu cukup sepi dan tidak ada orang berkeliaran. Anna tutun dengan tangan kosong.
"Anna!"
"Hah? Ada masalah lagi Pak?"
"Bajumu ambil!"
"Hah?"
"Kamu bodoh, atau bagaimana?"
"Saya enggak tahu Pak."
Anna kembali menuju mobil mengambil barang-barang tersebut.
"Ini semuanya pak?"
"Apa kamu nyuruh saya pakai juga?"
"Maaf Pak."
Akhirnya semua tas berisi pakaian itu berada dalam genggaman Anna. Menenteng barang-barang mahal seperti itu ada perasaan yang aneh bagi Anna. Sebab ia tak lernah membeli barang seperti itu apalagi dalam jumlah yang sangat banyak.
"Pak Aksel."
"Apalagi!"
"Apa ini enggak berlebihan?"
"Kalau kamu pakai dalam sehari iya, pakai dihari yang berbeda-beda."
"Bu—kan itu Pak, tapi semua pakaian ini untuk saya, apa enggak berlebihan?"
"Saya tidak pernah main-main dengan apa yang saya lakukan."
"Terima kasih banyak, Pak," Ucap Anna yang hampir menangis tetapi bingung juga.
Aksel tak menjawabnya. Ia pergi meninggalkan Anna. Segera Anna memasuki rumahnya dan cepat-cepat ke kamar. Rasanya memasuki rumahnya seperti maling.
Harus mengendap-ngendap dan hanya malam hari saja.
Anna membuka tas dalam pakaian tersebut. Merapikan dalam lemarinya. Sembari merapikan ia merenungkan apakah yang akan Aksel lakukan padanya.
"Apalagi masalah yang akan datang ya, kenapa Pak Aksel membeli ini semua. Gila sih orang itu," Anna menggerutu ketika merapikan pakaian tersebut.
Ia melihat harga pada baju tersebut, bukan main harganya. Karena pakaian itu juga tidak hanya sepasang melainkan ada 10 pasang dengan yang ia pakai.
Setelah merapikan semuanya Anna bergegas mandi. Usai itu barulah ia beristirahat.
Tok tok!
"Anna," panggil Ibunya dari luar pintu kamarnya.
"Iya?"
"Kamu diantar siapa?"
"Bukan siapa-siapa."
"Kamu akan terus bicara dengan pintu tertutup?"
Enggan sekali rasanya harus bertatap muka dengan Ibunya. Bukan tanpa alasan anna seperti itu. Ia kerap bertengkar.
"Apa Bu?" tanya Anna setelah membuka pintu kamarnya.
"Boss kamu?"
Anna hanya berdeham saja.
"Kenapa tak mampir ke rumah?"
"Untuk apa? Untuk Ibu minta uangnya? Atau Ibu pamerkan?"
"Semuanya."
Anna tidak habis pikir dengan jawaban Ibunya.
"Bu, bisa lebih waras enggak sih? Anna capek Ibu sama Ayah begini terus."
"Lalu kamu mau kami gimana? Mau mati?"
"Apa mati akan buat bahagia? Enggak Bu. Anna cuma minta kalian hidup dengan biasa saja. Harta enggak akan abadi Bu."
Ibunya tertawa seolah hal itu adalah lucu. "Kamu tahu apa soal hidup?"
"Anna tahu usia Anna jauh lebih mudah dari Ibu, tapi Anna capek kalau tiap hari berantem dengan kalian, uang dan uang terus."
"Ah sudahlah! Percuma ngomong sama kamu, buat Ibu darah tinggi saja!" Ibuhya oergi meninggalkan anna di ambang ointu yang kini memijat dahinya, kepalanya pusing. Begitu banyak masalah yang menghampirinya.
Seolah hidupnya tak bahagia. Padahal ia begitu menginginkan kehidupan damai, namun tentu itu tak akan mungkin terjadi.
Anna berbaring memainkan ponselnya. Sebuah pesan dari Gibran, sang kekasihnya. Begitu sennag Anna mendapat pesan itu. Namun belum Anna sempat menjawabnya, Gibran meneleponnya dahulu.
"Iya, Gibran?"
["Kamu di mana sekarang?"]
"Di rumah, belum lama pulang kerja. Kamu di mana?"
["Kamu enggak bisa berhenti dari kerjaanmu?"
Deg!
Sebuah pertanyaan yang membuat Anna terhenyak dan diam seketika.
"Maksud kamu Apa Gibran? Jangan ngaco deh.
["Oke aku ulang, kamu berhenti dari kerjaanmu!"]