Anna masih terdiam. "Kamu dengar apa yang saya bilang kan?" bisik Aksel pada Anna.
Anna berjalan menuju ruang ganti. Kebanyakan warna yang Aksel pilih merupakan warna yang gelap namun memiiliki kesan yang elegan. Setelah mengganti pakaiannya yang berwarna hitam. Modelnya cukup simpel namun sangat apik.
"Harus saya tunjukkan ke Pak Aksel?"
"Iya, Bu. Karena beliau juga yang menyuruh."
"Pak Aksel," Anna memanggil Aksel yang begitu sibuk dengan ponselnya.
Aksel mengamati tubuh Anna dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Tidak memberikan protes apa pun. Lebih tepatnya terperangah.
"Pak Aksel?"
"Oke!"
"Apa perlu saya coba semuanya Pak?"
"Hari ini kamu langsung pakai itu, lainnya silakan rapikan seperti biasa."
Pelayan butik tersebut menunduk dan segera mengemas baju-baju yang Aksel pilih. Anna hanya berpikir baju yang telah melekat pada dirinya saja yang dibeli, namun ternyata salah.
"Ini semuanya sudah siap dikemas, Tuan."
Black card dari dompet Aksel ia berikan kepada pelayan butik tersebut. Dan mengambilnya kembali.
"Bawa semua ke mobil," ucap Aksel seraya berlalu meninggalkan Anna dahulu.
Anna hanya mengikuti perintah Aksel saja, ia membawa tas-tas pakaian tersebut. Menaruhnya pada kursi belakang.
"Pak semua baju yang tadi?"
"Iya, kamu pakai untuk ke kantor maupun ke luar kota."
"Hah! Pak jangan gitu dong, saya nggak bisa bayarnya. Ini mau dicicil dari gaji saya ya Pak?"
"Kamu pikir saya apa? Tukang kredit? Pikiranmu sempit sekali."
"Jadi? Oh untuk Danita dan karyawan inti lainnya ya Pak?"
"Saya kira kamu pintar! Kuliah mahal-mahal tak mengerti juga."
"Ini enggak ada dalam materinya, Pak."
"Semuanya itu milikmu. Jangan pakai baju yang tipis dan hanya itu-itu saja."
"Ini pasti karena kehujanan kemarin ya Pak?"
"Sebelum itu, apalagi terkena hujan semakin terlihat tubuhmu."
Anna menggerutu kesal dalam hatinya.
"Tidak usah kamu ganti dari gajimu, bekerja saja di perusahaan dengan baik."
"Baik, Pak."
Kring!
"Iya Dan, kenapa?"
["Kamu enggak kerja?"]
"Kerja kok, ini sama Pak Aksel soalnya."
["What! Pak Aksel? Kamu enggak diapa-apain kan?"]
"Enggak kok, aman. Aku tutup dulu," Anna menjawab dengan sangat pelan takut terdengar Aksel.
"Rupanya kamu bercerita semuanya sama Danita."
"Maksud Bapak?"
"Atau memang kamu menikmati?"
"Cukup Pak. Saya pusing Kalau Bapak mengungkit itu terus menerus!"
"Makanya kamu jangan pancing saya."
Hanya dengusan kesal yang keluar dari Anna. Tak lama kemudian mereka sampai di kantor.
"Baju-baju itu biarkan saja di sana."
"Tapi nanti ganggu Bapak?"
"Saya kerja di ruangan saya, bukan di mobil."
"Baik Pak, nanti saat jam pulang saya ambil."
Aksel pergi meninggalkan Anna yang masih berbicara. Anna mengehela napasnya dan berjalan mengikuti Aksel dari belakangnya.
"Widih, beda banget kamu, An?"
"Baju ya?"
Danita menganggukkan kepalanya.
"Jangan bilang sama Pak Aksel tadi?"
"Ya gitu."
"Dia jemput kamu? Hah? Beneran?"
"Iya, beberapa kali sih sama dia."
"Waw!" Danita bertepuk tangan.
"Apa sih, Dan. Memang aneh banget apa?"
"Ya iyalah, gila aja enggak. Nih ya sejarah banget kamu dijemput, dibeliin baju, biasanya nih Pak Aksel mana pernah semanis itu, Anna."
"Cuih! Manis? Dari sudut mananya, yang ada pahit! Dia saja kasar, kalau kamu tahu setiap ucapan yang keluar pasti maki doang."
"Ya kalau itu memang sudah ciri khas nya sih, tapi sejarah banget loh An."
"Masa bodoh deh ya, Aku enggak peduli."
Setelah perbincangan yang menyebabkan pro dan kontra akhirnya mereka memulai bekerja.
"Bu, Ibu di panggil Pak Aksel," ucap karyawan yang keluar dari ruangan Aksel.
"Oh iya makasih."
Anna segera masuk ke ruangan Aksel.
"Permisi, Pak, katanya panggil saya ya?"
"Siapkan berkas yang saya suruh 2 hari lalu, ambil bagian proyek hotel Marabella."
"Baik akan saya siapkan, Pak."
"Oh satu lagi, setelah itu kita pergi ke proyek tersebut sama Edric juga."
Anna menunduk paham dan pergi ke meja kerjanya. Beruntung saja semalam proyek itu telah ia selesaikan. Jika tidak, ia akan kalang kabut mengerjakannya. Bukan itu saja, tentunya ia akan habis oleh Aksel.
"Mau ke mana?"
"Ke mana ya, pokoknya ke proyek hotel Marabella itu, aman kok Pak Edric diajak juga."
"Oh syukurlah. Aku ke bawah dulu ya."
Danita pergi ke lantai bawah dahulu untuk mengerjakan bagiannya.
Saat itu masih pukul 11 pagi menjelang siang, Aksel sudah keluar dari ruangannya. Itu artinya mereka akan pergi sekarang juga.
"Edric mana?"
"Kurang tahu Pak, saya belum lihat Pak Edric dari pagi setelah memberikan berkas."
"Saya tunggu di bawah, cari Edric."
"Baik, Pak."
Anna segera mengambil berkas tersebut dan lekas mencari keberadaan Edric. Namun, tak berapa lama ia menemukan Edric di perjalanan menuju lantai bawah.
"Pak Edric," panggil Anna sedikit lega. "Ada apa?" tanya Edric terlihat santai.
"Kita ke proyek Marabella sekarang kata Pak Aksel."
Edric hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja dan berjalan dengan Anna ke lantai bawah. Sampai di sana, rupanya Aksel sudah berada di mobil dan duduk di bagian penumpang namun di depan. Sudah jelas yang akan menyetir adalah Edric. Sedangkan Anna duduk di belakang.
"Di sana aman kan?" tiba-tiba Aksel bertanya pada Edric.
"Cukup aman, tapi yang bagian Mall di Jakarta Selatan kurang aman."
"Apa yang mereka minta?"
"Lahannya aman, tapi pihak Krisnawan menuntut haknya lagi."
Aksel duduk tegap memandangi Edric, "Hak yang mananya lagi? Bukannya segel itu sudah sah?"
"Memang iya, tapi mereka masih mengusut karena ukuran Mall yang akan kita bangun jauh lebih besar dari yang ia pikirkan. Ia berusaha mengusut pemilik tanah agar tak menjualnya."
"Mana bisa begitu! Kan kita sudah tanda tangan dan bayar deal!"
"Masalahnya masih diselidiki, takutnya pemilik tanah tersebut kasih sertifikat yang lain."
"Sekarang di mana berkas itu?"
"Ada di ruangan saya, sejauh ini tampaknya asli. Nanti coba kamu lihat ya Anna."
"Iya Pak."
"Kamu kan anak hukum pasti tahu bagaimana kasus lahan?"
"Sedikit banyaknya saya tahu Pak."
"Tapi ada sedikit masalah lagi, ah kita bahas besok saja. Urus dulu yang di sini."
Rupanya mereka telah sampai di hotel yang akan dituju tersebut. Hotel tersebut jelas mewah dan tampak elegan. Aksel audah turun dahulu dan disapa beberapa orang di sana. Maklum saja, ia orang penting.
"Pak, ini hotel Pak Aksel juga kan?"
"Iya, gimana menurutmu, ini pertama kalinya kamu ke sini kan?"
"Iya, cukup bagus dan mewah Pak. Viewnya juga mendukung."
"Aksel memang pintar, ini sebagian dia yang merancang."
"Merancang?"
"Nanti saja, Anna."
Edric merapikan pakaiannya dan berdiri di samping Aksel. Begitupun Anna yang ramah menyapa orang yang sudah bercengkrama dengan Aksel.
Mereka memasuki lobi dan sudah disambut baik oleh manajer yang di sana.
"Memang aslinya cantik ternyata, wajar Pak Aksel jatuh hati sama sekretarisnya," ejek Rekan kerja Aksel yang bertemu di sana.
Anna tersenyum canggung, sebab baginya itu tidak seutuhnya pujian. Itu seperti bumerang dalam hidupnya.