"Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Luke merasa sangat tercengang.
Raymond pun langsung mendorong tubuh Divya ketika mendengar suara asistennya. Ia juga tidak menyangka bahwa ada Luke di belakang sana. Kedua wajah insan yang sedang dalam keadaan terjerat langsung memucat. Divya pun dengan cepat langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Luke!" jelas Raymond, ia segera membangkitkan tubuhnya.
Luke masih merasa terguncang. "Apanya? Sudah sangat jelas kalian sedang ber—"
Divya segera mematahkan ucapan Luke. "Semua ini terjadi karena kecelakaan. Ini tidak seperti yang sudah Bapak lihat."
"Benar," sahut Raymond, ia pun segera menarik tangan Luke untuk pergi dari sana. "Kenapa kamu datang ke sana tanpa meminta izin dariku?"
"Aku hanya ingin memberitahu kamu bahwa semua perlengkapan sudah selesai aku siapkan." Luke masih menatap wajah Raymond dengan lekat. "Aku juga tidak tahu kalau kalian sedang bermesraan di dalam sana!"
"Argh, jangan ucapkan perkataan itu lagi! Jantungku rasanya mau copot ketika mendengar suaramu tadi. Semua terjadi begitu saja, intinya aku tidak melakukan apapun dengan Divya. Tidak ada niat ber … intinya bukan seperti itu, Luke!" Raymond masih terus menjelaskan kejadian yang sudah terjadi.
***
"Apa yang sudah mereka bicarakan di sana, ya?" gerutu Divya seraya menempelkan telinganya pada pintu pembatas rumah. "Argh, aku tidak bisa mendengar ucapan mereka," lanjutnya.
Secara mendadak pintu yang menjadi topangannya terbuka ke depan. Tubuhnya pun langsung terhempas ke berlawanan arah. Sungguh tercengangnya Raymond ketika melihat wajah Divya yang sudah terjajar di hadapannya. Dengan tatapan menikam, Raymond langsung menarik tangan sekretarisnya untuk segera pergi dari sana.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Raymond merasa sangat kesal.
Divya langsung menggaruk kepalanya. "Hehe, saya hanya tidak sengaja ingin pergi ke sana—"
"Mau pergi atau mau menguping pembicaraanku dengan Luke?" pekik Raymond seraya kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hehe, ingin menguping, Pak. Eh, bukan! Saya ta–ta–tadi mau pergi ke sana," sangkal Divya merasa sangat buncah.
"Jiwaku sudah sangat terguncang melihat tatapan cemasmu itu. Jangan mengingat kejadian memalukan tadi. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi!" Raymond segera memberikan sebungkus makanan cepat saji. "Ini sarapan pagimu. Jangan lupa minum obat setelah makan. Cepat sembuh dan perbanyak istirahat," nasehat Raymond sebelum pergi dari hadapan Divya.
"Baik, Pak." Divya segera mengambil makanan itu.
Netra Divya masih terus meratapi kepergian pria itu. Jantungnya kembali berdetak menjadi tidak beraturan setelah tertangkap basah telah menguping pembicaraan mereka. Dengan langkah yang tertata, ia kembali merebahkan tubuhnya pada sofa yang ada di ruangan tengah. Tangannya pun segera menopang bagian dahi yang sudah merasa berantakan.
"Wajahku sudah menjadi tebal semenjak berada di sebelah Raymond! Apa yang akan Luke pikirkan setelah kejadian tadi? Mau diletak dimana wajahku nanti?" gerutu Divya merasa sangat malu.
Di tempat permainan golf, Raymond malah memilih untuk duduk di kursi penonton. Pikirannya masih belum bisa keluar dari pesona Divya. Luke yang baru saja selesai bermain pun segera menemui sepupunya. Pria berkharisma itu segera memberikan sebotol air mineral kepada Raymond.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Luke dengan serius.
Raymond segera menatap wajah asistennya "Entahlah, aku juga bingung dengan pikiranku sendiri. Ada hal yang tidak perlu aku pikiran. Namun, selalu terbayang dan menjadi beban di dalam benakku." Raymond kembali meluruskan pandangannya. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?"
Luke juga meluruskan pandangannya. "Lakukan sesuai dengan isi hatimu. Apakah hal ini berkaitan dengan sekretaris barumu, Ray?" tanya Luke untuk memastikan.
Raymond langsung tersentak ketika mendengar ucapan Luke. Ia pun segera menyangkal pertanyaan asistennya. Namun, tanpa harus dijelaskan juga Luke sudah mengerti. Pertanyaan yang sudah ia lontarkan hanya ingin memastikan bahwa asumsinya benar. Sangat terlihat dengan jelas dari gelagat Raymond bahwa dirinya sedang memikirkan Divya.
Tepat pukul delapan malam, Raymond dan Luke sampai di kediaman mewah itu. Namun, ada pandangan yang sangat mengusik kedua netra Raymond. Di depan rumah Divya, ia melihat mobil Devan. Dengan langkah yang tergesa-gesa, ia segera masuk ke dalam tempat tersebut.
Divya dan Devan sedang bercengkrama di dalam ruangan tamu pun merasa tercengang melihat kehadiran Raymond. Setelah itu, Luke juga merasakan kakinya ke sana. Kedua netranya sudah sangat liar menatap ketiga insan yang ada di sana. Ia pun kembali berbalik dan memejamkan kedua matanya dengan paksa.
"Bakalan ada perang dunia, nih!" gerutu Luke sembari kembali menatap ketiga wajah yang saling bertaut.
"Eh, Pak Raymond. Ada keperluan apa, Pak?" tanya Divya setelah melihat kehadiran atasannya di sana.
Raymond tidak menggubris pertanyaan Divya. Ia malah berjalan dan duduk pada salah satu sofa yang masih terlihat kosong penghuni. Kedua netranya masih terus menatap Divya dan Devan secara bergantian. Setelah itu, ia malah melebarkan senyumannya secara mendadak. Tentunya hal tersebut membuat Divya dan Devan merasa kelimpungan.
"Dia ini kenapa? Kesambet roh apa? Tadi wajahnya terlihat sangat ketat dan seketika dia tersenyum mereka seperti itu," gerutu Divya di dalam hatinya. "Hehe, Pak. Ada apa, ya? Kenapa Anda malah tersenyum manis seperti itu?" tanya Divya sekali lagi.
Raymond langsung mengerucutkan bibir dan tangannya mulai mengelus dagu. "Kalian berdua sedang apa? Sepertinya sangat asyik bercerita. Cerita tentang apa?" tanya Raymond seraya masih melemparkan senyuman penuh arti.
Devan langsung menundukkan pandangannya untuk menyembunyikan gelak tawa. Luke juga demikian, ia secepat mungkin beralih dari sana untuk melampiaskan maksud hatinya. Tidak lama setelah kepergian Luke, Raymond mulai jahil mengambil beberapa cemilan yang ada di atas meja. Devan pun segera menggelengkan kepalanya dengan sekilas.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo, lanjutkan pembahasan kalian tadi," gumam Raymond dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.
Divya langsung menelan salivanya dan melirik ke arah Devan. Tidak ada ucapan apapun yang ingin ia katakan pada saat itu. Karena tidak mendengar jawaban apapun, akhirnya Raymond bangkit dan berniat untuk pergi dari sana. Setelah keluar, ia malah kembali dan menempelkan telinganya di depan pintu rumah. Tanpa ia sadari, kelakuan konyolnya itu terlihat dengan jelas oleh netra Devan.
"Haha, Raymond! Tingkah konyolmu membuat diriku ingin tertawa sekencang-kencangnya. Kenapa kamu tidak mengatakan yang sejujurnya saja? Aku sudah tahu kalau kamu merasa cemburu ketika aku sering berdekatan dengan sekretaris cantikmu ini, 'kan? Ku itu tidak bisa membohongiku, Ray!" batin Devan.
Divya masih terus menatap wajah pria yang ada di sampingnya. "Devan kenapa terus teesenyin seperti itu? Dia sedang melihat apa?" tanya Divya di dalam benaknya. "Pak Devan?" panggilnya kemudian.
"Eh, iya. Ada apa, Div?" sahut Devan merasa terperanjat.
"Sudah malam, Pak. Bapak tidak mau pergi beristirahat?" alih Divya seraya melemparkan senyuman manis kepada Devan.
"Hm, aku sampai melupakan hal itu. Kamu yakin mau tinggal di sini sendirian? Tidak mau aku panggilkan pelayan pribadi?" tawar Devan sekali lagi.
"Tidak, terima kasih banyak, Pak Devan. Saya juga masih sanggup membersihkan rumah ini sendirian, Pak." Divya kembali memberikan salam hormat.
"Oke, baiklah. Kalau begitu aku pulang dulu, ya. Kamu jangan lupa mengkonsumsi buah dan sayuran!" Devan langsung berdiri dan beranjak dari sana
"Baik, Pak," jawab Divya seraya mengikuti kepergian pria itu dari belakang.
JEGLEK!
Kedua mata Divya langsung membuka ketika pintu rumah sudah terbuka lebar.