"Tolong tanda tangan di sini."
Bara meletakan map biru beserta tinta hitam di atasnya.
Sandra yang baru selesai menata rambutnya menoleh. Ucapan Bara terasa panas di telinga. Mengalahkan catokan yang baru saja ia letakan.
"Apa ini?" Sandra mengangkat map yang terlihat malang. Rasa penasarannya lebih kuat. Tanpa mendapat jawaban apa-apa dari bibir Bara, dia membuka map misterius tersebut.
"Surat perceraian?" Sandra menatap heran apa yang baru saja ia buka. Mata bulatnya menoleh ke arah suaminya yang telah bersama selama tiga tahun belakangan. Pandangannya beralih dari map ke Bara, begitu seterusnya.
"Apa maksudnya?" Sekuat tenaga ia tidak mengeluarkan tangis.
"Ya. Aku mau kita bercerai!" Suara Bara dingin, tangannya terlipat di balik saku celananya.
"Oh." Hanya kata itu yang keluar dari bibir manisnya.
Dengan sigap, Sandra menarik pena yang sedari tadi tak tersentuh. Membuka tutup dengan giginya. Ia lakukan semata-mata mengurangi kegugupannya. Dengan hati yang masih tak karuan, ia berhasil membubuhkan tandatangan di atas namanya.
"Ini." Sandra memberikan map kepada suaminya-yang sekarang sudah menceraikannya.
"Terima kasih—" Bara menerima map yang Sandra sodorkan. "—em mari kita rayakan perpisahan kita. Makan malamlah denganku."
Sandra hanya bisa mengangguk. Tanpa melihat ke arah Bara, dia pura-pura sibuk merapikan perkakasnya.
"Oh ya, apartemen ini menjadi milikmu. Aku juga masih rutin mengirimkan kamu uang selama kamu belum mendapat pekerjaan," ucap Bara demi membesarkan hati Sandra.
"Terima kasih Tuan."
Bara mengangguk, dia meninggalkan kamar Sandra. Langkah tegapnya langsung melesat ke arah pintu keluar. Dia meninggalkan Sandra seorang diri.
***
Isak tangis tak dapat dia bendung lagi. Sandra menangis sejadi-jadinya. Perpisahan yang selalu menghantui bayangannya, kini telah sampai padanya.
Tubuh rapuh itu harus kembali patah hati. Dia telah resmi dicerai. Dalam kondisi ... Hamil.
"Jangan bersedih Nak, kita lalui ini bersama. Okay!" ucapnya sembari mengelus perutnya.
Bara tentu belum tahu kondisinya. Dia bahkan baru tahu kemarin malam. Saat dirinya mengeluhkan pusing dan mual yang begitu hebat datang tiba-tiba. Tanpa mengecek kalender bulanannya, dia pergi ke apotik. Niatnya hanya membeli obat pereda mual dan pusing. Namun, setelah menceritakan ciri-cirinya yang ia alami, apoteker malah memberinya tespek. Benar saja dia garis dua.
"Riasan ini untuk memberikan kabar bahagia ini kepada Papamu Nak. Sayangnya dia lebih memilih berpisah. Tak mengapa, kau masih ada Mama. Papamu berhak bahagia Nak. Kita pun akan demikian."
Sandra telah menuntaskan air matanya. Dia tak mungkin berlarut-larut memikirkan kesedihannya. Lebih baik dia bersiap-siap. Penerbangan ke Kanada akan dimulai tiga jam lagi.
Tadinya dia berniat membatalkan kuliah strata duanya. Berita kehamilan inilah menjadi penyebab terberat. Sayang, rencananya harus kembali ke awal. Dia akan pergi meninggalkan Indonesia. Meninggalkan Bara-suaminya, meninggalkan semua yang ada di sini. Termasuk kemewahan yang didapat saat menjadi istri Bara. Juga ada hal yang sulit baginya, pindahnya ia, itu berarti meninggalkan makam ibu-bapaknya.
Sandra akan pergi jauh.
***
Bandara Soekarno-Hatta tampak lenggang. Wanita berpakaian kasual dengan cardigan hitam, celana jeans itu menggenggam erat tiket penerbangan di tangan kanannya. Sementara di tangan kiri, jemarinya sibuk menyeret koper besar miliknya.
"Dari jadwal seharusnya dua jam lagi."
Pergelangan tangannya tercantel jam tangan bertahtakan emas dan berlian dari seri datejust rolex. Seketika dia ingat benda mewah itu pemberian dari Bara di hari ulang tahunnya. Sebelum berpikir yang tidak-tidak, kepalanya kembali menggeleng kuat, memilih melirik jarum jam mewah yang menunjukkan pukul lima sore. Penerbangannya pukul tujuh malam. Masih ada banyak waktu untuknya.
Sandra melipir ke stand restoran khas negeri paman Sam. Memilih mengisi perutnya yang memang sudah keroncongan. Dia bahkan tak ingat kapan terakhir makan. Mungkin kemarin malam. Jika tak ingat ada benih yang tengah tumbuh, sudah barang tentu Sandra lebih memilih memendam rasa laparnya.
Kali ini dia tak bisa egois. Janinnya tidak bersalah. Kesalahannya dengan memilihkan ayah untuk anaknya.
"Bukan harus diratapi 'kan Nak. Adanya kamu bukan kesalahan. Jadi tak elok rasanya menghukummu. Lebih baik menikmati hari dengan dirimu yang akan terus tumbuh."
Sandra kembali mengelus perutnya. Masih belum terlihat memang. Dirinya masuk kategori orang yang ramping. Dengan tinggi 170 cm dan berat 60 kg, menjadikannya memiliki badan yang bagus.
Kekehan ringan terucap di bibir manisnya. "Aku tak sabar bertemu denganmu."
Pelayan mengantarkan menu pesanannya. Restoran tak terlalu ramai. Kondisi yang sudah malam membuatnya lenggang. Meja-meja banyak kosong. Membuat Sandra lebih nyaman untuk menghabiskan makanannya.
***
Semenjak meninggalkan apartemen Sandra, Bara tak henti-hentinya tersenyum. Dia menggenggam kertas di tangannya riang. Tak sabar siang akan bertemu malam.
Acara lamarannya untuk Sandra sudah matang sempurna. Dia akan melakukannya se-perfect mungkin. Memberikan kesan mendalam. Untuk kedua kalinya dia akan melamar Sandra. Menjadikannya istri yang sepenuhnya.
Bara tahu, selama ini Sandra hanya menganggap dirinya suami yang membayar atas tubuh Sandra. Melayani Bara sebatas melakukan di atas ranjang. Selebihnya dia tidak mendapat apapun. Bara tidak terbuka ke publik perihal pernikahannya. Orang lain hanya mengetahui dia telah menikah, tanpa tahu siapa wanita yang beruntung itu.
"Aku akan melamarnya. Dia berhak mendapatkan itu semua. Lamaran terbaik, cincin mewah, dan nanti pesta resepsi yang megah. Sandraku harus bahagia. Aku akan buktikan rasa cintaku yang tumbuh sempurna untuknya," ungkap Bara gembira. Tak pernah dia seantusias ini menanti malam.
Sudah cukup tiga tahun ini dia hanya bisa memendam rasanya sendiri. Kali ini dia akan ungkapkan. Rasanya nyata. Kebersamaan mereka, malam-malam panasnya, semua adalah cinta yang terpendam tanpa pernah terucap. Dan Bara ingin, Sandra mengetahui hal itu.
Skye Bar & Restaurant akan kembali menjadi saksi untuk mereka berdua. Di restoran itulah, keduanya bertemu.
Seakan Ingin mengulangi hal yang sama. Bara sengaja memesan private restoran tersebut. Kejutan untuk calon istrinya nanti.
Restoran yang berada di puncak gedung berlantai 56 tersebut, sudah didesain khusus untuknya. Meja dan kursi yang tak perlu sudah tersingkir. Hanya menyisakan di tengah untuk mereka.
Sekelilingnya tertancap lilin-lilin kecil yang awalnya suasana dibuat redup dengan Chandelier yang menggantung. Dengan bantuannya, maka lebih hidup dan romantis.
Bara datang terlalu awal. Bahkan suara dari pengeras tempat ibadah baru saja selesai berkumandang. Koki-koki juga belum selesai menjalankan tugasnya. Dia datang hanya untuk mengecek kembali. Persiapan sempurnanya akan terwujud.
Tanpa terasa, waktu berjalan cepat. Jarum jam panjang bergerak di angka sepuluh. Sementara yang pendek, merangsek di angka tujuh. Kurang lebih sepuluh menit lagi kekasihnya tiba.
"Ah Sandra pasti sudah di jalan. Aku tak sabar melihat wajah cantiknya tersipu." Bara mengulum senyum membayangkan hal apa yang akan terjadi.
Tepat pukul tujuh malam, para pemain musik sudah berdiri rapi di barisannya. Not yang berjumlah tujuh tersebut telah tersusun. Membunyikan bunyi-bunyian indah nan romantis.
Sayang, si kekasih belum juga sampai.
"Sandra belum datang? Apa macet?"
Bara mulai gelisah. Dia berkali-kali mengelap wajahnya. Takut terjadi sesuatu dengan kekasihnya.
Kegelisahannya semakin menjadi. Puncak dari segala rencananya sudah di depan mata. Susunan kata sudah menguap di atas kepalanya.
Bara tak bisa lagi mencegah, saat otomatis orang suruhannya melemparkan kembang api yang kini ia nikmati.
Menikmati itu dalam kehampaan.
Ini salahnya. Kekasihnya memilih pergi. Bahkan tanpa menyetujui salam perpisahan dari Bara. Sandra memilih tidak datang untuk makan malam dengannya.
"Ini yang kau mau ya San? Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Semoga kau bahagia terlepas dariku."
----