Sebuah Chandelier menggantung indah di tengah ruangan yang begitu luas. Cahyanya berpendar kemerlap menyaingi bintang di luar sana. Begitu mahal dan mewah, dengan kristal yang menjuntai.
Ruangan ball room hotel dipermak sedemikian rupa. Gelas-gelas kaca, beberapa potong kue menghiasi piring-piring kecil yang ditata sebaik mungkin. Berpasang-pasang kaki sibuk menjelajah ke setiap sudut. Menikmati suguhan yang tengah dihidangkan.
Kemewahan di pesta membuat seorang wanita sedikit grogi karenanya. Di tangan kirinya tergandeng satu tangan mungil. Entah mengapa, anaknya begitu rewel malam ini dan memaksa ikut sang ibu.
"Sky, Mama gerogi nih. Orangnya yang mana ya?" gumam Sandra pada anak kecil di samping kirinya. Genggaman tangannya sudah berkeringat sejak tadi.
"Mama nih kebiasaan. Yang tahu kerjaannya kan Mama. Malah bingung sendiri," protes Sky.
Sandra hanya bisa menghela napas berat. Mrs. Pamungkas tidak menyebutkan nama pria yang hendak ia temui. Hanya menyebutkan ciri-cirinya saja. Satu lagi kebodohan yang Sandra miliki. Rasanya ia ingin sekali kembali ke Toronto dan memulai bangku perkuliahan kembali.
"Mama bisa kan telpon Bos Mama dan tanya? Begitu saja dibuat pusing."
Mendengar saran anaknya, Sandra menampar dahinya sendiri. Bukankah ia memiliki nomor ponsel orang yang akan ia temui? Mengapa tak berpikiran untuk menelponnya?
"Kau benar Sayang. Duh, makin cinta deh sama anak Mama." Sandra menoel pipi Sky, yang langsung ditepis kasar si empunya. Membuatnya terkekeh pelan.
"Mama mau telpon dulu ya."
Keningnya berkerut saat membaca deretan angka yang tampak tak asing di otaknya. Napasnya memburu dengan membesarkan hati agar pikirannya tak menjadi kenyataan.
"Halo ...."
Sebuah suara yang sangat familiar dan ia rindukan terdengar. Begitu lembut membelai telinga Sandra yang begitu haus akan kehadirannya.
"Hanya suara halo Sandra. Ada begitu banyak aksen dan dialek di muka bumi ini. Belum tentu dia," lirih Sandra dalam hatinya.
"Halo. Siapa di sana? Saya sedang sibuk dan jangan membuang waktu. Jika tidak ada yang penting—"
Langkah berat terhenti saat mereka berdua bertatap. Sama-sama memegang ponsel, sama-sama pula tangannya jatuh ke sisi badan.
Tatapan mata yang sama. Beningnya raut muka itu tak pernah berubah.
"Sandra?" gumam Bara begitu lirih.
"Oh hai. Jadi klien Mrs. Pamungkas itu Anda ya ... Pak Bara."
Sandra berkata canggung pada sosok di depannya.
Begitu juga Bara. Kepalanya menggeleng demi apa yang tersaji di depan mata. Pandangannya juga terusik akan kehadiran bocah dengan tuxedo hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya.
Mata mereka beradu. Sama-sama bisa berkaca pada retina mata yang sama persis.
"Ini?" Bara menunjuk pada bocah kecil yang juga terdiam memperhatikannya. Ada perasaan tak asing di hati Sky kala menatap Bara.
"Eh, maaf saya bekerja bawa anak. Dia tidak ada yang jaga." Sandra lagi-lagi salah tingkah dengan keadaan yang terjadi. Biarlah dia dianggap tak profesional dan dipecat saat ini juga.
"Wah Pak Bara sudah hadir. Kok gak masuk Pak?" Seseorang menepuk pundak Bara. Tertawa ramah mencairkan ketegangan yang terjadi.
"Wah Pak Bara bawa anak—istri, tumben sekali. Gak dikenalkan ke kita-kita nih."
Baik Bara maupun Sandra hanya bisa terdiam. Bahkan Sky dengan kemampuan bocahnya hanya bisa mengangkat bahu. Pertanda tidak mau ikut campur urusan orang dewasa.
***
"Bisa jelaskan Sandra?"
Saat ini mereka bertiga melingkar dalam meja makan yang sama. Bara memutuskan memboyong ketiganya ke apartemen yang disewa Sandra. Akan dibawa ke Vila miliknya, Sandra dengan keras menolak. Mau tak mau, Bara mengikuti keinginannya.
Tatapan Bara beralih dari Sky dan Sandra. Kendati sudah tahu Sandra hamil dan memiliki anak, tapi rasa ini sungguh berbeda. Sky betul-betul memiliki kemiripan yang hampir 80 persen seperti dirinya. Bola mata yang sama, warna rambut yang dominan hitam, tatapan yang tajam, hidung bangir dan bibir sedikit tebal. Benar-benar Bara versi mini.
"Yah kau bisa lihat sendiri kan. Tujuh tahun yang lalu benihmu berhasil menciptakan dirinya. Sky dia, pria yang separuh membentuk dirimu."
Bara dan Sky sama-sama menekuk kening mereka. Penjelasan macam apa yang sedang diucapkan Sandra.
"Jadi benar dia anakku? Kenapa kau tak beri tahu?"
Bara sebisa mungkin menahan amarahnya. Bukan napsu amarah ke Sandra, melainkan kepada dirinya. Betapa bodohnya dulu ia sempat meragukan Sky.
"Ya begitulah. Lagipula dulu kita sudah bercerai. Jadi ya itu anakku bukan anakmu."
Bara merasakan jantungnya teriris. Dengan santainya Sandra menjawab apa yang menjadi kesalahannya di masa silam.
"Siapa namamu Sayang?" Bara berkata lembut pada anak laki-laki di depannya. Amat begitu berdosa ia tak mengenali buah hatinya sendiri.
"Sky," jawabnya singkat.
"Sky, maafkan Papa atas kesalahan di masa lalu. Apa kau bersedia hidup dengan Papa Nak?"
Sky memandang Bara dengan raut yang sulit diartikan. Pikiran anak-anak seharusnya begitu polos. Tetapi berbeda dengan Sky, dirinya seperti menyimpan banyak teka-teki yang sulit dipecahkan.
"Jangan paksa dia Bara. Biar bagaimanapun kau hanya orang asing untuknya." Sandra berujar begitu emosi. Bara sendiri sampai merasakan getaran di setiap kata yang terlontar dari bibirnya.
"Maafkan aku. Mohon berikan aku kesempatan untuk menebus semuanya."
Bara tanpa sadar meneteskan air matanya. Rasa penyesalannya terasa sampai ke tulang. Meresap dan sulit sekali keluar. Rasa bersalahnya semakin besar, tatkala Sky sama sekali tak merespon dirinya.
"Ma, bolehkan aku tidur dahulu? Rasanya mataku amat begitu berat," ucap Sky pada Sandra yang masih mematung. Bahkan butuh sekian detik untuknya tersadar akan perkataan anaknya.
"Ah baiklah Sayang. Apa kau mau Mama temani dahulu?"
Sky menggeleng lemah. Terbiasa hidup dengan budaya luar negeri, membuatnya tak suka ditemani saat tidur. Berbeda dengan banyak tipikal anak-anak yang suka ditemani sampai mereka terlelap.
"Baiklah. Selamat malam Sky. Mimpi indah." Sandra mengelus pucuk kepala anaknya. Kecupan singkat mendarat di ujung dahi Sky.
"Aku sudah besar Ma. Risih sekali masih dicium seperti itu." Sky mendorong wajah ibunya perlahan. Membuat Sandra terkekeh. Anaknya selalu merasa sudah dewasa. Berbeda dengan Sandra yang selalu menganggapnya anak bayi.
Sky turun dari kursinya dan berlari kecil menuju kamarnya. Meninggalkan dua orang dewasa yang masih menegang otot lehernya.
"Pemandangan yang manis sekali. Dan ... aku kehilangan masa itu sekian lama." Bara semakin memperdalam kepalanya. Menunduk pasrah menyesali tingkah buruknya.
"Tidak perlu menyesal. Kau sudah melakukan hal yang benar menurutmu di masa lalu. Tak perlu mengingatnya lagi."
Bisa dilihat segaris senyum yang terukir di bibir Sandra. Membuat hati Bara sedikit lapang.
"Ngomong-ngomong ini sudah malam. Aku besok harus bangun pagi bekerja. Kau pun akan melakukan hal yang sama bukan? Jadi ... bisakah kau pulang?"
Bara mengangkat kepalanya. Terkekeh dengan perkataan formal Sandra yang terasa aneh di telinganya.
"Tidak. Aku akan menginap di sini. Jangan protes."
Belum sempat Sandra mencegah, Bara sudah lebih dulu berdiri dan berjalan santai menuju kamar utama. Tempat Sandra melepas lelah.
---