Baru saja masuk ke dalam kamarnya. Pemandangan di depan matanya sungguh membuat hati berdesir.
Bara dengan wajah lugunya telentang tidur di atas kasur milik Sandra. Mengingatkannya akan masa lalu saat mereka masih menjalin ikatan suci.
"Astaga, kau masih sama saja manisnya," gumamnya lirih.
Dengan hati-hati, ia terbaring di samping Bara. Memandangi wajah yang sebenarnya amat ia rindukan.
Perasaannya kali ini tidak menentu. Di sisi lain rindu, di sisi yang lainnya kecewa.
Orang yang ia andalkan selama ini membuangnya begitu saja dengan janin yang sudah tumbuh di rahimnya. Belum sempat memberi tahu, dokumen cerai telah lebih dulu ia dapatkan.
Hati wanita mana yang tidak hancur.
"Aku tahu aku tampan. Aku tahu kau rindu. Tidak usah malu, kelaminku masih milikmu."
Tanpa malu Bara mengatakan hal tersebut. Membuat Sandra ingin sekali mengutuk mulut songongnya.
"Ish ... masih ada nyali rupanya," sungutnya tak acuh.
Dia membaringkan tubuh ke sisi yang lain. Memeluk guling dengan menekuk kakinya.
"Kenapa memangnya? Benar kan? Aku tahu kau masih mencintaiku Sand. Tentu sama sepertiku yang tidak bisa berpaling darimu."
Suara serak Bara mengacaukan pikiran Sandra. Matanya terbuka lagi setelah berusaha ia paksa terpejam. Sentuhan halus merambat di punggung miliknya.
"Bara ...."
"Ya. Aku tahu kau akan sulit terpejam. Menghadaplah ke sini. Aku akan melelapkan tidurmu. Atau jika kau mau, aku bisa membuatmu sibuk dahulu."
Godaan Bara terasa mengganggu Sandra. Bukan lantaran dia tertarik dengan tawarannya, tapi akibat dari perbuatan itu sendiri.
Sandra tidak mau terjerat dalam hidup yang sama.
Tidak. Meski sangat ingin sekali pun, saat ini telah ada Skylar yang sangat butuh kasih sayangnya. Dia tidak boleh lemah hanya karena mantan suami.
"Tidurlah di sini. Aku akan menemani Sky," ujar Sandra dingin.
Kakinya telah menapak lantai. Bersiap meninggalkan Bara dengan segala kerumitannya.
"Apa tidak ada kesempatan kedua untukku Sand?" gumam Bara yang masih terdengar jelas.
"Ya. Tidak ada," sahut Sandra tak acuh.
Bara mengembuskan napas berat, "kita masih suami istri," serunya.
Ungkapan Bara membuat bola mata Sandra terbuka lebar. Bagaimana bisa dengan tanpa beban Bara mengatakan hal begitu.
Dia berbalik badan melihat keseriusan di balik wajah dingin Bara. Terlihat jelas lelaki itu tidak sedang bergurau.
"Kau mabuk di pesta tadi Bara. Aku akan siapkan susu untukmu."
Tangan Sandra lebih dulu digenggam erat. Diteruskan dengan pelukan yang melingkar di pinggangnya.
"Aku tahu kau kecewa dengan kebodohanku. Bisakah kuperbaiki. Jangan pergi Sand."
Sandra tidak mampu berkata-kata. Hatinya teremas mendengar nada memohon di setiap deru napas Bara. Pikirannya sedang kusut. Dia tidak ingin mendengar apapun lagi.
"Lepaskan aku Bara."
Rongrongan Sandra menyakiti hatinya. Begitu marahnya Sandra padanya hingga tak mau ia peluk.
Bara pasrah dengan melepaskan tubuh indah itu dari pelukannya. Dia memilih mengalah malam ini. Membiarkan Sandra melanjutkan jejak kakinya keluar dari kamar.
Sepeninggal perempuan itu, dia meremas rambutnya. Kesalahannya memang fatal. Belum lagi seseorang yang selalu memprovokasinya untuk tidak mempercayai Sandra.
Sudut matanya menangkap benda pipih di atas jas mahalnya. Dia menggenggam ponsel dan mencari nomor yang tak asing lagi.
Satu kali panggilan ditolak.
Dua kali ditolak.
Tiga kali ditolak.
Bara menggeram marah. Dia melempar asal ponselnya. Pantatnya mendarat diujung ranjang. Kesal bukan main dipermainkan oleh keadaan.
"Ayo berpikir Bara. Dapatkan Sandra kembali atau tidak usah hidup sekalian," gumamnya putus asa.
***
Lelehan asin terjun bebas dari kedua bola matanya. Memandang wajah damai puteranya yang tengah tertidur, ada rasa sakit dan bahagia yang datang sekaligus.
Paras Sky mirip ayahnya. Bagaimana mungkin Sandra bisa melupakan Bara secepat itu, jika sehari-hari dia seolah berdekatan dengan Bara versi kecil.
"Tidurlah Ma. Mau sampai kapan menangisi pria tua itu."
Masih dengan posisi terpejam, Sky berkomentar pada ibunya. Dia tahu Sandra masuk ke kamarnya dan menangis saat melihat dirinya. Hal yang selalu ia sesali kenapa bisa hadir di tengah-tengah mereka.
"Kau belum tidur? Atau terbangun dengan hadirnya Mama?" sahut Sandra. Tak lupa dia menghapus air matanya. Tidak ingin dilihat lebih banyak lagi oleh Sky.
"Aku belum tidur," ucap Sky masih menutup mata.
"Ah mengapa Sayang? Kau kesulitan tidur? Mau Mama bacakan dongeng?"
Tanpa menunggu jawaban, Sandra menunju deretan buku yang tersusun rapi di lemari. Mengambil satu yang sekiranya bisa dia baca untuk anaknya.
"Nah mari Mama bacakan cerita untukmu. Em Kancil dan Rusa—"
"Aku bukan anak-anak Ma," protes Sky lebih dulu.
"Yang bilang siapa? Mau kau berusia enam puluh tahun, kau masih anak-anak Mama," sahut Sandra tidak mau kalah.
"Ck."
Sky berganti posisi tidur dari telentang menjadi ke samping. Punggungnya menghadap Sandra. Kelihatan sekali tidak suka Mamanya mengatainya anak-anak.
"Astaga, kau merajuk Sky? Please deh, Mama hanya bergurau."
Tidak ada sahutan dari Sky. Bunyi napas teratur terdengar pertanda ia telah tidur. Sandra mendesah lega. Anaknya memang tipikal yang mudah tidur, mudah juga terbangun. Tidak sulit menidurkan dan tidak sulit juga membangunkan.
Dia melepatakkan buku yang belum sempat ia baca ke atas nakas. Posisinya masih sama, duduk dengan memandang punggung Sky. Tidak mudah pasti meyakinkan anak ini.
"Menurutmu bagaimana Papamu Sky? Apa kau suka padanya? Apa kau malah membencinya?"
Sandra bergumam lirih. Sepanjang pertumbuhan Sky, dia hanya bertanya papanya sebanyak dua kali. Saat berusia tiga tahun dan saat lulus taman kanak-kanak. Selebihnya anaknya terlihat biasanya saja. Tidak ada yang tahu hatinya.
"Mama tidak tahu apa kau merindukan sosoknya atau tidak. Kau tidak pernah bertanya akannya. Selalu Mama yang cerita."
Air mata yang sudah kering nampak menyala lagi. Sandra benar-benar rapuh, disaat justru dia telah bangkit. Kehadiran Bara mengacaukan rencana semula.
"Papamu minta kembali. Jika kau mau, Mama akan menerimanya. Mama tidak boleh egois untuk masa depanmu, bukan? Kau butuh Papa. Meski kau tidak pernah bertanya."
"Selamat tidur anak Mama. I love you."
Sandra menutup curahannya dengan mengecup kening Sky. Dia mengendap perlahan agar tidak menimbulkan suara. Dia memilih tidur di ruang tamu saja. Takut puteranya tidak akan nyenyak jika masih ada dirinya.
"Berhenti menyebut aku adalah alasan. Ada atau tidak sosoknya, aku baik-baik saja."
Sky bergumam begitu pelan. Dia belum sepenuhnya tidur. Hanya pura-pura agar tidak mendengar cerita bodoh yang akan ibunya dendangkan. Ia mendengar semuanya. Curhatan Sandra yang tampak bimbang memilih langkah.
Hal yang perlu ia sesali, kenapa namanya selalu muncul dalam setiap keputusan yang hendak mamanya perbuat. Sky membenci hal tersebut. Karena ia Sandra menderita. Dia tak mau menjadi duri dalam hidup perempuan istimewa yang sudah sudi melahirkannya.
***