"Tidurmu menyenangkan Sky?"
"Em."
"Kau akan ke sekolah? Papa antar ya."
"Em."
Bara hanya tersenyum mendengar tanggapan dingin dari anaknya. Dia melirik Sandra yang tidak bereaksi apa-apa. Matanya tampak bengkak. Kemungkinan karena tidak tidur atau lantaran menangis semalaman.
"Matamu tampak bengkak, kau sakit San?" ujar Bara menatap istrinya.
"Bukan urusanmu," jawab Sandra dengan ketus.
Bara hanya bisa meringis pilu. Tidak mudah meyakinkan anak dan istrinya akan kehadiran dirinya. Diterima di tengah mereka saja sudah syukur.
"Kau akan bekerja Sandra?"
"Bukan urusan anda Tuan Bara. Sebaiknya anda selesaikan sarapan, lalu segera bergegas." Sandra memutar bola matanya jengah. Mendadak tensinya naik tinggi hanya lantaran melihat Bara pagi-pagi begini.
Meski bajunya masih sama seperti semalam, ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Hal itu yang membuatnya kesal. Bagaimana Bara bisa berada di sini, tanpa kekurangan yang berarti.
"Mama tunggu di mobil Sky. Jangan lama-lama. Kunci pintunya!"
Sandra meletakan potongan roti yang masih setengah. Selera makannya menghilang sudah. Tidak seperti biasanya tidak menyisakan makanan. Teringat dulu, betapa susahnya ia mendapatkan asupan nutrisi.
"Sandra ... kita bisa pergi bersama." Bara hendak menyusul Sandra yang berjalan tergesa. Sebelum disahuti Sky dengan amat menyiksa.
"Mama sedang datang bulan. Sebaiknya Om tabahkan hati. Ayo Om, aku hampir telat," ucap Sky memukul telak Bara.
"Ah iya, tentu saja Nak."
Dengan tergesa, Bara menyusul kedua ibu dan anak yang sudah berjalan cepat. Berlari kecil agar tidak sampai tertinggal lift, atau harus menunggu sesi selanjutnya. Tentunya memakan waktu lebih lama.
Setibanya di basement, dia langsung mencekal pergelangan tangan Sandra. Memintanya untuk ikut di mobil yang sama.
"Demi Sky, aku ingin memulai dari awal." Bagitu ujarnya.
Sandra hanya menghela napas pasrah. Terlihat begitu polosnya mata Sky menatap mereka berdua yang sedang berdebat.
Dia menutup pintu mobil dan ikut ke mobil Bara. Duduk di depan dengan muka ditekuk. Setidaknya meski tidak menerima Bara kembali, jangan sampai terlihat pertengkaran di depan Sky.
"Hari ini mata pelajaran apa Nak?" tanya Bara kepada anaknya untuk mengisi keheningan.
Sky hanya melirik sekilas, tidak berniat menanggapi pertanyaan ayahnya. Yang dibalas desahan putus asa dari Bara. Tampaknya usahanya nanti akan begitu sulit.
"Di sini saja Om," ujar Sky saat mobil telah masuk di kawasan sekolah. Belum sampai di depan pintu gerbang, Sky sudah menghentikannya.
"Loh ini masih jauh Sky," ucap Bara tidak terima.
"Tidak apa-apa sekalian menunggu teman."
"Tidak ... tidak. Papa antar sampai gerbang."
Sky hanya mendesah malas. Bara sama sulitnya dengan dirinya. Tidak bisa dibantah. Lagi pula ini semua juga demi keamanan Sky.
"Kau yakin sampai sini saja Sky."
Mobil sudah tepat di depan gerbang Global School. Bara ingin sekali mengantarkan sampah masuk.
"Ini sudah terlalu dekat Om," sahut Sky.
"Ma, Sky berangkat dulu ya," lanjutnya pada Sandra sembari mencium tangannya.
"Iya, Mama tidak turun ya."
Sky hanya mengangguk, dia melirik Bara sekilas. Pintu mobil terbuka. Sebelum turun, dia berterima kasih pada Bara.
"Terima kasih Om. Bye."
Bara hanya bisa mengangguk. Masih diingat ada dirinya saja dia sudah bersyukur. Dia tidak bisa berharap lebih.
"Sky butuh waktu," ucap Sandra tiba-tiba. Dia sedikit paham apa yang membuat Bara gelisah. Sikap dingin Sky akan sulit baginya.
"Ya aku tahu. Aku harap tidak akan lama San. Kalian berdua akan kembali bersama denganku."
"Memangnya kapan kita bersama? Em maksudku, kau dan Sky?"
Pukulan telak didapatkan Bara lewat perkataan Sandra. Sepertinya pagi ini akan dilalui Bara dengan berat. Ibu dan anak itu begitu kompak memberinya pelajaran berharga.
Ini memang salahnya, tidak seharusnya dia mensia-siakan kebahagiaan yang dulu sempat diraihnya.
"Kau lupa, Sky tercipta dari benihku. Jika dibanding denganmu, dia hidup lebih dulu di dalam organ vitalku," jawabnya dengan wajah tersenyum. Terlihat menggoda Sandra yang langsung cemberut.
"Ya hanya sekedar benih. Itu juga membuangnya tanpa perasaan," ujar Sandra tidak terima.
Memangnya berapa lama sperma bisa hidup di testis? Hanya sekitar 74 hari saja, atau sekitar dua setengah bulan sampai tiga bulan. Masih menang Sandra yang mengandung Sky selama sembilan bulan.
"Mana mungkin aku menghamili perempuan tanpa perasaan? Ya jelas aku mencintaimu, maka kutitipkan ia padamu," bantah Bara tidak mau kalah.
"Ck, hanya dititip. Itu sudah jadi. Emang aku tempat penitipan apa."
Bara terkekeh geli mendengarnya. Paling tidak sikap Sandra jauh lebih baik dibandingkan mendiamkannya.
"Oh ya kau kerja jadi asistennya Mrs. Pamungkas kan?" ujar Bara mengalihkan perhatian.
"Em."
"Kau bisa berhenti dari sana dan fokus pada Sky."
"Permisi Tuan Bara. Jika hamba tidak bekerja, bagaimana menghidupi diri hamba dan anak? Ngepet?"
Bara tertawa cukup keras. Hanya bersama Sandra dia tidak pernah bersikap kaku selama ini. Keceriaannya telah kembali tanpa ia sadari, hanya karena celetukan aneh Sandra.
"Ya bukan begitu. Kan ada aku. Aku bisa menghidupi kalian dan calon adik Sky." Bara memutar mata menggoda ke arah Sandra. Yang ditanggapi raut jijik ingin muntah.
"Percaya diri sekali anda."
"San, percaya padaku, please."
Sandra hanya melambaikan tangan. Bertepatan juga dengan matinya mesin kendaraan. Mereka telah sampai di tempat parkir kantor Mrs. Pamungkas.
"Mau apa kau?" ujar sinis Sandra saat mendapati Bara ikut turun bersamanya.
"Mengantarmu."
Bara sedang tidak ingin dibantah. Sebab itu, Sandra membiarkan begitu saja Bara mengikutinya di belakang. Dia mempercepat langkahnya lantaran tidak tahan menjadi pusat perhatian. Tentu semua orang tahu siapa Bara. Pemilik bisnis agensi iklan dan pertelevisian tanah air.
"Selamat pagi Mrs. Pamungkas. Em maaf saya terlambat," ujar Sandra kikuk.
Semua karena Bara. Orang itu selalu merusuh di dalam hidupnya. Lihatlah kini dengan santainya dia duduk di sofa ruangan Mrs. Pamungkas. Karenanya pula, sapaan Sandra tidak diacuhkan oleh Mrs. Pamungkas.
"Bara kau ke sini? Tumben? Gimana semalam?" sambut Mrs. Pamungkas senang.
Dia lantas mendekati Bara yang merupakan teman dekatnya juga suami.
"Jeng," panggil Bara lirih yang merupakan nama asli Mrs. Pamungkas.
"Ya." Mrs. Pamungkas mengangkat alisnya. Tampak aneh dengan sikap Bara pagi ini.
"Aku mau kau pecat Sandra sekarang."
Mrs. Pamungkas yang tidak menyangka hal ini langsung menoleh ke arah Sandra. Perempuan itu berdiri di ambang meja dengan wajah pucat. Dia ingat telah meminta Sandra datang malam itu menggantikan Devi yang mendadak sakit perut. Otaknya langsung mencerna ada yang tidak beres dengan mereka.
"Em Kenapa ya? Ada apa dengan karyawan aku?"
Jantung Mrs. Pamungkas sudah bertalu-talu hebat. Akan gawat jika Bara memutus kerjasamanya. Menurutnya Bara salah satu teman beserta konsumen yang royal pada bisnisnya.
"Ya aku masih sanggup menghidupinya kok."
Semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Bara, Mrs. Pamungkas meminta Sandra untuk duduk serta di sofa.
"Kami akan rujuk. Dia tidak perlu bekerja."
"Rujuk? Maksudnya?"
Brak ...!
"Bu, ada wartawan di depan sana. Mau wawancarai asisten Ibu ...!"
***