Chereads / Back To The Marriage / Chapter 15 - Pukulan Sky

Chapter 15 - Pukulan Sky

Bara menepati janjinya. Makan pagi bersama keluarga kecilnya dan mengantar Sky ke sekolah. Sepanjang perjalanan hanya diisi lantunan radio. Sementara Sky asyik membaca buku pelajarannya.

"Kau baru tujuh tahun Sky, belajar yang benar. Hanya saja jangan terlalu memforsir diri," ujar Bara tanpa menoleh.

"Aku sedang tidak belajar," sahut Sky cepat.

"Oh ya? Papa lihat kau sedang membaca."

Bara menolehkan kepalanya. Menatap sebentar puteranya yang masih asyik dengan tulisan rapi di tangannya.

"Hanya sekedar membaca. Aku tidak perlu belajar. Hanya buang-buang waktu."

Bara tercekat dengan pendengarannya. Anak siapa ini di sampingnya. Kenapa mirip sekali dengannya. Dia tidak bisa menahan tawanya lagi.

"Astaga anak Papa lucu sekali. Kau memang mewarisi kecerdasan Mama dan Papamu," sahut Bara bangga.

Sky menggeleng. Meski tidak terlihat Bara bisa dirasakan lelaki itu.

"Kalian tidak lebih pintar dariku. Jika pintar mana mungkin berpisah."

Saliva Bara dia telah sudah payah. Perkataan itu seperti tamparan untuknya. Tidak lebih pintar dari anaknya. Memang benar. Bara dan Sandra sama-sama bodoh dalam memahami perasaan.

"Ya kau benar. Kami bodoh Sky. Sebenarnya Papa sih. Papa dulu menceraikan Mamamu untuk dinikahi secara romantis dan dipublikasikan. Nyatanya Mamamu telanjur sakit hati dan pergi."

Ada nada sendu dalam perkataan Bara. Memang benar apa yang ia rasakan saat ini, adalah buah dari kegagalan di masa lalu.

Sky menutup buku cetaknya. Memasukannya kembali ke dalam tas punggung yang ia bawa. Ekor matanya menangkap wajah Bara yang begitu nelangsa.

"Kadang manusia memang butuh perpisahan untuk menyadari seberapa berartinya seseorang. Tidak perlu risau, kau hanya butuh berlatih mengambil hatinya."

Bara menurunkan kecepatan mobilnya. Memilih menatap Sky yang bicara begitu serius. Isinya daging yang berguna untuk kelangsungan romansa cintanya bersama Sandra.

"Kau setuju kami balik 'kan Sky?" tanya Bara hati-hati.

"Entahlah. Aku harap yang terbaik untuk kalian." Sky mencantelkan tas di bahunya. "Oh ya turun di sini saja. Aku harus menunggu Erlangga sebentar."

Bak kerbau dicucuk hidungnya, Bara menghentikan laju mobilnya. Pintu gerbang sekolah sudah terlihat. Tapi masih berjarak tiga ratus meter lagi. Tak biasanya dia akan menurut pada Sky.

"Bye."

Sky hanya melambaikan tangannya. Tidak berminat mengecup tangan Bara terlebih dahulu. Dia masih enggan mengakui keberadaan ayah kandungnya tersebut. Bara pun memahaminya.

Sky tidak sepenuhnya berbohong. Selepas memastikan Bara telah menjauh. Dia memajukan langkah lebih mendekat ke pintu gerbang. Menunggu temannya—Erlangga sesuai apa yang dia bilang tadi.

Tak sampai lima menit, sosok yang ditunggu telah turun dari mobil jemputannya. Anak lelaki seusianya datang dengan tongkat kruk yang menyangga tubuhnya. Bergegas Sky mendatangi untuk membantu.

"Terima kasih Sky," ucap Erlangga sambil tersenyum.

Tidak ada balasan apa pun dari Sky. Penerus Hernandez itu tetap berwajah dingin. Menuntun dengan sabar temannya yang kesulitan berjalan normal. Meski dingin dan jarang bicara, Erlangga tahu Sky sangat perduli dengannya. Hanya Sky satu-satunya anak yang tidak menjauh melihat kekurangan Erlangga.

"Lihat deh romantis banget rasanya. Yang satu lumpuh yang satu bisu," ucap seorang anak laki-laki yang satu kelas dengan Sky dan Erlangga.

Sontak semua teman-temannya yang mendengar ikut tertawa terbahak. Santapan empuk di pagi hari sebelum belajar, tentu asyik mengolok kekurangan orang lain.

Di balik sikap tak acuhnya, tangan Sky mengepal. Tak ia hiraukan larangan Erlangga padanya. Hingga pemandangan di depan mata benar-benar menyakiti hati.

Sky menghajar si pemilik suara. Dipusatkannya pukulan pada bibir. Darah menetes tidak tertahankan lagi dari anak laki-laki itu. Anak yang bernama Rendi tidak diam saja. Dia berusaha melawan Sky. Tapi belum sampai pukulannya jatuh pada Sky, tangannya telah terpelintir. Para siswi menjerit histeris. Hingga salah satu guru melerai mereka.

***

Ruangan kepala sekolah mendadak ramai. Tiga pasang orang tua saling memandang dengan tatapan yang berbeda. Sejak mendapat telepon dari sekolah, Sandra dan Bara langsung bergegas menemui anaknya yang sedang disidang.

"Ini sekolah mahal. Kami mengeluarkan puluhan ribu dolar setiap tahun, tapi kualitas benar-benar nol. Jika mau jadi preman untuk apa mengotori sekolah ini. Ini memalukan Bapak Kepala. Bisakah anak tak berguna ini dikeluarkan saja."

Seorang ibu kuncir satu tinggi mengeluarkan suara dengan sinisnya. Tak luput dari pandangannya sosok Bara dan Sandra yang mengapit anak laki-laki mereka.

Di sampingnya yang juga suami dari si ibu mengelus pergelangan tangan istrinya. Meminta jauh lebih sabar.

"Setidaknya dengarkan dulu penjelasan anak kami Bapak Kepala. Kita sedari tadi tidak mendengar bantahan atau pun persetujuan darinya, bukan?" ucap Sandra yang sudah tidak tahan anaknya dipojokan.

Fitrah sang ibu yang selalu ingin melindungi anaknya meski pun salah tidak bisa dianggap remeh. Begitulah Sandra, yang memang tidak membantah perlakuan Sky, tapi meminta penjelasan atas apa yang terjadi di balik itu semua. Sky memang kerap kali menunjukkan emosi dengan kekerasan. Tapi selalu ada sebab di baliknya.

"Untuk apa lagi. Sudah jelas anaknya salah. Bukannya minta maaf malah minta anaknya bicara," ucap sinis Belinda, ibunya Rendi.

"Saya sudah minta maaf berkali-kali Nyonya. Bukankah Nyonya sendiri yang tidak menanggapinya. Lalu, sedari tadi Nyonya yang selalu mencela pembicaraan. Tidak keharusan bukan jika kami yang gagal mendidik anak, lalu Nyonya yang menggantikan?" sahut Sandra sudah jauh lebih tenang. Ada Bara yang selalu menggenggam tangannya untuk tidak kelepasan bicara.

"Anak Anda—"

"Mohon maaf Ibu Belinda. Benar kata Ibu Sandra, kita tanya Sky dulu. Sky silakan bicara, apa yang sebenarnya terjadi sehingga sampai hati memukul Rendi?" ucap Bapak Kepala Sekolah dengan bijak. Dia paham untuk anak seusia Sky tidak bisa bertanya dengan nada tinggi.

Sky membuang wajah dari orang yang menanyainya. Mendesar dengan lirih, hingga akhirnya berkata, "hanya ingin saja."

"Tuh kan benar-benar anak tidak tahu sopan santun!" Ibu Belinda murka. Tangannya telah melayang di udara. Berniat sekali menampar pipi bocah tujuh tahun itu.

Sebelum itu terjadi, suaminya sudah lebih dulu menahan tangan istri.

"Papa apa-apaan sih! Anak kita sampai masuk rumah sakit gara-gara ulah bocah nakal ini. Malah diam saja dari tadi."

Suami dari Belinda mengusap wajah. Bukannya tidak ingin berkomentar, dia hanya menahan diri. Terutama pandangan ayah Sky yang seakan mengulitinya. Tidak tahan, namun berusaha dia abaikan.

"Sky jawab yang jujur. Bicara pada Mama apa yang sebenarnya terjadi?" Sandra gemas sekali dengan anak semata wayangnya. Dilihat dari sudut mana pun, puteranya tengah menyembunyikan sesuatu.

"Ano ... Bapak Kepala."

Suara Erlangga terdengar lirih. Dia menatap ke arah Papa dan Mamanya terlebih dahulu. Mereka sedari tadi tidak berkomentar, tapi juga tidak membantah telah diundang ke sekolah. Dalam setahun ini sudah tiga kali ini terjadi. Mereka yakin, hal hari ini akan sama saja.

"Iya Erlangga. Silakan bicara. Kau di sini . saksi," ucap Bapak Kepala ramah.

Erlangga membuka mulutnya. Tapi suaranya keduluan Sky yang tiba-tiba mencela.

"Saya pendiam. Saya memukul Rendi lantaran dia mengejek saya bisu. Itu terjadi setiap hari. Dari pada dia malu sendiri, saya tonjok saja hingga dia sama seperti saya, bisu."

Ucapan Sky mengagetkan semua orang. Terutama ibunya Rendi, Belinda. Dia masih tidak percaya apa yang dikatakan anak itu terhadap anaknya. Lagi pula, alasan macam apa itu tadi. Rendi tidak mungkin berbuat semacam itu.

"Tuh 'kan Ma. Anak kita yang mulai duluan. Kita selesaikan secara kekeluargaan saja. Toh Pak Bara dan Bu Sandra bertanggung jawab membiayai pengobatan Rendi," ujar suami Belinda.

"Papa ini bagaimana sih?"

Dicubitnya perlahan lengan otot Belinda agar berhenti mengoceh. Dia sudah tidak tahan satu ruangan dengan atasannya hanya karena kesalahpahaman begini. Bagaimana jika Pak Bara tidak terima dan memecatnya.

"Berarti kasus ini selesai. Anak-anak ini harus saling memaafkan," ujar Bapak Kepala mengakhiri perundingan.

"Tidak bisa begitu Bapak Kepala—"

Belinda sudah diseret keluar dari ruangan dengan terpaksa. Tidak ada lagi yang harus dikeluarkan dari mulut besar itu. Semua penyebabnya ada pada anak mereka sendiri.

***