"Itu tadi siapa?" tanya Sandra blak-blakan. Dia sempat mendengar kata 'Kak' yang disebutkan Bara. Telinganya cenderung sensitif jika Bara tengah mengobrol dengan memanggil Kak.
"Biasa Sayang. Jangan cemburu dong. Nanti cantiknya jadi seksi."
"Apaan sih."
Sandra menepis tangan Bara yang melingkar di pinggangnya. Dia tidak enak jika terus-menerus ditempeli Bara. Sudah ditegaskan berkali-kali, lelaki itu tetap saja tidak mau menerima.
"Sky kau duluan?"
Sandra tersenyum kecut melihat anaknya telah melahap setengah porsi makannya. Sky tidak menunggu dirinya dulu. Agak kecewa tapi hal ini sudah biasa. Semenjak kenal game, Sky memang seringkali buru-buru.
"Maaf Ma, Sky lapar sekali. Juga ada turnamen sepuluh menit lagi," ucap Sky sembari mengunyah makanannya.
"Sky," panggil Bara. Dia tidak nyaman melihat Sky yang tampak tidak menghargai Sandra.
"Kau telah dihidangkan makanan oleh Mamamu, maka kau tunggu ia dulu untuk makan. Jangan bertingkah tidak sopan begini Sky. Apa pun pekerjaanmu nanti, jangan mendahului Mamamu, atau makan tanpa ijinnya. Mengerti?"
Bara berucap dengan tegas. Dia tidak mau anaknya menjadi kurang ajar pada orang tua. Terutama Sandra. Apa lagi dia melihat sendiri, betapa kecewanya Sandra melihat hal ini. Meski ada senyum di wajahnya.
"Sudah Mas, gak masalah kok. Anak muda kadang kala sibuk dan tidak bisa ditinggalkan," bela Sandra.
Bara menggeleng pelan, "tidak bisa San. Kau mau mengajari anakmu ketidak sopanan? Bagaimana kalau tercetak hingga dewasa. Dia memiliki mertua, punya rekan bisnis. Bukannya menunggu sesuai kesepakatan, tapi mengunyah sendirian. Itu tidak sopan," jelas Bara. Bara memang menjaga attitude. Terutama di meja makan. Hal itu sebagai cerminan kepribadian seseorang. Dia tidak mau, anaknya akan dicap jelek oleh orang lain. Dia tidak akan rela.
"Iya ngerti, tapi tidak perlu keras seperti itu. Sky masih kecil."
Sementara yang sedang ditegur menghentikan makannya. Dia menuju dapur ke arah kran untuk mencuci tangannya yang kotor. Setelah itu dengan mengabaikan Bara dan Sandra, kaki kecilnya berjalan dengan terburu-buru ke arah kamar.
"Sky mau ke mana Nak? Kau belum selesai makan." Sandra panik dan akan menyusul anaknya. Tangannya lebih dulu dicekal Bara.
"Tidak perlu dikejar. Kau makan saja," sahut Bara tanpa mau dibantah.
"Tapi dia belum selesai makan."
"Biarkan saja. Sekali-kali kau harus tegas sama anak itu."
Sandra mendesah pelan. Selama ini kadang dia memang kewalahan menangani Sky seorang diri. Tapi rasanya sakit sekali jika ada orang lain yang menegur puteranya. Meski ayah kandungnya sendiri.
"Kau tahu apa soal Sky ... Bara. Lebih baik kau makan sendiri. Jangan lupa tutup pintunya jika telah keluar."
Sandra memilih berdiri. Tanpa selera lagi memandang potongan ayam yang digeprek sambal pedas. Dia harus menenangkan dirinya dulu. Kejadian hari ini sungguh ajaib untuknya. Apa lagi kehadiran Bara yang sudah terbaca dominan dalam keluarga ini. Dia hanya tak mau, Sky tidak nyaman dengan ini semua.
Pintu tertutup pelan. Memutar kunci dua kali pula untuk menegaskan dia tak mau diganggu hari ini. Sandra mendekati ranjang besarnya dan merebahkan diri.
"Kau masih sama semenyebalkan itu Bara."
Sandra menyandarkan kepalanya. Memilih terpejam. Sebelah tangan masih memeluk bingkai foto berisi dua insan manusia.
***
Ditinggal Sandra dan Sky sendiri, ada perasaan ruyam bagi Bara. Dia ingin menyusul keduanya, tapi keburu dering ponsel bergetar.
"Halo."
["Kau di mana Bara? Kakak sudah ada di kantor.]
Bara mendesah gusar. Jika kakaknya telah menelepon, sudah barang tentu kehadirannya mutlak. Tak ada pilihan lain baginya segera bergegas ke sana.
Urusan Sandra dan Sky masih bisa dilakukan setelah nanti.
Langkahnya lebar-lebar menyusuri koridor kantor. Setelah menempuh perjalanan tiga puluh menit, sampai juga akhirnya.
"Kak, maaf menunggu lama," ujar Bara berbasa-basi. Dia menatap kakaknya yang masih tampak cantik diusia lebih dari setengah abad.
"Kau dari mana sih Bara? Bisa gak sih mengabari Kakak jika ada apa-apa?" ujar Brisia Mada kesal. Kedua tangannya ditekuk di depan dada. Pertanda amarah yang sebentar lagi akan terlontar.
"Dari rumah Sandra Kak," jawab Bara enteng. Selama ini dia memang menjaga tutur katanya di depan Brisia. Tidak ingin ada kata yang menyakitkan untuk di dengar.
Brisia menarik napas dalam. Selalu perihal Sandra dan Sandra. Adik lelakinya seakan telah buta. Tidak bisa memandang perempuan lain di luaran sana. Belum lagi, dia baru saja tahu jika Arsoni anak pertamanya yang juga mencintai perempuan itu.
"Kau dan keponakan sama saja. Untuk apa kalian mengejar Sandra, Bara? Arsoni masih bisa diarahkan. Tapi Kakak harap kau juga meninggalkan perempuan seperti itu. Kita keluarga Hernandez, Bara. Nama kita telah besar."
Bara memandang miring ke arah kakaknya. Dia tidak suka terlalu mengelu-elukan perihal nama belakang keluarga. Baginya itu hanya nama. Bahkan jika dirinya menanggalkan nama belakang tidak akan mempengaruhi kualitas dirinya.
"Jadi dua laki-laki yang kakak perdulikan ini, diminta menjauh dari perempuan yang sama?" ujar Bara mempertegas. "Maaf Kak, jika Arsoni itu wajib hukumnya. Sedangkan aku masih terikat hukum pernikahan dengan Sandra. Yang artinya, saya tidak akan meninggalkan istriku."
Brisia mendelik. Matanya berpaling ke arah jendela. Menatap awan yang menghitam di langit siang ini. Sepertinya akan turun hujan.
"Pikirkan kembali Bara. Dia masih ada darah Lukito di dalamnya. Kau bukan tidak mengenal orang itu, bukan?"
Terdengar desahan Bara di belakang tengkuknya. Adik lelakinya mendekatinya dan tak lama mensejajarkan diri.
"Aku tahu Kak. Tidak perlu mengingatkanku. Sebelum aku bersamanya, aku sudah tahu masa lalunya," ucap Bara di samping Kakaknya.
Tidak ada jawaban dari samping kiri Bara. Perempuan yang berbeda sembilan belas tahun itu terdiam. Ada banyak hal yang menari-nari dalam benaknya. Tinggal mengatur untuk dikeluarkan secara lisan.
"Kakak masih berharap kau menikah dengan Erika. Dia cantik, berbakat—"
"Kak," potong Bara cepat-cepat. "Kau tahu 'kan aku tidak tertarik dengannya. Jika aku mau, sedari dulu kupacari ia. Aku hanya ingin damai dengan keluarga kecilku. Keponakanmu sudah setinggi dadamu. Tidakkah kau ingin menemuinya?"
***
Kepulan asap dari secangkir kopi hitam yang baru saja disuguhkan sekretarisnya, sama sekali tidak menggoda. Padahal ia sendiri yang tadi meminta. Di luar hujan turun dengan derasnya. Percakapan dengan Kakaknya telah usai. Tapi cukup membekas di dalam ingatan.
"Aku sudah tua Bara. Tidak bisakah kau menjadi adik penurut untuk kakakmu ini? Tidak bisakah kau bersikap manis seperti harapan kedua orang tua kita?"
Bara tersenyum kecut. Sedari dulu dia begitu menghormati kakaknya maupun kedua orang tua mereka. Tapi bukan berarti menggantungkan hidup dengan menuruti apa mau mereka. Ini jalan hidupnya. Sejauh ini semua apa yang akan ia jalani, telah sesuai dengan penggarapannya. Kecuali satu hal, meninggalkan Sandra dan Sky.
Bara bukan tak paham. Dia melihat itu, luka di mata kakaknya. Sejak dulu, dialah yang menjadi bulan-bulanan sang ayah, jika dirinya tidak mengikuti mau si Tuan Hernandez itu. Beberapa tahun berselang, Brisia masih menyimpan luka yang sama.
"Sandra pilihanku. Maafkan aku Kak. Berbahagialah dengan pasanganmu, tanpa mengusikku."
***