Chereads / Back To The Marriage / Chapter 19 - Didera Rasa Cemburu

Chapter 19 - Didera Rasa Cemburu

Bara memacu mobilnya menuju apartemen Sandra segera. Setelah kakaknya pulang, dia sempat menyelesaikan pekerjaannya yang tidak terlalu banyak.

Seperti biasa apartemen kecil itu lenggang. Sky pasti berada dalam kamar. Pikiran Bara langsung melayang kepada Sandra yang tadi merajuk. Bergegas lelaki itu menuju kamar utama.

Tiga kali mengetuk pintu, tidak ada sahutan dari dalam. Bara berpikir Sandra tengah tidur. Dengan hati-hati dia menekan handel. Kepalanya melogok ke dalam diikuti badannya. Tidak ada siapapun. Kamar kosong, mesin pendingin ruangan pun mati.

"Kemana Sandra? Astaga."

Bara kembali ke ruang tengah. Mengambil ponsel yang dia letakan bersamaan dengan kunci mobil saat masuk tadi. Tergesa menekan tombol kontak seseorang dan menempelkannya di telinga.

Satu kali dering ....

Dua kali dering ....

Tiga kali dering ....

Hingga dering ke sekian, tidak ada sahutan dari pemilik nomor yang ia hubungi. Bara melonggarkan dasinya. Pantatnya didudukkan pada sofa ruang tamu. Mengangkat sebelah kakinya yang masih lengkap bersepatu.

"Ke mana perempuan itu pergi coba?" tanyanya kesal.

Di balik itu dia mencoba berpikir positif. Barangkali Sandra tengah ke bawah membayar parkir atau iuran lainnya. Secepatnya perempuan itu akan kembali.

Akan tetapi, yang ditunggu hingga dua jam lamanya tak kunjung datang. Bara mendesah dan segera mengambil kunci mobil ingin mencari keberadaan Sandra.

Baru saja akan melangkah ke pintu, terdengar bunyi pin kombinasi. Dia yakin Sandra yang baru saja datang.

"Mengapa tidak mengangkat telepon?"

Sandra membolakan matanya. Cukup terkejut dengan teguran Bara barusan.

"Kau di sini?" tanya balik Sandra. Dari ekspresinya menandakan dia tengah panik. Seperti kepergok melakukan kesalahan.

"Dari mana?" tanya Bara dengan tatapan yang tajam menusuk.

"Eh."

Pandangan Sandra beralih pada barang-barang yang sudah tergeletak di lantai. Dengan ragu melirik Bara dan tersenyum ke arahnya.

"Mau bantu menyusun barang?"

Terdengar helaan berat dari lelaki di depannya. Tapi sedetik kemudian, kantong-kantong yang tercecer, sudah berpindah di genggaman kokoh Bara. Sandra bahkan tak diijinkan memegang apapun.

"Seharusnya kau bisa meneleponku dahulu jika ingin berbelanja. Belanjaanmu banyak sekali. Apa ini stok satu bulan?"

Sandra mengigit bibirnya. Memang barangnya terlalu banyak sekali. Ini semua karena ulah Arsoni yang membelanjakan dirinya begitu rakus. Dengan takut dia menoleh ke arah Bara. Apa yang akan terjadi jika dia tahu barang-barang ini dibeli dari uang keponakannya?

"Kenapa diam saja?" tanya Bara sewot. Dia bisa merasakan gelagat aneh yang ada pada wajah istrinya.

"Kau pergi sendiri dengan belajaan sebanyak ini? Naik taksi?" tanya Bara lagi. Kali ini lebih santai, meski tidak mengurangi aroma interogasi yang menegangkan.

"Em ...."

Lagi-lagi digaruknya tengkuk Sandra yang tidak gatal. Dia bingung dengan pertanyaan Bara. Menjawab jujur pun bukan solusi yang tepat.

"Kau tidak mau jujur padaku? Apa ada seseorang pria yang mengantar dan menemanimu berbelanja?"

Tembakan yang dilayangkan Bara begitu menena di jantung Sandra. Dia bahkan mundur satu langkah ke belakang. Perkataan Bara mirip sekali dengan kecurigaan adanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka.

"Kau tampak tegang San. Ayolah aku bukan dua hari mengenalmu."

Sudah tidak ada alasan lagi untuk Sandra mengelak. Dengan embusan napasnya yang berat dia bercerita juga.

"Ini semua dibelanjakan Arsoni. Ya dia berharap diundang makan malam di sini."

"Wah, hebat sekali. Meminta diundang makan, tapi bahannya dia yang beli. Anda tukang masak atau bagaimana?"

Bara menyipitkan matanya. Menatap Sandra dengan tampang sinisnya. Dia suka melihat Sandra terpojok. Dengan begitu amarahnya tidak akan keluar untuk menyakitinya. Meski rasa dongkol itu tidak dipungkiri akan meluap juga.

Tak membuang waktu lagi, Bara mengambil lagi barang-barang yang belum sempat mereka bongkar. Dengan kedua tangannya saja, semua kebagian tergenggam.

Istrinya bingung dengan apa yang akan dilakukan Bara. Dia panik dan bergegas mengikuti ke mana Bara akan melangkah.

"Bara kau mau ke mana? Belanjaan mau di bawa ke mana?" tanya Sandra panik.

"Buka pintunya!" perintah Bara.

Sandra hanya memandang pintu di hadapannya. Tidak bergerak seinci pun dari lokasi berhentinya. Pandangannya beralih dari Bara ke pintu lantas ke kantong belanja.

"Tunggu apa lagi? Cepat buka!" ujar Bara kembali.

Mendengar nada memaksa dari Bara, membuat Sandra segera membuka pintu. Dia mengikuti ke mana Bara akan melangkah. Yang ternyata suaminya menuju lift dan memencet tombol ke basement.

"Kita mau ke mana?" tanya Sandra yang merasa heran dengan tingkah Bara.

Urat nadi di punggung lelaki itu tampak jelas. Terlihat sekali menahan amarah di dadanya. Tak ingin melihat adanya pertengkaran, Sandra memilih mengalah. Dia mengusap punggung suaminya lembut.

"Gak pantas marah sama keponakan. Toh dia hanya mau diundang makan oleh Bibinya juga. Tadi dia yang bayar karena sekalian bayar untuk antri di kasir."

Mendengar hal itu Bara menurunkan sedikit pundaknya yang tegang. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya saja tatapannya tidak semurka tadi.

Sesampainya di lantai basement, Bara menjalankan kakinya menuju pos sekuriti. Langkahnya lebar-lebar, terasa sekali ingin cepat sampai.

Dari kejauhan, para sekuriti yang tengah beristirahat melihat heran ke arah lelaki yang tergesa menuju tempat mereka. Semua orang yang ada di situ telah mengenal Bara dan Sandra. Mereka juga tahu seberapa kayanya Bara.

"Ada yang bisa dibantu Pak Bara ... Bu Sandra?" tanya salah satu di antara mereka.

Bara meletakan kantong di atas meja.

"Ini ada bahan makanan. Kalian bagi rata."

Bukan hanya para sekuriti yang berjumlah lima orang di sana, Sandra yang berdiri di belakang Bara pun terkejut. Apa dia tak salah menyumbangkan semua ini untuk mereka.

Tanpa membalas ucapan terima kasih yang bergemuruh di belakangnya, Bara menggandeng Sandra meninggalkan arena tersebut.

"Bara kok di kasih ke mereka semua?" tanya Sandra yang diselingi protes.

Niatnya berhemat, malah dikasih rejeki. Kini rejekinya berpindah ke tangan orang lain.

"Nanti malam kita belanja lagi. Kau mau borong lebih dari itu juga aku mampu. Jangan lagi terima pemberian dari laki-laki lain."

Sandra akhirnya paham. Lelakinya kini didera rasa cemburu yang dahsyat. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala keheranan.

"Terus makan apa nanti malam, astaga Bara!" pekik Sandra menyadari sudah tidak ada apapun di dapur mereka.

"Take away bisa. Pesan gofood bisa. Jangan seperti orang susah. Sekarang layani dulu aku."

Tepat selesainya kata tersebut, pintu lift terbuka. Sandra sudah ditarik masuk ke dalam. Tidak ada lagi celah untuknya lari. Ingin berteriak pun tidak bisa. Semua orang tahu Bara suaminya. Laki-laki itu sendiri yang menunjukkan surat nikah mereka pada petugas keamanan. Semua orang tidak akan percaya jika Sandra teriak akan dilukai Bara.

"Rileks aja Sayang. Yah paling dua atau tiga kali lah."

Sandra bergidik ngeri. Ingin rasanya dia pingsan dalam kaca lift ini.

***