Ketiga orang menatap nanar pada sebuah pintu di hadapannya. Seperti ada bayangan tak kasap mata yang menampilkan potongan adegan disertai soundtrack mistis serta mendayu-dayu.
"Harus ke sinikah?" tanya Sandra akhirnya.
"Kau mau kita ke mana? Mansion?" ujar Bara.
Anak lelaki di antara mereka hanya diam. Tidak berniat berkomentar apa pun. Sky tahu tempat ini. Dulu diam-diam sering memergoki ibunya mengenang apartemen di hadapan mereka. Banyak tahu, apartemen ini meninggalkan begitu banyak kenangan untuk sang ibu.
"Ya tidak juga sih." Sandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Aneh sekali jika dirinya terlalu mendramatisir luka di masa lalu. Toh ini hanyalah tempat tinggal yang tidak dapat bersaksi apapun jika ditanya.
"Maunya bagaimana? Kita tidak masuk dulu saja?" ujar Bara melirik Sandra. Dia bisa merasakan istrinya kehilangan minat melihat pintu apartemen lama mereka.
"Em ...."
"Masih lama kita?" tegur Sky yang merasa lelah menghadapi kelabilan orang tuanya.
"Ya sudah kita bermalam di sini. Besok pikirkan lagi."
Sandra menekan kombinasi untuk membuka apartemen mereka. Masih sama seperti yang terakhir dia meninggalkannya tujuh tahun yang lalu.
"Ayo masuk," ujarnya pada dua laki-laki yang masih mematung.
Melihat Sandra yang sudah tertelan di balik pintu, mau tak mau mereka berdua mengikuti di belakang.
Sandra takjub melihat perlengkapan unitnya yang masih sama. Semua terawat bersih. Sedikit ketinggalan zaman, tapi tetap bagus. Bara memang sengaja menyuruh asisten rumah tangga untuk membersihkan apartemen rutin setiap satu Minggu sekali.
"Kau merawatnya?" ujar Sandra melemparkan pandangannya ke Bara. Antara rasa haru dan kesal berkabut dalam manik mata Sandra.
"Ya tentu saja. Aku selalu berharap kau dan anak kita kembali. Jadi ya begini," ucap Bara penuh bangga.
Berbeda dengan Sandra yang malah mencebikkan bibirnya. Jengah sekali mendengar lelaki itu menggombali dirinya.
"Sudah deh ucapanmu tidak menyentuhku sama sekali," sahut Sandra malas.
"Ya terserah kau saja. Aku hanya berkata jujur pun."
Bara membalikan badan ke arah Sky yang masih mematung. Terlihat sekali anak kecilnya tengah lelah dan menuntut untuk beristirahat.
"Mari kutunjukkan kamar untukmu Sky."
Bara memeluk pundak Sky dan menuntun anak lelakinya menuju kamar yang telah dia sulap sesuai kebutuhan Sky. Dominasi warna hitam dan abu-abu memenuhi setiap sudut kamar. Di ujung dekat jendela ada meja berisi komputer dengan segala perlengkapan gaming.
Sky melonjak bahagia melihat kejutan untuknya.
"Ini kamarmu, apa kau suka?" ucap Bara begitu penasaran dengan perasaan anaknya.
"Ya terima kasih," sahut Sky pendek.
Bara hanya mengangguk. Bertemu dengan Sky beberapa hari belakangan semakin jelas pandangan Bara kalau anaknya tidak mudah menunjukkan ekspresi. Jiwa introvert begitu kuat ada pada diri anaknya. Tidak masalah, zaman dulu dia pun juga begitu.
"Ah senang sekali rasanya. Kalau begitu beristirahatlah Sky. Kau pasti lelah setelah berolahraga."
Bara mengusap kepala anaknya dan memutuskan keluar dari kamar segera. Memberikan kesempatan untuk Sky menikmati kamar barunya. Belum sepenuhnya final karena dia juga harus menunggu Sandra memutuskan untuk tinggal di mana. Bisa jadi Sandra tidak sanggup untuk bermalam di sini. Mungkin besok dia akan memilh mansion atau meminta tempat lain.
"Sky tidur?" tanya Sandra yang melihat Bara memasuki kamar mereka berdua.
Sama sekali tidak ada yang berubah di sini. Tata letak masih sama. Seprai, kain-kain lemari dan barang lainnya pun tidak berdebu sama sekali.
"Ya dia bilang lelah. Mungkin akan tidur cepat," sahut Bara. Dia tidak mau membicarakan perihal satu set perlengkapan gaming untuk puteranya. Bisa-bisa Sandra masuk ke kamar Sky dan mengomel tidak ada henti.
"Ya lebih baik begitu. Anak-anak jangan tidur terlalu malam. Kau tidak tahu bagaimana susahnya aku memintanya tidur. Selalu saja ada alasan untuknya berjaga," gerutu Sandra yang secara tidak langsung membuka sesi curhat dengan Bara.
"Apa alasannya?" tanya Bara mulai penasaran.
"Ya dia bilang, menjagaku. Dia bilang takut aku kabur dan mabuk-mabukan. Takut aku kehilangan akal sehat mencari suami lagi. Padahal sudah jelas alasannya untuk bermain komputer. Anak itu dasar!"
Mode merajuk seperti ini membuat Bara terpingkal. Diri Sky begitu sama dengannya di masa kecil dulu. Dia juga sering berbohong dengan mengatakan hal manis kepada pengasuhnya dulu. Dia tidak menyangka cetakan DNA begitu dominan padanya.
"Mengapa tertawa? Apakah lucu?"
Mendengar nada protes dari Sandra, buru-buru Bara menghentikan tawa. Dia memandang istrinya dan meletakkan tangannya di pundak Sandra.
"Dia betul-betul mewarisiku. Hal itu sering aku lakukan dulu pada ibu pengasuh," jelas Bara berkata jujur.
Secepat kilat Sandra langsung mencubit perut Bara. Memutarnya hingga laki-laki itu mengaduh.
"Aduh sakit Sayang. Apa yang kau lakukan?" jerit Bara. Dia menangkap tangan Sandra dan meremasnya perlahan. "Jangan menyiksa suamimu lagi. Aku bisa gila ini."
Sandra kembali menjauhkan tubuhnya dari Bara. Benarkan, belum apa-apa gombalan darinya keluar lagi.
"Aku benar-benar jengah dengan ucapan buaya darimu."
Bara membisu berpura-pura tersinggung. Padahal tidak sama sekali. Sikapnya berubah menjadi dingin. Yang malah membuat Sandra merinding.
"Astaga akan ada badai lagi. Kau tidur di luar sana. Selamat malam."
Terlambat, Bara sudah lebih dulu menahan tubuh Sandra. Mencengkeram tengkuk perempuan itu. Bibirnya mengkikis jarak di antara mereka.
"Kau mau tinggal di sini, mansion atau mau di tempat lain," ujar Bara saat pagutannya terlepas.
"Em, di sini dekat dengan sekolah Sky. Ke kantormu juga. Menurutmu bagaimana?" balik Sandra menanyakan hal yang sama.
"Aku terserah saja. Mau di sini atau di manapun, asal kita bersama."
Sandra memutar bola matanya malas. Ucapannya terlalu dibuat-buat.
"Asli apa yang terjadi terhadapmu 7 tahun yang lalu. Otakmu beda," keluh Sandra. Bagaimana tidak, Bara yang dia kenal dulu bersifat dingin. Memujanya saja jika sedang di ranjang. Selebihnya seperti orang tidak kenal.
Tak heran untuk saat ini dia begidik ngeri. Jangan-jangan yang dia hadapi bukan Bara Hernandez suaminya. Melainkan titisan atau hanya wajah yang mirip saja.
"Ya terserah kau sajalah. Kenyataannya aku memang selalu mendamba dirimu. Apa lagi untuk urusan ...." Bara menghentikan kalimat dan melirik pusat tubuh Sandra.
Merasa diperhatikan dengan mesumnya, Sandra langsung membalikkan tubuh. Tidak rela ditelanjangi terus terang meski dengan suaminya sendiri. Biar bagaimanapun mereka terpisah lumayan lama. Apa lagi sakit di hatinya selalu muncul di waktu-waktu tertentu.
"Sudahlah tidur saja. Makin malam ucapanmu melantur ke mana-mana."
Sandra bergegas ke kamar mandi. Beralasan akan buang air kecil. Tapi nyatanya air matanya tumpah saat pintu itu tertutup sempurna. Bersandar di dinding dia meluruhkan tubuhnya. Terasa sesak mengimpit dadanya.
"Apa yang harus aku lakukan? Ternyata kalau benar dia yang membunuh Papa. Apa aku harus tetap bersama. Biar bagaimanapun ada Sky di antara kami."
Sandra tidak menyadari sejak dulu. Baru kali ini kebenaran itu membuka misterinya sendiri.
***