"Kau begitu lama di kamar mandi. Apa terjadi sesuatu?"
Suara itu mendesak untuk segera dibukakan pintu. Sudah hampir satu jam Sandra berada di sana dan tidak ada suara seperti keran air menyala.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kram di perut," ucap Sandra setengah berteriak.
Tentu saja dia berbohong. Yang terjadi padanya justru duduk di samping bak mandi dan menangis. Meski tangisannya dia redam sedemikian kuat, hingga tak ada suara yang lolos dari sana.
"Aku akan masuk."
Tidak terdengar sahutan dari dalam. Tapi Bara sendiri juga tidak bisa membuka pintu lantaran di kunci dari dalam.
"Sayang?"
Bara mendesah. Dia begitu khawatir terhadap istrinya. Apa ada hal yang menyinggung perasaannya hingga Sandra memutuskan menyendiri di dalam sana.
"Aku baik-baik saja Bara."
Untunglah tak berselang lama, Sandra muncul. Matanya tampak sembab. Wajahnya juga basah akibat tetesan air.
"Kau kenapa? Katakan padaku, apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit?"
Tangan Bara terayun menyentuh tubuh Sandra. Memastikan tidak ada luka di kulit mulus tersebut.
"Aku baik-baik saja Bara. Mungkin sudah masuk periode hingga sedikit kram di perut."
Sandra mengalihkan tangan Bara dari pusat tubuhnya. Meski dia tahu dikhawatirkan, tapi tidak menutup kemungkinan lelaki ini akan mengambil kesempatatan. Lebih baik mencegah.
"Oke kalau begitu istirahatlah. Aku akan ambilkan air hangat untuk mengompres perutmu."
Sandra hanya mengangguk. Dia membawa kakinya menuju ranjang dan merebahkan tubuh lelahnya di sana. Membiarkan Bara keluar kamar. Hatinya cukup menghangat melihat betapa khawatirnya Bara terhadapnya. Hanya saja dia tidak bisa terlena begitu saja.
Breett ... breett ....
Ponsel di atas nakas bergetar. Sandra mengambil dan melihat siapa yang mengiriminya pesan. Masih sama dengan nomor sebelumnya yang tidak dia ketahui namanya.
Kali ini orang misterius tersebut mengirimkan sebuah foto. Sandra menghela napasnya sebelum mengklik untuk mengunduh foto tersebut. Membesarkan hatinya untuk melihat apa saja yang akan orang misterius itu bongkar.
Baru setengah putaran untuk mengunduh, langkah kaki Bara semakin terdengar mendekat. Sandra memilih meletakan ponselnya kembali. Tak lupa dia mengangkat selimut hingga ke dada. Matanya dia paksa untuk menutup guna mengelabuhi Bara mengenaini kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Sandra aku kembali. Ini handuk kecil dan air hangatnya. Mari aku bantu mengompres perutmu."
Tanpa menunggu respon Sandra. Bara menyibak selimut. Dengan hati-hati dia mengangkat pijama Sandra hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Beberapa saat Bara tertegun hingga jakunnya naik turun. Bagaimana tidak, kulit putih mulus dengan lubang pusat yang begitu menggoda terpampang di depan matanya.
Untung saja Bara masih memiliki nurani hingga meredam hasratnya kali ini. Dia membasahi handuk kecil dan memeras airnya. Dengan perlahan menempelkannya di atas perut Sandra.
"Bara, aku tidak apa-apa." Sandra refleks memegang punggung tangan Bara di atas perutnya. Dia tidak bisa berdiam saja melihat betapa seriusnya Bara merawatnya. "Biarkan aku sendiri. Ini akan membaik beberapa menit berikutnya."
"Tidak masalah. Aku ingin melakukan untukmu," sahut Bara tanpa menyingkir dari atas perut Sandra. "Ijinkan aku merawatmu. Kau masih tanggung jawabku."
Sandra menelan salivanya untuk meredam sumpah serapah yang dikeluarkan otaknya. Lihatkan betapa penuh tipu daya sekali pria di hadapannya ini. Dengan mudah berkata ia adalah tanggung jawabnya. Padahal sebelumnya dengan tega menelantarkan dirinya dan si jabang bayi dalam kandungan.
"Terserah kau saja. Aku tidak bertanggung jawab seandainya kau mengeluh tangannya pegal merawatku."
Bara tertawa kecil mendengar penuturan Sandra. Merasa begitu konyol mendengar hal tersebut. Bagaimana bisa hanya menekan handuk, mengganti air dan memerasnya saja buat ia pegal. Seharian di kantor bahkan dia bagai kuli tinta dan suara. Mengetik dengan ganas berbagai proposal yang dibutuhkan untuk kelangsungan usahanya. Jika dipikir apa yang ia lakukan saat ini tidak ada apa apanya.
"Jika aku pegal kau bisa memijatnya bukan?" Alis matanya terangkat untuk menggoda sang istri.
Tidak ada sahutan suara dari Sandra. Perempuan itu hanya memanyunkan bibir dan membuang wajahnya ke samping.
"Kau biasa meminum obat apa? Jika tak kunjung membaik, aku akan turun mencairkan obat untukmu."
Wajah Sandra berpaling lagi menatap Bara. Dia tidak yakin lelaki ini berubah begitu manis terhadapnya. Apa lagi saat ini pesonanya naik tingkat saat sedang memeras handuk.
"Apa aku tidak salah dengar? Tuan Hernandez akan turun ke apotek dan membelikan obat periode bulanan wanita? Bukankah harga dirinya sedang ditawar saat ini?" ejek Sandra. Yah dia sebenarnya merasa tersanjung dengan tingkah Bara. Hanya saja tak mau terlalu terlena demi menghindari tumbuhnya perasaan yang tidak terkendali.
"Harga diriku telah jatuh saat aku memilih mengabaikan dirimu dan anak kita tempo lalu," jawab Bara dengan ekspresi datar.
Mendengar hal itu tentu saja Sandra merasa terkejut. Benarkah Bara betul-betul menyesal.
Brett ... brett ....
Ponsel Sandra di atas nakas kembali bergetar. Kali ini Bara berinisiatif mengambilkan takut-takut istrinya tidak bisa menggapainya.
"Ini ponselmu bergetar. Kau lihat saja dulu siapa yang menghubungimu. Aku akan mengganti air yang telah dingin ini."
Bara berdiri dengan menenteng baskom kompresnya. Membiarkan Sandra memeriksa ponselnya. Dia tidak mau bertanya atau terlalu kepo. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya kenyamanan Sandra bersama dirinya.
Sepeninggal Bara, Sandra membuka pesan dari orang misterius tadi. Unduhan fotonya telah terbuka sempurna. Menampilkan gambar dua orang pria yang begitu dia kenal.
Terlihat Lukito–ayah Sandra yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit tempatnya terakhir mendapat perawatan. Di sampingnya terlihat jelas Bara Hernandez mengagungkan senjata api tepat ke arah jantung Lukito. Ekspresi yang ditunjukkan dalam foto terlihat jelas jika pria paruh baya itu tengah ketakutan.
[Bagaimana? Apa kau mau hidup dengan seorang pembunuh?]
Bunyi dari pesan yang sampai baru saja. Setelah sebelumnya tidak ada kata apapun, si pengirim kembali menuliskan sesuatu. Mungkin geram dengan tingkah Sandra yang seolah tak acuh.
[Apa jantungmu masih aman?]
Beberapa saat kemudian kembali muncul pesan dari nomor yang sama.
Sandra tidak tahan lagi. Dia menekan gambar panggilan untuk mendengar siapa orang yang tengah bermain-main dengannya.
Nada dering terdengar, tapi tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Setelah berakhir orang tersebut mengirimkannya pesan kembali.
[Belum saatnya mendengar suara merduku Sayang.]
Sandra semakin kesal. Siapa gerangan orang ini. Hatinya diliputi rasa penasaran yang luar biasa. Terbanyang wajah pucat sang ayah di depan todongan senjata Bara.
Bara datang dengan segelas air putih dan beberapa bungkus obat di tangan.
"Aku tidak tahu kau biasa minum yang mana. Jadi aku beli saja semua."
Sandra tercengang mendapati Bara membawa dua puluh lembar obat pereda nyeri dengan berbagai macam merk. Dia tidak sakit sama sekali. Hanya berpura-pura saja. Mana mungkin akan meminum obat ini. Dia tidak menyangka jika Bara akan seserius ini menghadapi keluhannya.
"Bara apa yang kau lakukan. Astaga, aku bahkan sudah baik-baik saja. Tidak perlu meminumnya," sahut Sandra panik.
Sementara Bara hanya menatap tak percaya. Usahanya menunjukkan perhatian seolah tidak berarti.
"Ya sudah nanti minumlah saat sakitnya kembali datang. Aku letakan di laci nakas. Sekarang tidurlah."
Bara meletakan lembaran tablet di laci. Segelas air hangat yang tertutup rapat juga dia letakan di atasnya. Mengambil selimut dan menutupi tubuh Sandra sampai ke dada.
"Kau mau ke mana?"
Sandra pikir Bara akan ikut merebahkan diri di sampingnya. Tapi laki-laki itu malah menjauh dari ranjang.
"Ada beberapa pekerjaan yang akan aku selesaikan. Panggil saja aku jika kau butuh sesuatu ya."
Bara berlalu dari hadapan Sandra. Sikapnya yang perhatian lantas tak acuh begini menimbulkan tanya di hati Sandra. Suaminya seolah memberi waktu untuknya mencerna berita yang baru saja mampir kepadanya.
Pikirannya tidak tenang mengingat adegan mengerikan tadi. Biar bagaimanapun bukan peluru penyebab ayahnya meninggal. Lukito tekena serangan jantung, hingga nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Berbagai kecambuk memenuhi pemikiran Sandra. Menurutnya hal yang harus dia lakukan saat ini sudah benar dengan memasuki kehidupan Bara kembali. Sambil mencari informasi, apa yang sebenarnya terjadi pada Lukito dan Bara di masa lalu.
Terlalu lelah memikirkan hal ini, tak lama Sandra memejamkan mata.
***