Sepuluh tahun yang lalu, seorang gadis manis memegang toga yang telah terlepas dari tubuhnya. Dia merapatkan punggungnya ke dinding area rumah sakit yang tampak lenggang. Malam telah larut, memberinya waktu menikmati tangis dalam kesunyian.
Pria muda yang baru saja menjenguk seseorang kenalannya berhenti dari perjalanannya kembali ke mobil. Melihat tangis tertahan dari arah pojok pojok ruang kritis. Tanpa ragu melangkahkan kakinya mendekat.
"Apa yang kau lakukan malam-malam?"
Gadis itu mendongak ke atas. Matanya sipit membengkak. Menatap pria tampan di hadapannya. Seketika dia lebih memeluk tubuhnya.
"Jangan ganggu saya Tuan. Sungguh saya tidak ingin menggangu Anda," ucapnya tanpa berani menoleh.
"Ada keluargamu yang sakit? Tapi itu bukan alasan untuk gadis kecil sepertimu keluyuran malam-malam begini."
Bara tidak beranjak sedikit pun. Dia masih lekat memandang perempuan yang seperti kehilangan induknya ini.
"Iya. Ayahku harus dioperasi besok. Lagi pula itu bukan urusan Anda," sahut Sandra lemah. Sungguh dia tidak mau dianggap beban oleh orang lain. Apa lagi tidak ia kenal sebelumnya.
"Bisa kutebak. Kau menangis karena dua hal. Pertama, kondisi Ayahmu yang sedang lemah. Kedua, kau tidak memiliki biaya untuk membayar operasi."
Mendengar penuturan yang terasa pas, Sandra memberanikan diri menatap ke atas. Manik mereka bertemu. Keduanya terlibat tatapan dalam beberapa detik.
"Itu benar. Tapi juga bukan urusan Anda, Tuan," jelas Sandra.
"Lalu kau mau apa? Menangis sampai matamu tidak terlihat juga bukan solusi bukan?"
Sandra refleks mengangguk. Dia juga memikirkan hal apa yang seharusnya dia lakukan. Tabungan yang tidak seberapa telah habis membayar biaya wisudanya. Sementara dia tidak memiliki penghasilan lain. Rumahnya juga telah terjual oleh paman brengseknya.
Perempuan itu mendesah, mengingat nasib malang yang menimpanya.
"Saya tidak asal menangis Tuan. Ini juga sedang berpikir," elak Sandra. Tidak mungkin juga berbagi dengan seorang yang baru saja ia temui.
Sebelum dilarikan ke rumah sakit, ayahnya sempat mengatakan akan banyak musuh yang datang di luaran sana. Dia meminta putri kecilnya untuk selalu berhati-hati.
"Aku memiliki penawaran untukmu."
Sandra merasa tertarik dengan penawaran apa yang sebenarnya akan pria itu katakan.
"Katakan Tuan."
Merasa tak nyaman berbicara dengan perempuan yang duduk di lantai. Bara mengambil tangannya untuk mengikuti langkahnya.
"Ikuti aku. Kita duduk di kursi sana."
Mau tak mau, Sandra mengiyakan. Tetapi tangan lembut Bara dia tepis begitu saja.
Setelah mereka duduk bersisian. Barulah Bara menawarkan kesepakatan manis untuk Sandra.
"Siapa namamu?" tanya Bara terlebih dahulu. Dia ingin memastikan sesuatu.
"Sandra," jawab pendek Sandra.
"Baik. Aku Bara, kau bisa mendapatkan biaya pengobatan ayahmu, sampai beliau benar-benar sembuh. Juga bonus harta yang tak akan habis kau gunakan di seumur hidupmu."
Mata sipit Sandra mengerjap bingung. Penawaran seperti apa yang sebenarnya laki-laki ini tawarkan. Otak Sandra secepatnya berpikir ini tidak akan mudah.
"Jadilah istriku untuk kurun waktu yang tidak bisa kutentukan. Setelah aku siap dan kau siap, kita akan berpisah baik-baik."
Sandra tidak pernah tahu jika pria yang duduk di sampingnya adalah seorang monster yang menjelma menjadi malaikat.
***
"Tidurmu nyenyak Sayang?" tanya Sandra sambil menyodorkan roti selai kacang ke hadapan Skylar.
Dari waktu ke waktu anaknya telah tumbuh besar dan juga tampan. Gen Bara begitu dominan dalam diri Sky. Sementara dirinya begitu tipis. Hingga kadang membuatnya iri.
"Ya."
Seperti biasa Sky akan menjawab seadanya. Karena suasana hati Sandra sedang tidak menentu, dia hanya tersenyum tipis mendengar jawaban Sky yang memang meminta duel pagi-pagi.
"Bagaimana perutmu? Apa perlu ke dokter?" tegur Bara yang sejak tadi diabaikan Sandra. Dia paham jika perempuannya sedang dalam mode mood swing, hingga dia menghindari pertikaian.
"Tidak perlu berlebihan. Aku baik-baik saja. Setiap perempuan mengalaminya sebulan sekali," sahut Sandra.
Bara hanya mengangguk. Dari pada tambah masalah.
"Periodemu lebih cepat Ma?" tanya Sky dengan raut wajah menyelidik. Sebelas alisnya bahkan terangkat ke atas.
"Eh ...."
Sandra gelagapan melihat ekspresi Sky yang meminta penjelasan. Memang selama ini Sky tahu kapan periodenya. Memang tidak pernah meleset dari waktu perkiraan. Sky telah paham sekali. Akan aneh jadinya jika dia mempercepat dua Minggu sebelum waktunya tiba.
"Ah anak laki-laki sepertimu tidak seharusnya tahu bukan. Sebaiknya habiskan sarapanmu segera. Papamu akan mengantar."
Buru-buru Sandra mengalihkan perhatian Sky. Akan gawat rasanya jika Bara tahu dirinya sedang berbohong. Selama ini Bara memang tidak mengingat dengan baik kapan waktu itu tiba.
"Mamamu semalam masuk periode bulanan. Apa itu aneh Sky? Papa selama ini tidak mengingat dengan baik waktunya. Jadi–"
"Ya karena Papa juga bukan suami yang baik."
Ucapan Sky begitu menohok Bara. Bahkan Sandra sampai melongo tidak percaya mendengar pemotongan kata dari Sky barusan.
"Sky–"
Baru akan memberi pengertian, Sky buru-buru memotong ucapan Sandra.
"Aku telah selesai Pa. Kita berangkat sekarang."
Bara membenarkan letak dasi dan jasnya. Mencium kening Sandra lembut dan berlalu mengejar Sky. Dirinya juga butuh kejelasan dari ucapan anaknya barusan.
"Sky kau tidak perlu terburu-buru. Masih terlalu pagi untuk masuk kelas."
Mereka melewati lift dengan hening. Bara salah tingkah dengan anaknya sendiri. Entah mengapa tatapan Sky memiliki makna yang lain dari biasanya.
"Kau tahu sesuatu mengenai Mamamu Sky?" tanya Bara saat keduanya telah masuk dalam mobil.
"Papa benar-benar suami yang tidak berguna," komentar Sky tak acuh.
Bara menghela napasnya. Betapa beratnya jika berbicara dengan anaknya. Anehnya sifatnya memang sama persis dengan dirinya di masa lalu.
"Sky, Papa harap kau bertindak sesuai usiamu. Jangan terlalu masuk dalam masalah orang dewasa."
"Jadi Papa mulai waspada terhadapku?"
Sky mengatakan hal tersebut tanpa merubah posisi matanya. Masih sama dingin menatap ke depan.
"Apa saja yang kau ketahui Sky. Sungguh Papa hanya menghawatirkan dirimu. Itu saja." Bara tidak mau begitu saja menyerah. Dia harus tahu siapa yang mengirimkan pesan kepada Sandra semalam.
Selepas Sandra tidur memang dirinya memeriksa ponsel perempuan itu. Untung saja riwayatnya belum sempat dihapus. Dia pun telah meminta seorang detektif untuk memeriksa nomor ponsel tersebut.
"Sky," panggil Bara dengan lirih, tapi penuh dengan penegasan. "Jika kau ingin mengetahui secara pasti, datangi Papamu ini. Tidak perlu berlagak sok intelektual. Usiamu masih kecil. Pikirkan masa depanmu."
Sementara berbicara, Sky hanya mengangkat bahunya tak acuh. Sejauh ini dia paham ke mana arah pembicaraan Bara. Kata-kata itu hanya akan keluar masuk di telinganya saja. Tidak benar-benar dia pikirkan.
Mesin mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Tanpa bersusah-susah pamit, Sky keluar dengan tatapan intimidasi ayahnya sendiri.
"Dasar benar-benar anak nakal."
Bara mengacak rambutnya kesal. Menghadapi bocah enam tahun begitu berkelit untuknya.
Seseorang menelpon dalam nomor pribadinya. Sadar masih di area sekolah, Bara memilih melanjutkan perjalanan. Baiknya, bunyi telepon itu ia angkat setelah jauh dari sekolah tempat anaknya menimba ilmu.
***