Bandara internasional Colombia jam 09.15 am
Seorang gadis berjalan menuju pesawat bersamaan dengan para penumpang lainnya. Dia terlihat sangat cantik dan kasual dalam balutan celana jeans putih yang dipadu dengan atasan berwarna merah putih kekuningan dan Coat hitam sebatas lutut, membiarkan rambutnya yang panjang berwarna hitam kecoklatan tergerai indah, memakai sepatu tebal berwarna hitam dan menenteng tas branded yang terlihat simpel.
"Casey, apa setelah kamu kembali ke California, kamu akan segera menikah dengan Michael?" tanya seseorang dari telepon.
"Paman, kenapa paman selalu menanyakan tentang hal ini? Bukankah sudah aku katakan bahwa aku ingin fokus mengelola perusahaan ayah. Aku baru saja mendapatkan warisannya, sekarang aku harus memenuhi kewajiban ku untuk mengelola perusahaan pemberiannya sebagai bakti ku, meski aku tidak pernah bisa mengingat wajahnya." Gadis bernama Casey itu terlihat kesal sambil terus berjalan menuju tangga pesawat.
"Tapi di usia mu yang sudah 25 tahun, seharusnya kamu sudah menikah. Jangan sampai hanya karena ingin menunjukkan bakti pada almarhum ayahmu, kamu jadi perawan tua. Kamu boleh fokus bekerja, tapi jangan lupakan masadepan mu, kamu juga perlu berumahtangga seperti teman-teman mu yang lain."
"Paman tidak perlu khawatir, aku sudah pikirkan itu. Jodoh dan maut ada di tangan Tuhan. Jika aku memang ditakdirkan menikah di usia 30, itu bukan masalah."
"Tapi itu akan membuat Michael kecewa karena menunggumu terlalu lama," seru paman Casey dari telpon.
Casey menghela napas, berhenti di dekat tangga pesawat. "Paman, kita bisa bicarakan hal ini saat aku sudah tiba di rumah. Sekarang aku akan memasuki pesawat," serunya.
"Yasudah kalau begitu, semoga selamat sampai tujuan," sahut sang paman.
Casey segera memutuskan sambungan telpon itu, kemudian memasukan ponselnya ke saku Coat hitamnya. Dia lanjut berjalan memasuki pesawat, menyusuri kabin hingga tiba di tempat duduknya yang berada di kelas bisnis untuk menambah kenyamanannya. Dia duduk di samping seorang gadis yang memakai kacamata hitam.
Casey segera memasangkan sabuk pengaman sesuai prosedur, begitu pula gadis di sampingnya juga memasang sabuk pengaman.
Sembari menunggu pesawat take off, Casey mengambil ponsel dari dalam saku Coat nya kemudian mengaktifkan mode penerbangan. Sesekali dia melirik gadis di sampingnya yang terlihat begitu anggun dalam balutan terusan dress putih dipadu dengan blazer hitam dam membiarkan rambutnya yang hitam natural tergerai begitu saja.
"Hi," sapa gadis itu setelah melepas kacamatanya.
"Hi," sahut Casey dengan tersenyum ramah.
"Kamu akan ke California untuk sekedar berkunjung atau memang tempat tinggalmu di sana?" tanya gadis bermata kecoklatan itu.
"Eh ... Aku akan kembali ke rumahku karena aku ke sini hanya untuk sekedar urusan bisnis," jawab Casey dengan santai.
Gadis itu mengangguk paham lalu mengulurkan tangannya pada Casey. "Aku Clara, aku ke sana juga, aku akan pulang ke rumah orang tuaku karena dua hari lagi aku akan menikah," ucapnya.
"Ah, ya ... Aku Casey." Casey tersenyum sambil menyalami Clara. "Entah kenapa aku merasa senang ketika mendengar seorang gadis sepertimu akan menikah. Karena pada dasarnya pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan membutuhkan pemikiran yang mantap untuk memutuskannya."
Clara tersenyum sambil menarik tangannya kembali dengan pelan. "dan tentu saja aku menikah karena aku sudah memikirkan hal ini dengan sangat mantap."
Casey mengangguk. "aku paham akan hal itu karena sekarang aku melihat kebahagiaan terpancar di wajahmu."
"iya aku bahagia karena pria yang kucintai adalah pria yang sangat bertanggung jawab, meskipun beberapa anggota keluarga ku tidak setuju dengan pernikahan ini karena pria itu sudah punya anak," ucap Clara dengan tersenyum tipis dan menekuk wajahnya.
Seketika Casey mengerutkan keningnya. Dia menatapi Clara dengan heran karena meski kecantikannya yang terlihat begitu sempurna, mau menikah dengan pria yang sudah punya anak. Dalam hatinya pun bertanya apakah calon suami gadis itu adalah seorang duda atau pria yang pernah bercerai atau dia dijadikan istri kedua?
"Kenapa?" tanya Clara, melirik Casey yang menatapnya sambil melamun.
"Eh, tidak apa-apa. kuharap pernikahanmu berjalan dengan lancar dan kamu bahagia dengan pria pilihan mu," jawab Casey dengan tersenyum.
Clara mengangguk, melirik Casey yang kini sedang menatap layar monitor di hadapannya yang tersedia untuk menonton film.
"Ngomong-ngomong, kamu tinggal di kota mana?" tanyanya.
"Aku tinggal di San Fransisco," jawab Casey dengan santai.
"Astaga, aku juga tinggal di sana. Kenapa kita tidak pernah bertemu sejak dulu?" tanya Clara dengan ekspresi terkejut.
"Tentu saja kita tidak pernah bertemu karena sejak kecil aku lebih sering di rumah dan menempuh pendidikan dengan guru private. Setelah itu aku pergi kuliah ke London, setelah itu aku kembali ke San Fransisco dan selalu fokus untuk mengurus perusahaan peninggalan ayahku," jelas Casey.
"Ayahmu sudah meninggal?" tanya Clara, dengan tatapan yang berubah jadi agak iba.
"Ayah dan ibuku sudah meninggal saat aku berusia 1 tahun. Saat itu kami kecelakaan bersama dan hanya aku yang selamat," jawab Casey dengan santai.
Seketika Clara terdiam dengan perasaan yang begitu terenyuh membayangkan kan disampingnya sudah kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil. Begitu banyak pertanyaan muncul di benaknya tentang siapa yang sudah membesarkan Gadis itu dan bagaimana dia bisa menjalani hidup tanpa orang tua? Hal ini benar-benar sangat membuatnya terkejut mengingat dirinya selalu hidup dalam kasih sayang kedua orang tuanya dan kekasihnya.
"Aku tidak tahu harus berkata apa tapi aku benar-benar tidak bisa membayangkan betapa sulitnya hidupmu," ucapnya spontan.
Casey tersenyum tipis lalu berkata, "aku tidak begitu mengalami kesulitan karena aku punya pamanku dan punya babysitter yang selalu menjagaku seperti ibuku. Aku juga tidak terlalu ingat bagaimana wajah kedua orang tuaku, tapi beruntung sekali ada banyak foto kenangan di rumah yang bisa membuat aku mengingat wajah mereka. Jika di kata sedih Aku memang sedih. Tapi aku harus tetap kuat supaya mereka tenang di sisi Tuhan," ucapnya.
"Kamu sungguh gadis yang luar biasa," ucap Clara sambil mengusap-usap pundak Casey. "Aku berharap kita bisa menjadi teman dan ... Datanglah ke pernikahanku. Kebetulan aku punya undangan di dalam tasku," lanjutnya.
Casey mengangguk tabah, lalu melirik Clara yang kini mengambil sebuah undangan dari dalam tas branded berwarna merah marun yang terletak di sampingnya.
"Kuharap kamu datang karena sekarang kita teman," seru Clara sambil menyodorkan sebuah undangan berbentuk persegi panjang berwarna merah kekuningan di mana ada foto dirinya dan calon suaminya yang berpose di sebuah pantai mengenakan setelan berwarna putih. Di foto itu terlihat Dia sedang berjalan bergandengan tangan dengan calon suaminya, saling melirik dan tersenyum.
"Aku akan berusaha untuk datang," ucap Casey sambil meraih foto itu dan menatapinya. Tiba-tiba Dia teringat dengan pamannya yang meminta dia untuk segera menikah dengan Michael, dan foto itu membuatnya ingin menikah juga tetapi dia masih merasa harus menunjukkan baktinya kepada kedua orang tuanya dengan memajukan perusahaannya.