"Halo Cantik. Belanja apa?"
Suara berat tepat di telinga kiri Sandra menggoyahkan lamunannya. Di tangannya menggenggam daging ayam yang sedang ia pilih, sontak terlepas.
"Soni, kau mengejutkanku!" pekik Sandra terkejut. Dia sampai memegangi dadanya.
"Eh maaf ya. Aku tak sengaja melihatmu termenung," sahut Arsoni tampak menyesal.
"Iya tidak masalah. Hanya sedang memilih antara membeli paha atau dada ayam. Sky sendiri lebih suka dada, sementara aku lebih suka bagian pahanya," jelas Sandra.
Arsoni tersenyum mendengar suara merdu Sandra yang telah kembali tenang intonasinya. Pandangannya beralih ke arah daging ayam yang sudah dipak per-gram.
"Beli dua-duanya saja. Tak masalah bukan?"
Sandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya tidak masalah juga. Hanya saja dia sedang berhemat saat ini. Jadi berniat mengurangi jatah belanja mingguannya.
"San, apa ada masalah? Kau murung lagi."
Sentuhan di bahunya mengembalikan pikirannya yang sedang ragu. Dia memandang ke arah tampan Arsoni yang tampak khawatir terhadapnya. Tapi dia juga tak mungkin mengatakan kegundahannya.
"Aku baik-baik saja. Iya aku beli dua-duanya," ucap Sandra gugup. Tanpa melihat lagi, dia memasukan dua pak daging ayam ke keranjang belanjanya.
Sandra pikir Arsoni akan menjauh. Malah justru sebaliknya. Dia mengambil alih keranjang belanja milik Sandra dan memasukan beberapa minuman kaleng yang berada di tangannya. Laki-laki itu belum mengambil keranjang, hanya berniat mengambil minuman saja.
"Eh."
"Tidak apa bukan? Aku nitip ya," ujar Arsoni tanpa menunggu persetujuan.
Sandra hanya tersenyum. Jika seperti ini mana mungkin dia bisa menolak. Toh Arsoni juga baik padanya. Tidak ada yang salah dengan saling titip barang juga.
"Kau sendiri? Sky tidak ikut?" tanya Arsoni yang lagi-lagi mengejutkan Sandra.
"Eh, anak itu sedang asyik main di komputer. Ya seperti biasa," sahut Sandra gugup.
Mendengar beberapa kali tidak fokusnya Sandra, Arsoni memiliki kesimpulan jika perempuan ini sedang tidak baik-baik saja.
"Ada sesuatu yang mengganggumu? Kau bisa sharing padaku."
Seperti biasa Arsoni selalu bisa menenangkan hatinya. Dia melirik ke wajah tampan seperempat bule itu. Memandang lekat dan meracau tidak jelas.
"Ada apa San?" Arsoni masih setia menunggu pernyataan Sandra.
"Ah tidak. Biasalah aku masih terlalu shock di Indonesia. Ya begitulah ...," ucapnya gugup. Sandra merasa malu terlihat memperhatikan wajah tampan Arsoni.
"Kau berasal dari sini San. Tidak masalah memulai dari awal lagi," ujar Arsoni diselingi kekehan ringan.
Tampak berhasil, Sandra memukul ringan lengan Arsoni. Mulai merasa cair dengan suasana yang dihidupkan pria jomlo itu.
"Oh ya, ada lagi yang mau kau beli?" Arsoni memandang keranjang yang memang tampak sepi.
Hanya ada satu pak telur, dua pak ayam bagian dada dan paha. Bumbu dapur, serta seliter susu. Sepertinya Sandra tidak berniat belanja besar. Memang niatnya hanya mengusir kekesalan terhadap Bara tadi.
"Ah iya. Hanya ini kok."
Lagi-lagi Sandra mendesah kecil. Jangan sampai kesulitan yang ia alami saat ini terbaca oleh Arsoni. Sebagaimana dulu dia sering membantunya. Kali ini dia ingin berjuang sendiri saja.
"Sini aku bawa ke tempat sayur. Kau harus makan sayur juga biar sehat. Setelahnya membeli camilan untuk bekal Sky main."
Terlambat, Arsoni sudah mendorong kereta belanja ke arah buah dan sayur. Memilih-milih bagian yang segar. Jika ada waktu dia ingin juga memakan masakan Sandra kembali.
Melihat Arsoni yang kalap memasukkan berbagai jenis, Sandra buru-buru menahan tangan kekar itu.
"Stop Arsoni. Ini berlebihan sekali. Tidak akan habis aku makan dengan Sky," ujarnya.
Bukan itu alasan utama, sebenarnya Sandra hanya takut tagihannya membengkak. Terlebih dia masih belum dapat pekerjaan.
"Kalau begitu, undanglah aku makan di rumahmu. Kau ini tega sekali padaku. Sudah lama di Indonesia belum juga meresmikan hunian barumu."
Arsoni memanyunkan bibirnya merajuk. Jurus paling ampuh agar permintaannya dituruti Sandra. Dia bisa melihat kelitan tidak tega dari perempuan ini.
"Ya tentu saja. Kau kabari waktu senggangmu. Kita bisa makan malam bersama," ujar Sandra pasrah.
Dia jadi lebih lega untuk merelakan uangnya untuk membeli semua ini. Anggap saja menyambung silaturahmi pada Arsoni yang lama tidak berjumpa.
Dulu awal di Kanada, lelaki ini yang sering membantunya. Setelah dia mendapat tugas di Eropa mereka sempat hilang kontak. Hingga Arsoni menghubunginya kembali meski hanya via telepon.
"Baiklah, aku akan tanya sekretarisku dulu. Siap-siap aku akan menghabiskan apa yang kau buat."
Arsoni tampak semangat, dia kembali mendorong ke arah buah, dilanjutkan dengan membeli camilan dan minuman.
Hingga tiba di kasir, dia lebih dulu menyodorkan kartu debitnya. Tidak perduli dengan protesan dari Sandra.
"Aku akan menikmati makanan ini juga. Jangan menolak oke."
Sandra hanya pasrah saja. Meksi ada untungnya juga baginya. Dia menganggap ini adalah rejeki untuknya.
"Aku antar ya."
"Terima kasih ya."
Keduanya menuju BMW putih yang terparkir rapi di depan supermarket. Memasukkan barang-barang. Tak lama Arsoni memanuver mobilnya.
"Kau sudah yakin 'kan San akan tinggal di Indonesia?" tanya Arsoni memecah keheningan.
"Ya. Tapi tak menutup kemungkinan kalau tidak juga dapat pekerjaan, sebaiknya kembali ke Kanada."
Arsoni mengerutkan keningnya. "Kau sedang cari kerja?" tanyanya heran. Setahunya Sandra dekat lagi dengan Bara. Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya.
"Ya begitulah. Susah ya cari kerja di Indonesia," ujar Sandra sembari bercanda. Dia sudah melihat wajah masam Arsoni. Pertanda buruk.
"Kenapa tidak bilang? Kau bisa bekerja di kantorku. Coba kirim CV-mu. Aku akan tanya bagian HRD ada posisi apa yang kosong."
Sandra mendesah kecil. Dia tidak suka dikasihani. Tapi jujur saja saat ini sedang butuh.
"Terima kasih ya. Tapi tidak perlu memaksa. Aku masih berusaha cari," tolak Sandra secara halus, takut Arsoni tersinggung.
"Oh tidak. Kau tetap melakukan uji coba sesuai peraturan kantor. Aku hanya membantu merekomendasikan saja. Jangan berpikir buruk San. Aku yakin kau mampu kok, tanpa aku sekali pun."
Arsoni tersenyum ke arah Sandra. Tidak enak juga niatnya disalahartikan oleh perempuan beranak satu ini.
"Iya terima kasih. Nanti aku kirimkan."
Mobil telah berhenti di depan gedung apartemen. Sebuah panggilan terjadi, Arsoni buru-buru mengangkat.
"Iya Ma, ini mau jalan."
Panggilan terputus, dan kembali memandang Sandra. "San, maaf aku tidak bisa ikut bantu ke atas. Aku minta bantu Pak Satpam saja ya. Mamaku menunggu terlalu lama."
Rupanya panggilan dari ibunya Arsoni. Sudah pasti laki-laki itu terburu-buru sekali. Sandra hanya mengangguk. Dia tidak perlu sampai dibantu satpam. Merasa bisa membawa banyak belajaannya ke atas.
Dengan susah payah, akhirnya sampai juga ke unitnya. Dia menekan angka kombinasi dan memanggil Sky. Yang tentu saja tidak dijawab si anak itu.
Terlalu fokus dengan barang-barang dapurnya. Sandra sampai mengabaikan sosok menjulang di depannya. Matanya sudah tajam menusuk ketenteraman hati Sandra.
"Mengapa tidak mengangkat telepon?"
***