"Mr. and Mrs. Hernandez!"
Panggilan cukup keras dari seorang perempuan, membuat Bara dan Sandra menoleh. Sementara Sky memilih melanjutkan langkah ke mobil. Karena kekacauan ini, mereka memutuskan untuk pulang dan meniadakan kegiatan sekolah hari ini.
"Terima kasih telah menunggu," ucapnya terengah. Tak lama disusul suami dan anaknya Erlangga.
"Ada apa ya? Em, Mrs. Raymond ya?" tanya Sandra memastikan.
"Iya. Kami ingin berterima kasih kepada Mr. dan Mrs. Hernandez. Terutama Sky. Berkat putera kalian, anak kami masih bisa sekolah di sini."
Baik Bara dan Sandra saling pandang, tidak mengerti arah pembicaraan dari Nyonya Raymond tersebut.
"Kaki sebelah kiri anak kami lumpuh sejak dua tahun yang lalu. Sejak masuk usia sekolah, baru kali ini dia bersorak mendapatkan teman. Sudah tiga kali sejak setahun belakangan, dia pindah sekolah karena dirundung cacat. Bahkan harus mengulang kelas. Terima kasih karena telah menutupi anak kami sebagai alasan Sky dan Rendi bertengkar."
Tiga orang di hadapan Sandra dan Bara menundukkan kepala. Merasa berjasa pada keluarga Hernandez, lantaran anak mereka Sky yang tidak membawa Erlangga dalam pertengkaran yang terjadi. Jika Sky memilih jujur tadi, sudah pasti Erlangga akan keluar dari sekolah lagi. Hal itu membuat anaknya terluka.
"Astaga, saya kira ada apa. Jangan menunduk begitu Mrs. dan Mr. Raymond. Anak kalian berhak mendapat pendidikan yang layak. Ada atau tidaknya tindakan Sky tadi. Jangan berkecil hati. Tidak baik untuk mental anak kalian. Bersabarlah."
Bara mengeluarkan suaranya. Dia tidak suka dipuji untuk sesuatu yang tidak diperbuatnya. Terlalu berlebihan rasanya ada orang tua murid yang menyanjung dia dan keluarganya sedemikian.
"Kau yang bernama Erlangga?" tanya Bara menoleh pada anak laki-laki yang memakai kruk.
"Iya Paman," sahutnya gugup.
"Terima kasih mau berteman dengan Sky. Hati-hati selalu, tapi kekuranganmu bukan kelemahan."
Erlangga mengangkat wajahnya. Terlihat bola mata tajam Bara menusuk jantungnya.
"Terima kasih atas kemurahan hati Mr. dan Mrs. Sebagai ucapan terima kasih, apa kami boleh mengundang kalian makan malam di rumah kami?"
"Ya tentu saja." Sandra yang menjawab dengan tersenyum. Dia sebenarnya begitu terkejut sekaligus lega. Di balik sikap bar-bar anaknya, ternyata untuk melindungi seseorang.
"Ah saya sangat terharu. Kami akan kirimkan alamatnya. Mrs. Hernandez boleh minta nomor telepon yang bisa dihubungi?" ujar Mrs. Raymond atau Dewi, ibu Erlangga dengan kaku.
"Yah boleh. Panggil saja Sandra."
Mereka bertukar kontak dan tak lama saling melambaikan tangan. Mengakhiri pertemuan dengan hal yang manis.
"Dengarkan, bahkan orang lain mengatakan Mr. and Mrs. Hernandez. Kau itu cocok memang sebagai Nyonya Hernandez."
Sandra mencubit lengan Bara dengan keras. Baru saja keharuan menyelimuti dirinya, malah dihancurkan oleh suaminya. Menyebalkan.
"Bisa 'kan tidak main cubit," gerutu Bara sebal.
"Tidak. Harusnya otakmu yang aku cubit. Biar mikir."
"Aku mikir kok. Ini lagi mikir, bagaimana caranya biar kau bisa mengakui aku suamimu lagi."
Bara melenggang santai ke arah mobil. Membiarkan Sandra berpikir sejenak untuk kata-katanya.
***
Dalam perjalanan pulang, tidak ada pembicaraan yang terlontar. Sandra memilih memainkan ponselnya. Bara sibuk menyetir, sementara Sky memandang ke arah jendela. Anak laki-laki itu sebenernya sudah menyiapkan telinga dan hatinya untuk diomeli. Tapi justru keheningan yang ia dapatkan. Jika begini, sudah pasti setelah sampai rumah hal itu akan terjadi.
"Kau istirahat saja Sky. Mama mau menyiapkan makan siang. Nanti Mama panggil jika telah siap," ucap Sandra sembari melenggang santai ke arah dapur.
Sky mengerutkan keningnya heran. Tidak biasanya ibunya absen mengomel seperti ini. Malah terdengar senandung kecil dari bibir perempuan itu sembari membongkar bahan masakan.
"Kau tidak ke kamar? Atau mau menemani Papa menonton televisi?" tegur Bara yang mendapati Sky hanya terheran di depan pintu.
"Om tidak ke kantor?" tanya Sky mengalihkan pertanyaan.
"Nanti setelah makan siang. Tidak ada jadwal penting juga kalau sekarang."
Sky mengangguk tanpa kata, melanjutkan langkahnya yang tertunda. Anggap saja hari ini bonus untuknya. Melupakan kejadian ini dan menikmati game panas di layar komputer.
Sedangkan Bara hanya menggeleng kepala. Sama ibunya dia tidak acuhkan. Sama anaknya sama saja. Karena bosan sendirian, dia memutuskan ke dapur menemui istrinya.
"Dear, ada yang bisa aku bantu?"
Seperti adegan romantis di film-film, Bara memeluk Sandra dari belakang. Perempuan itu terkejut dan hampir saja melayangkan sodet ke kepala Bara.
"Bisa minggir tidak? Kau mau aku rebus bersamaan dengan ayam ini?" ucap Sandra dengan galak.
"Apa pun Dear. Selama membuatmu senang," sahut Bara dengan santainya.
Bibirnya mengecup belakang leher Sandra yang terbuka.
"Astaga Bara, kau benar-benar mau aku rebus hidup-hidup hah!"
Sandra memutar tubuhnya. Kali ini wajah mereka bertemu. Ada semburat rindu di mata keduanya. Setidaknya itu yang mereka rasakan, namun enggan mengakuinya.
"Astaga, kau lucu sekali. Jadi ingin menggenggam bibir ini dengan bibirku."
Bara membelai bibir merah di hadapannya. Berharap sekali warna lipstik itu memudar karena ulahnya.
"Kau cantik sekali sih?" gumam Bara lirih, tapi masih bisa didengar Sandra.
"Minggir deh Bara. Aku mau masak. Keburu Sky kelaparan."
Bara tidak bergeming. Masih sibuk menimbang menerkam Sandra atau tidak.
"Ih, diajak bicara malah diam saja."
Sandra mendorong tubuh Bara yang memeluknya. Tidak ada perlawanan darinya. Menerima begitu saja perlakuan istrinya. Seakan tenaga Bara telah tersedot habis.
"Tumben gak melawan," sindir Sandra terang-terangan.
"Kalau melawan nanti kau terangsang loh."
Sandra memonyongkan bibirnya kesal. Tak menanggapi lagi kekehan Bara yang terus menggodanya. Dia memfokuskan memasak untuk makan siang nanti. Rencananya dia akan masak ayam geprek. Kemarin saat memakan ini bersama Sky, anak laki-lakinya terlihat suka. Tentu saja Sandra tidak akan melewatkan mencoba membuat apa saja yang menjadi kesukaan anaknya.
Tiga puluh menit berselang, tidak ada suara dari Bara. Sandra begitu sibuk meracik bumbu, hingga tidak menyadari keberadaan Bara.
"Ke mana orang itu? Tumben sekali gak pamit. Apa aku yang terlalu abai?"
Sandra buru-buru menggeleng pertanyaannya. Untuk apa juga dia berkata seperti tadi. Malah bagus jika Bara tidak ada di dapur. Dirinya bisa fokus dengan pekerjaannya.
Hingga selesai menyajikan di atas meja makan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Bara. Sandra memutuskan memanggil Sky terlebih dahulu sebelum mencari suaminya.
Tok tok ...!
"Sky, makanan telah siap. Ayo makan!" ucapnya dari balik pintu.
"Iya."
Terdengar sahutan dari dalam. Sandra memutuskan berbalik tanpa masuk ke dalam.
"Mama tunggu. Cepat ya!"
Langkah kakinya menyusur sekitar. Apartemennya termasuk kecil. Tidak semewah milik Bara, cukup untuknya dan Sky. Seharusnya tidak susah mencari keberadaan Bara.
"Ke mana laki-laki itu."
Sandra mendengar suara pria menelpon dari arah balkon kamarnya. Feeling-nya berkata itu Bara. Bergegas ia mempercepat langkah menuju kamarnya.
Suaranya seperti menelepon. Sandra memutuskan diam sejenak untuk menghormati Bara dan lawan bicaranya.
"Sudah kubilang tidak bisa. Tidak bisa ya tidak bisa. Jangan terus memaksa!" ucap Bara dengan nada tinggi.
Sandra tidak bisa mendengar lawan bicaranya berkata apa. Karena Bara tak mengeraskan volume suaranya.
Mulutnya Bara sudah terbuka sedikit. Pandangannya beralih pada Sandra yang tengah menatapnya. K wwwemudian dia tersenyum.
"Sudah ya Kak. Bye!" ucapnya menutup panggilan.
"Hei Mrs. Hernandez!" panggil Bara riang menghampiri Sandra.
***