Perempuan ini memiliki mata yang lebar. Rambutnya ikal dibagian ujungnya saja. Hitam legam bertolak belakang dengan kulitnya yang seputih susu. Masih muda, dan tentunya cantik sekali.
"Ya," ucap singkat Bara. Meski pendek, bibir pria itu tetap tersenyum ramah.
"Wah kebetulan sekali. Saya berada di lantai dua puluh satu. Bisa mampir sesekali waktu Pak Bara. Akan saya siapkan anggur terbaik," ucap perempuan itu dengan sumringah.
Yang Sandra heran, apa dia tidak melihat keberadaan dirinya dan Sky. Sudah jelas sekali Bara berjalan bersisian dengan dirinya. Tidak punya malu untuk menawarkan mampir dan anggur.
"Ya, tidak janji."
"Saya akan menunggu. Ah lift telah terbuka. Saya duluan Pak Bara, take care."
Perempuan itu menaiki lift dan tertutup. Bergerak ke atas melewati lorong-lorong untuk sampai ke unitnya. Sementara keluarga kecil Bara melanjutkan langkah menuju parkir area.
"Sky, seharusnya yang kau peringati untuk tidak tebar pesona itu yang ini, bukan yang ini."
Sandra berkata pada Sky. Nadanya menekan seperti jelas menyindir seseorang.
"Yang ini bukan yang ini. Siapa maksudnya?" tanya Bara yang tidak mengerti maksud perkataan Sandra.
Sandra hanya melirik malas. Tidak selera menjelaskan. Bara memandang Sky di belakang dirinya. Anak lelakinya juga sama terbungkam.
"Ada apa Sky? Apa ada yang terlewat dari Papa?" ujarnya pada anak semata wayangnya.
"Kau melewatkan tujuh tahun, jikalau lupa," sahut Sandra yang tampak kesal.
"Ah maaf. Maksudku untuk hari ini."
Bara merasa salah tingkah. Sepertinya hari-hari ke depan akan begitu berat untuknya.
"Tidak ada, hanya ada perempuan yang sedang cemburu saja," sahut Sky dari belakang.
Sandra langsung melotot tidak terima. "Siapa yang cemburu Sky. Sebaiknya kau tutup mulutmu."
Bara semakin tidak mengerti. Dia menyetir mobil dengan keadaan yang tidak tahu apa-apa. Sungguh menjengkelkan.
"Siapa yang cemburu? Apa Mamamu cemburu dengan rekan papa tadi Sky?" tanya Bara dengan rasa penasaran yang menggebu.
Sky hanya mengangkat bahunya tak acuh. Tidak berminat untuk menjadi sasaran kekesalan ibunya lebih jauh. Berkata jujur seperti tadi saja, dia telah mendapat pelototan tajam.
"Baiklah, kau berutang penjelasan pada Papa nanti Sky," kelakar Bara.
Sandra memonyongkan bibirnya. Tidak suka jika mereka akrab hanya untuk mengolok dirinya. Tidak bisakah, pria beranak itu menangguhkan rasa penasarannya dahulu.
***
Sesampainya di restoran Italia, Bara menggandeng pinggang ramping Sandra. Beberapa kali terdapat penolakan dari perempuan tersebut. Sampai akhirnya, ada yang menegur mereka.
"San, kau di sini?"
Soni tampak tersenyum, di bawah sinar lampu restoran yang temaram menjadikan pria tampan tersebut bercahaya.
"Hai," sapa canggung Sandra.
"Halo Paman. Kita berjumpa kembali," tegur Soni pada Bara yang merupakan pamannya.
Bara hanya mengangguk pelan. Tidak menyahuti tatapan sendu keponakannya. Digandengnya erat Sandra seolah bisa lepas dari genggaman. Di samping kirinya, Sky tampak biasa saja.
Sementara Soni yang merasa terbuang, mencoba mendekati kembali mereka.
"Kalian akan makan malam di sini? Boleh aku bergabung? Kebetulan tadi meeting dan belum sempat makan apa pun," ujar Soni. Gerakannya cepat menyamai langkah kaki Bara dan Sandra.
"Ya boleh saja Soni," sahut Sandra tanpa meminta persetujuan Bara dahulu.
Tentu saja hal itu memancing emosi Bara. Dia hanya mau makan malam bersama keluarga kecilnya, tanpa kehadiran parasit.
"Pergi jauh-jauh Soni. Apa kau tak malu?" sindir Bara. Rahangnya mengeras tanda tak suka.
Beda halnya dengan pemuda itu yang tampak tidak acuh. Dia berjalan sejajar dengan mereka bertiga. Mengikuti langkah kaki keluarga yang telah utuh kembali.
Sandra santai, Sky datar, Bara cemberut. Rencananya quality time bersama keluarga kecilnya musnah sudah. Apalagi melihat Sandra dan Soni yang beberapa kali terlihat pembicaraan.
Hidangan telah tersedia. Sky memilih menu pasta carbonara yang juga disukai Bara dan Soni. Sementara Sandra lebih memilih spaghetti bolognese.
Bara sempat tidak suka saat Soni juga memesan hal yang sama dengannya. Keintiman dengan puteranya hilang sudah. Dia pikir bisa sekalian pendekatan dengan ibu dan anak tersebut.
"Om tidak menyangka kau masih menyukai menu ini Sky," kekeh Soni.
"Ya."
Sky memilih menjawab singkat. Sebenarnya dia tidak suka Soni ada di sini. Tapi juga membenarkan kehadirannya. Bocah lelaki itu tampak biasa saja. Datar seperti biasa.
"Ini akan menjadi—"
"Sebaiknya kau pindah meja saja Arsoni," semprot Bara tiba-tiba. Dia tidak suka jika Soni terlalu banyak bicara di meja makannya.
"Ah santai saja Paman. Aku akan pindah jika Sandra yang memintanya," ujar Soni tak acuh.
Sontak saja Bara langsung melotot ke arah Sandra yang tidak merasa bersalah sama sekali. Tatapannya menghunus hingga perempuan itu tersadar.
'Kau harus membayarnya nanti di atas ranjang, San.'
Sandra tersentak saat tahu tatapan Bara memiliki pembicaraan khusus untuknya. Sebuah kesalahan untuknya menghadirkan Soni di tengah-tengah mereka. Tapi juga suatu anugerah untuknya. Dirinya sendiri tampak bimbang saat ini.
"Jangan menatap ibuku macam itu Om. Dia bisa lari darimu sebelum kau melangkah," protes Sky.
Bara menoleh ke arah puteranya yang masih tenang menyantap menu di atas piringnya. Meski terkesan tak acuh, Sky memang pemerhati ulung. Bisa menangkap situasi yang tidak mengenakan seperti saat ini.
"Tentu tidak Sky. Papa hanya mengagumi kecantikan Mamamu," kilah Bara. Tangannya menggelus lembut rambut Sky yang lebat.
"Sandra memang selalu cantik Paman. Apa lagi saat dia sedang mengandung Sky dulu. Aura keibuan, kegadisan, bertemu menjadi satu pada dirinya. Aku tidak menyangka, bidadari bisa mengandung pangeran tampan."
Bara tersentak. Ada senyum getir yang melintas di bibirnya. Dia menganggap ucapan Soni sedang menyindir dirinya. Tentu benar. Seperti apa rupa Sandra dulu, dia tidak tahu sama sekali. Hanya fotonya saja yang bisa dia lihat. Itu pun jarang sekali. Jika rindu teramat sangat saja. Meminta pengintai untuk memotret Sandra.
"Kau terlalu berlebihan Soni. Aku biasa saja. Itu hanya efek kehamilan," kekeh Sandra.
"Ya bisa jadi. Seorang ibu yang baik akan terlihat begitu cantik. Tidak peduli di mana ayah si jabang bayi berada."
Soni kembali terkekeh diikuti Sandra yang tertawa kecil. Keduanya seakan punya dunia sendiri. Menyisakan sesak di dada Bara. Dalam sekejap, Bara menjadi pria yang turun tahta dari sang raja yang disegani, menjadi pria pecundang yang pantas diperolok.
"Sudah Soni, lebih baik lanjutkan makannya. Nanti dingin pastanya."
"Ya tentu saja. Kau juga harus makan yang banyak. Sky butuh ibunya sehat."
Bara meraba sesuatu di kantong celananya. Saat tidak mendapatkan apapun, dia mendesah kecewa. Andai saja korek api tidak luput dari kantongnya. Ingin sekali, pasta dalam piring Soni dia bakar habis. Rasanya kesal sekali mendapati istrinya berayu mesra dengan pria lain di hadapannya.
"Setelah ini, kau mau ke mana Nak?" tanya Bara kepada Sky untuk mengalihkan suasana hatinya.
"Pulang. Sudah ditunggu teman."
"Oh temanmu mau datang? Apa dia perempuan?" goda Bara.
Tidak disangka wajah Sky memerah. Apa ucapan asalnya memang benar.
"Tidak. Hanya di virtual."
Sandra meletakan garpu dengan sedikit kasar.
"Sky Mama sudah bilang kurangi games kan?"
"Ya. Tapi itu bukan games. Aku tidak punya waktu untuk bermain Ma," ujar Sky.
"Itu permainan Sky." Sandra tampak tidak berdaya jika sudah berdebat dengan puteranya.
"Sudah. Kita nanti cari solusi ya Mama Sandra. Bukan seperti ini melerai anak-anak."
"Aku bukan anak-anak Om," kilah Sky lebih dulu.
"Ah iya, anak Papa memang sudah besar."
Sandra mendesah kesal. "Kalian jangan berbuat seenaknya di belakang Mama ya. Awas saja!"
Sky dan Bara kompak tertawa. Menyisihkan Soni yang tertegun melihat interaksi ke tiganya. Tampak keluarga utuh. Apa kehadirannya memang menggangu seperti parasit.
***