Seharusnya malam ini akan menjadi hari yang menyenangkan untuk keluarga kecil ini. Kehadiran pengganggu yang tidak diduga menjadi masalah bagi mereka. Terlebih bagi Bara. Sudah lama menanti, malah berakhir dengan ngambeknya Sandra.
"Seharusnya 'kan aku yang kesal. Kok Mamamu yang manyun ya Sky?" ujar Bara sambil melirik ke arah spion melihat puteranya.
"Biasa perempuan," sahut Sky singkat.
"Ah iya benar sekali."
Bara hanya tersenyum miring. Apa lagi dialog singkat dengan Sky malah semakin membuat Sandra memonyongkan bibirnya. Tidak ada niatan dari perempuan itu untuk berkata apapun.
"Sudah sampai Boy. Apa kau tertidur?" Bara menoleh ke belakang. Ternyata benar, anak lelakinya memejamkan mata.
"Sky."
Akhirnya Sandra bicara juga. Meski hanya memanggil Sky dengan lirih.
"Tidak perlu dibangunkan. Biar aku gendong ke atas."
Bara membuka pintu mobilnya. Dilanjutkan ke arah di mana Sky duduk dengan terlelap. Dengkuran halus terdengar bersamaan deru napas yang teratur. Malam ini akan menjadi kali pertama untuk Bara menggendong anak kandungnya.
Sandra berjalan lebih dulu. Dia tidak sanggup melihat pemandangan yang amat didambakannya. Entah apa yang terjadi hingga puteranya malah tidur di mobil. Selama jalan dengannya, setelah bisa berjalan, Sky tidak sekali pun terlelap ketika perjalanan.
Dengan menata perasaannya, Sandra menuntun Bara membuka lift menuju unit. Mengantarkannya ke kamar Sky. Tentu ia juga ikut memastikan anaknya tidak terbangun.
"Tugasmu sudah selesai. Terima kasih," ucap Sandra dingin.
"Em iya iya. Tapi ibunya juga belum digendong."
Tanpa persetujuan, Bara menggendong Sandra. Kaki perempuan itu mengentak di udara. Tidak terima dengan perlakuan Bara.
"Apa sih Bara!" sungutnya kesal.
Mata mereka bertemu. Di bawah rengkuhan Bara, Sandra hanya bisa bergerak gelisah.
"Sudah pernah kukatakan, jangan bergerak seenaknya di bawahku ... San."
Mau tak mau Sandra menghentikan gesekan tubuhnya. Menatap Bara dengan angkuh.
"Apa maumu Bara Hernandez?" ucapnya dengan nada yang jutek. "Aku sungguh lelah jika berputar-putar denganmu tanpa kau tak tau malu begini."
Bara tersenyum lembut. Tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Sandra barusan.
"Jangan bilang kau memintaku meresmikan ke khalayak jika aku punya kau dan Sky, tentunya."
"Jangan mimpi!"
Entah dapat kekuatan dari mana, Sandra berhasil mendorong dada Bara menjauh darinya. Tubuhnya terbebas dari otot kekar yang mendominasi. Dia menarik napas dengan rakus. Membuatnya teratur.
"Siapa yang mau kembali dengan Anda? Tidak ada Tuan. Jadi sebaiknya Anda pulang saja. Pintu apartemen ini selalu terbuka untuk kepergian Anda." Sandra menunjuk arah pintu kamarnya.
"... dan terbuka untuk kedatanganku."
Sandra menggigit bibirnya menahan amarah. Giginya sudah bertaut di dalam mulutnya. Sengaja menahan diri untuk tidak berkata kasar. Biar bagaimanapun dia masih miskin. Akan gawat jika Bara sampai tidak suka dan melaporkannya.
"Kalau mau digigit bibirnya, aku bisa mewakili San."
Bara mendekat. Diambilnya dagu mulus Sandra. Tanpa persetujuan mengikis jarak di antara mereka. Gigitan kecil juga dilayangkan Bara sebagai wujud perkataannya barusan.
"Kurang ajar Bara sialan!" umpat Sandra setelah berhasil melepaskan diri.
Dia merasa malu beberapa detik menikmati perlakuan Bara. Otaknya harus kembali ke mode realistis, jika tidak mau terjun ke kesalahan yang sama.
"Kau boleh mencaci maki diriku sepuasmu San. Asal jangan mencari laki-laki lain. Apa lagi semodel dengan Arsoni. Dia bukan hanya tidak baik. Tapi juga psikopat."
Sandra mengalihkan pandangannya. "Lalu maksudnya Anda baik? Begitu Tuan Hernandez?" cibir Sandra setelahnya. Wajahnya masih menyamping, menghindari sengatan pesona Bara.
"Tidak juga. Tapi cintaku tulus padamu. Aku yakin kau juga sama."
"Cih, percaya diri sekali Anda!"
Bara malah tertawa keras. Dia kembali mendekat ke wajah Sandra. Mengelus pipinya yang begitu lembut. Menatap kembali bibirnya yang ia nikmati tadi.
"Kau kenapa cantik sekali sih. Aku jadi—"
"Stop memuji jika anda hanya sekedar ingin Bara."
Sandra mendorong dada Bara kuat. Bahkan kali ini hingga melewati pintu kamar. Mereka keluar dan telah sampai di ruang tengah.
Lelaki itu paham, jika Sandra ingin mengusirnya. Sebelum benar-benar sampai ke pintu keluar, dia menghentikan Sandra dengan menggenggam tangannya.
"Aku selalu ingin melakukan itu. Walau hanya melihat fotomu," ucapnya tanpa ada dibuat-buat.
Perempuan yang digenggamnya hanya melengos. Dia tidak akan mudah terbujuk rayuan lelaki macam Bara lagi. Apa lagi sama sosoknya.
"Pulanglah. Kau bisa temui Sky besok pagi lagi."
Bara menggeleng. Dia tidak mau terusir dari malam Sandra. Sebisa mungkin dirinya selalu hadir untuk kegelapan yang akan membingkai nanti.
"Gelap loh. Kita tidak akan melakukannya. Aku janji. Hanya tidur di ranjang yang sama."
Bukannya senyum tulus yang dicetak Bara. Melainkan senyum penuh mesum yang justru dia lemparkan. Tentu saja Sandra tahu apa maksud dari kata pertama ucapannya barusan. Itu yang sesungguhnya akan terjadi. Bukan kalimat setelah titik yang hendak diperbuat Bara. Omong kosong lelaki.
"Tuan, hamba menemani selama tiga tahun. Sudah barang tentu hafal sekali tabiat yang tercetak di wajah sok ganteng Anda."
Lelaki itu hanya terkekeh. Dia pikir masih bisa mengelabuhi Sandra. Nyatanya perempuan itu telah jauh lebih pintar. Tujuh tahun sendiri, tentu tak hanya satu dua lelaki yang mendekat.
"Ah kau pintar sekali Sayang. Jika kau telah mengerti, bukankah seharusnya kita melakukannya. Untuk apa ditunda-tunda. Lagi pula Sky sudah lumayan besar untuk memangku adik, bukan?"
Sandra melotot tajam. Kenapa lelaki ini begitu sulit diusir. Bahkan saat ini terang-terangan ingin menghamilinya. Cobaan apa lagi yang harus dirinya pikul kelak.
"Kau sakit Bara. Sebaiknya ke dokter untuk memeriksa gangguan apa yang bersarang di otakmu!"
Jemari lentik Sandra mendorong dada bidang yang enak untuk bersandar itu. Membuat tubuhnya mundur beberapa langkah. Tapi sigap menangkap jemarinya kembali.
"San, aku tidak tahu dengan cara apa lagi. Jadi kupikirkan menghamilimu saja. Ayo!"
"Aw ...!"
Cengkeraman Bara yang menyeret Sandra kembali ke kamar, berhasil digigit perempuan itu. Dengan sigap diangkatnya kursi plastik kecil, tempatnya menaikan kaki.
"Pergi atau kursi ini mendarat di otak kecilmu!" pekik Sandra geram. Tubuhnya gemetar antara takut dengan kenekatan Bara atau perbuatannya nanti. Yang terpenting lelaki itu pergi dari apartemennya.
"Harusnya kau ambil vas keramik. Mana bisa aku terluka hanya dengan kursi plastik seperti itu? Bahkan aku tak yakin Sky akan terganggu jika kau melakukannya."
Sandra menatap benda di atas kepalanya. Benar juga apa yang dibilang Bara. Ketakutan telah membuatnya bodoh.
"Ah Bara, kau benar-benar telah gila!"
Dia tak tahan untuk membanting kursi ke lantai. Menimbulkan bunyi yang tidak begitu keras. Benar-benar tidak berfungsi.
"Astaga Sayang. Aku memang tahu kau tergila-gila padaku. Hanya saja—"
"Diam ...! Pergi kau!"
Bara menatap mesra Sandra. Usahanya belum membuahkan hasil malam ini. Dengan terpaksa dia akan pergi. Takut juga jika Sandra nekad. Jika dia yang terluka masih bisa ditolerir. Tapi jika perempuan ini, Bara tidak bisa membayangkan lagi.
"Oke Dear. Besok pagi aku jemput Sky. Siapkan sarapan spesial untukku."
***