"Bisa dijelaskan Sandra?"
Mrs. Pamungkas memandang tajam asisten yang baru saja direkrutnya kemarin. Belum genap dua puluh empat jam bekerja, dia telah membuat ulah.
"Jauhkan tatapan sinismu Jeng!" ujar Bara merasa keberatan dengan pandangan Ajeng atau Mrs. Pamungkas.
"Oke ... oke. Aku tidak punya banyak waktu untuk bertanya. Sekarang siapa di antara kalian yang ingin menjelaskan. Sebelum aku keluar dan merasa menjadi orang bodoh di depan pewarta itu."
Sandra memilin kemejanya. Tampak gugup mendengar cuitan bos barunya. Dia merasa gagal untuk kepercayaan. Semua ini hanya karena satu orang.
"Kami menikah sebelumnya. Karena kesalahpahaman berpisah, sehingga Sandra harus bekerja. Aku akan memulai dari awal lagi dengannya. Jadi ijinkan dia keluar Jeng. Kau bisa cari asisten lain."
Jika tidak ada Mrs. Pamungkas ingin sekali Sandra menampar bolak-balik mulut Bara yang seenaknya bicara. Dia belum setuju rujuk dengannya. Tapi memohon untuk bisa bekerja dengan Mrs. Pamungkas juga tidak mungkin dia lakukan.
"Lalu apa hubungannya dengan wartawan di luar sana!" Mrs. Pamungkas belum mengerti korelasinya.
"Mana aku tahu Ajeng. Ini kantormu!" sahut Bara santai.
"Iya benar kantorku. Tapi yang mereka cari istrimu!" sungut Mrs. Pamungkas tidak terima.
"Ya sudah kau temui saja sana. Bilang istriku tidak ada di sini."
Mrs. Pamungkas ingin sekali menembak kepala Bara dengan sepatu heels yang ia pakai. Terlebih sikap Sandra yang diam saja. Dia merasa geram. Mungkin lain waktu dia harus menyeret perempuan itu. Takut-takut jika dia sedang berada dalam ancaman Bara.
"Kalian tunggu di sini. Rumi, awasi mereka. Jangan sampai kabur."
Bara hanya mengangkat bahu tidak acuh atas ucapan istri dari sahabatnya itu. Dia bahkan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi asistennya akan terlambat datang.
Hening di ruangan besar ini. Sandra masih memalingkan wajahnya dari Bara. Seakan tidak sudi melirik pria yang telah menghancurkan karirnya hari ini. Otaknya bahkan sedang berpikir, ke mana lagi dia akan mencari pekerjaan.
Dia tidak mau kembali dengan Bara. Tapi tidak mungkin mengandalkan hidup dengan uang tabungan yang semakin menipis. Ada Sky yang harus dia perhatikan.
"Memikirkan apa?" tanya Bara enteng. Hanya ujung matanya yang melirik Sandra. Dia masih sibuk berkutat dengan layar enam setengah inci di hadapannya.
"Mikirkan mau melekatkan lamaran di mana lagi setelah ini," sahut Sandra ketus.
"Oh." Bara hanya bergumam enteng. Merasa bukan hal yang berat. Dia bahkan hanya menganggap Sandra meminta pekerjaan padanya. Toh gampang saja jawabnya nanti. Tinggal memakai baju seksi dan melayaninya setiap malam.
Sementara melihat reaksi Bara yang tidak acuh, semakin membuat Sandra jengkel. Apa maksud dari semua yang Bara lakukan padanya. Tidak bisakah dia membuat hidupnya tenang kembali.
Brak ...!
Pintu ruangan di tutup kencang. Mrs. Pamungkas datang masih dengan gayanya yang berkelas, tapi tampak lebih kesal dari sebelumnya.
"Bara kau benar-benar ya! Kau belum membuka identitas istrimu ke khalayak!" tempak Mrs. Pamungkas dengan deru napas yang menggebu.
"Ya. Setelah ini akan aku umumkan. Jika istriku telah siap."
Bara melirik Sandra yang juga menatapnya hampa. Macam-macam yang tengah dipikirkan perempuan itu hingga tatapannya kosong. Tidak tahu harus bertindak seperti apa.
"Gila ya. Awas aja kalau agensiku berpengaruh. Lagian kau resek sekali."
"Sudahlah Jeng. Nanti aku transer uang tutup mulutnya. Wartawan itu telah pergi kan? Ayo Sayang, pulang."
"Eh ... eh gila ya. Kau mau menyogok!" Mrs. Pamungkas tidak terima. Meski suka uang, tapi dia juga tidak suka disepelekan. Apalagi oleh kawan suaminya. Yang otomatis sudah menjadi kawannya juga.
"Tidak. Kau kemarin membawa proposal yang cukup pentingkan? Aku bisa berubah pikiran untuk mendanainya."
Bara mengedipkan sebelah matanya. Menggandeng Sandra yang tampak menurut olehnya. Sementara Mrs. Pamungkas meski kesal, dia tidak berkutik mendengar ucapan Bara tadi.
"Rumi, kau bisa pinjamkan kacamata baru untuk istriku?"
Rumi yang dari tadi hanya menyimak, mendadak mengangguk. Dia mengambil kotak hitam di laci bosnya. Menyerahkan begitu saja pada Bara.
"San, pakai ini ya. Sebelum kau siap go publik aku akan menjaga privasimu."
Sandra menerimanya. Memang selama ini dia tidak mau terlalu terbuka dengan kehidupan glamor Bara. Dia selalu merasa belum siap. Lagi pula selama ini juga Bara tidak tertarik mengenalkan siapa istrinya ke publik. Dia hanya mengumumkan telah menikah. Itu saja.
"Ayo kita kembali."
Demi menghilangkan rumor lainnya, terpaksa Sandra menerima gandengan tangan Bara. Sepatunya berjalan beriringan dengan Bara yang melangkah cukup kecil mengikuti langkah kakinya. Bara memang selalu seperti itu. Menyamakan lebar langkah dirinya. Hal sederhana yang membuat Sandra jatuh cinta.
"Terima kasih telah bersikap sungguh manis Sayang."
***
Sandra hanya pasrah saja mau dibawa ke mana oleh Bara. Sambil bertemu dengan strategi yang bagus untuk melawan makhluk tak berperasaan ini. Dia memilih mengikuti apa maunya Bara. Itung-itung untuk menghemat energi yang ia miliki.
"Bara ini ...."
"Ayo turun."
Klek ...! Bara membukakan seat belt yang terpasang di pundak Sandra. Keluar mobil lebih dulu dan memutar badan ke pintu satunya. Tangannya terulur mengambil Sandra dari tempat duduknya.
"Aku bisa sendiri," ujar Sandra dingin.
Bara menarik kembali tangannya. Membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Toh itu hanya uluran tangan. Pikirnya membela diri.
Sepanjang jalan tidak ada percakapan yang berarti. Sandra hanya mengikuti jejak langkah Bara yang satu langkah lebih depan darinya. Dia menolak untuk digandeng maupun sejejar kembali. Tempat ini bukan kantor Mrs. Pamungkas, sehingga sudah cukup aktingnya.
"Nomor pinnya masih sama."
Sandra hanya memalingkan wajahnya. Membiarkan Bara menekan kombinasi angka yang menunjukkan tanggal berapa mereka menikah. Ya, sampai detik ini pun Sandra masih mengingat tanggal pernikahan mereka dulu. Langsung saja dia merutuki kebodohannya.
"Semua masih sama. Hanya hatiku yang berantakan. Tempat ini telah aku serahkan padamu. Tapi nyatanya, kau bahkan tidak pernah kembali ke sini."
Sandra memindai sekeliling yang tidak asing baginya. Tata letak barang masih sama pada saat dia menginjakan kaki keluar dari unit ini. Bara benar, semua barang masih sama. Hanya hatinya yang berantakan. Yang mana berarti termasuk hati Sandra juga.
"Kembali padaku San."
Bisa dirasakan tangan kekar melingkar di pinggang ramping Sandra. Dadanya bergemuruh mendapat pelukan hangat tiba-tiba. Berkecamuk dalam dirinya yang telah berkhianat. Di bibirnya menolak, di hati menerima.
"Lepaskan Bara. Nanti ada yang lihat."
Bara tidak mau menuruti Sandra. Dia malah menghidu leher perempuan itu. Harumnya telah berbeda. Entah kapan Sandra mengganti parfum. Seingatnya kemarin masih sama. Yang ini lebih strong. Seolah sedang menunjukkan jika perempuan ini jauh lebih kuat dibandingkan kelihatannya.
"Em ... Bara."
***