Chereads / Back To The Marriage / Chapter 6 - Kembali dan Belum Menemukan Sosoknya

Chapter 6 - Kembali dan Belum Menemukan Sosoknya

"Mama!"

Seorang anak kecil melambaikan tangan ke arah wanita berambut panjang. Netranya tampak datar menghadapi tatapan garang dari wanita yang ia panggil Mama.

"Sky Mama bilang jangan selalu mengagetkan. Ini negeri asing untukmu!"

Bocah cilik itu hanya mendengkus sebal. Mamanya selalu bersifat overprotektif padanya. Dia tak suka. Usianya sudah enam tahun lebih. Waktu yang cukup untuk berpetualang seorang diri. Menegakan ransel di punggungnya, berdiri gagah dan mulai melangkah naik. Setidaknya begitulah menurut Skylar.

"Ayo ... taksi sudah menunggu!" ucap wanita tadi tanpa menghiraukan sikap cemberut putranya.

Mesin mobil sudah meluncur ke jalanan kota. Masih pagi, jalanan masih lancar. Hingga mobil berbelok ke apartemen di daerah Kuningan—Jakarta.

Setelah Sandra membayar taksi, Sky lincah menenteng barang-barangnya sendiri. Anak itu memang suka mandiri dan tak manja.

Sering ditinggal Mamanya bekerja dulu, membuatnya menjadi pribadi yang begitu menakjubkan. Di usia belia, dia sudah bisa mengurus hidupnya. Masak nasi, menggoreng telor, membuat roti panggang, bahkan mencuci bajunya sendiri.

"Sky kamu harus sopan sama teman Mama ya. Ingat kita di sini menumpang," ucap Sandra pada anak semata wayangnya.

Sky tak menyahut hanya mengangguk tipis, sebagai pertanda dia mengiyakan keinginan sang Mama.

"Hai Sandra dan si kecil Skylar. Wah kau sudah besar ya," sambut Angel pada mereka. Dialah teman Sandra yang dibilang tadi. Merupakan tunangan Dave. Mereka menjadi dekat hingga berkenalan dengan Angel semenjak pertemuan tujuh tahun yang lalu di Sorry Caffe.

"Halo Angel. Maaf merepotkanmu," sahut Sandra menyesal. Mereka berciuman pipi setelahnya.

"Kau bilang apa? Tidak ada yang saling merepotkan," ujar Angel.

"Sky, ayo salim sama Aunty Angel!" perintah Sandra pada anaknya.

Tak ada dengkusan, meski dengan gontai dia berjalan dan mengambil tangan kawan ibunya. Menempelkannya di depan bibir lantas buru-buru melepaskannya.

"Anakmu sudah sebesar ini. Kalau begitu mari kita naik. Kalian pasti lelah."

Angel membimbing Sandra dan Sky menaiki lift yang pas sekali terbuka. Ditempelkannya kartu akses nomor 7 sesuai letak kamarnya.

"Welcome home. Semoga betah. Kalian bisa tinggal di sini sepuasnya, jangan sungkan," teriak Angel semangat.

Saat dihubungi Dave perihal Sandra yang akan kembali ke Indonesia, Angel saat itu juga mengajukan diri membuka pintu apartemennya. Setidaknya dia tidak kesepian lagi, jika ada mereka berdua.

"Paling lama hanya seminggu Angel. Aku harus mengurus sesuatu," sahut Sandra.

Sandra masih punya apartemen pemberian Bara dulu. Hanya saja karena lama tak berpenghuni, Sandra ingin membereskan unitnya yang mungkin berdebu. Atau bahkan berhantu.

"Ah kau tak pernah asyik San," gerutu Angel kecewa. Pipinya mengembang dengan bibir maju ke depan. Terlihat lucu meski sedang merajuk.

Tak elak, Sandra tertawa dengan tingkahnya, "haha kau lucu sekali. Kita masih bisa bertemu."

"Ya ... ya ... ya. Mari makan, kalian pasti lapar. Aku tadi membuat nasi uduk spesial telor. Kalian pasti suka."

Mendengar menu yang dibuat Angel, membuat bingkai di matanya cemerlang. Sandra langsung menyeret anaknya untuk makan bersama.

"Lama sekali Ngel aku tak makan ini. Terima kasih. Sungguh penyambutan yang luar biasa!" pekik Sandra kegirangan.

Sementara Sky hanya memandang malas ke arah ibunya yang terkesan norak bahkan berlebihan. Seingatnya, bahkan kemarin pagi mereka menyantap menu ini.

"Ma, kemarin kita baru saja makan ini," protes Sky.

Sandra melotot ke arah anaknya. Mulutnya tajam seperti Papanya. Tidak bisa melihat Mamanya senang sebenar saja.

"Cepat makan!" hardik Sandra.

***

Daka Corp. sedang kedatangan tamu. Jika biasanya Bara akan tersenyum ramah pada tamu yang datang, kali ini senyum kecut yang ia suguhkan.

"Mau sampai kapan Kakak di sini? Apa tak ada pekerjaan yang harus diurus?" tanya Bara geram. Sudah hampir dua jam Kakaknya Belinda, duduk di sofa ruangan Bara. Ditanya apa maunya tidak berkata sepatah katapun.

Belinda tersenyum sinis ke arah adiknya. Sembari merapatkan syal bulu di lehernya, dia berkata, "kenapa Ibu harus melahirkan anak memuakkan sepertimu bedebah."

Bara menghentikan goyangan tangannya di keyboard. Ekor matanya tajam menatap kakak kandung satu-satunya. Sedari kecil sudah ribuan kali Belinda berkata hal demikian. Dia tak menyangka luka itu masih saja ternganga di dasar lubuk hatinya. Bahkan Bara sendiri tak pernah tahu, bagaimana perasaan kakaknya bermula. Apakah bisa berakhir?

"Kak—"

"Sudah cukup. Menjijikan!"

Belinda berdiri di atas heels sepuluh senti-nya. Meraba tas tangannya, mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Selanjutnya melempar tepat di wajah Bara.

"Datanglah, ingat jangan buat malu dengan menyewa para jalang!"

Selepas berkata, Belinda memutar kakinya dan melangkah ke luar. Meninggalkan Bara yang terpaku dengan tatapan kosong. Selalu seperti itu sikapnya. Melempar hal apapun jika ada benda yang diperuntukkan untuk Bara.

Belinda tidak peduli. Hidupnya bergeser, saat Bara mengembuskan napasnya di dunia ini. Seluruh perhatian jatuh pada sesosok bayi laki-laki mungil di keluarga. Sistem patriarki yang dianut keluarganya menjadikannya pribadi yang keras hati dan pencemburu.

"Ulang tahun yang ke delapan puluh Mr. Robert Sanjaya," gumam Bara lirih saat undangan telah berpindah ke tangannya.

"Beliau berumur panjang. Pasti pesta yang sangat besar dan penting."

Akan tetapi, yang menjadi momok menakutkan untuk seorang Bara tetaplah sama. Perceraiannya tujuh tahun lalu belum terendus media. Hingga dalam kartu undangan masih tertulis Bara dan istri.

"Cih menyedihkan."

Bara memencet interkom ke meja Dion. Meminta asistennya masuk.

"Iya Tuan ada yang bisa saya bantu," ujar Dion seketika berada di hadapan Bara.

"Cari wanita single, yang baru saja ingin terjun ke dunia entertainment. Dandani secantik mungkin. Bawa dia ke pesta ulang tahun Mr.Robert. Ingat jangan buat malu dengan membawa satu figur yang terkenal. Apalagi tak punya karya apapun."

Dion mencatat keinginan Bara di kepalanya. Lantas mengangguk dan pergi. Sudah sekian tahun berselang, dan hal itu terus saja terjadi. Bosnya hanya ingin menemukan sosok Sandra di diri wanita lain. Tetapi nihil, hingga detik ini, tak ada yang mampu menyaingi Sandra di hati Bara.

***

"Bu saya ingin bertemu Mrs. Pamungkas. Ini CV saya."

Sandra meletakan map di depan resepsionis. Bersamaan dengan dering telepon yang nyaring terdengar.

"Ibu diminta ke lantai lima belas. Liftnya di sana." Dengan ramah resepsionis cantik tersebut menunjuk ke arah lift.

Sandra mengangguk dan mulai melangkah ke lantai yang dituju.

"Permisi saya hendak bertemu Mrs. Pamungkas," ujar Sandra pada wanita muda yang baru saja keluar dari salah satu ruangan.

"Ah ya kamu sudah ditunggu. Ayo masuk."

Sandra digiring ke dalam ruangan. Terlihat Mrs. Pamungkas duduk di kursi kebesarannya dengan gaya yang begitu elegan. Membuat Sandra seketika tidak percaya diri sebagai wanita.

Dia melirik ke bawah arah tampilannya. Pantaskah asisten seorang bos perusahaan besar bergaya semacam dirinya. Sandra mendadak kaku di tempat.

"Ah iya. Langsung saja aku punya tugas baru untukmu," ujar Mrs. Pamungkas tanpa basa-basi.

"Langsung diberi tugas? Tidak interview dulu?" tanya Sandra keheranan.

Mrs. Pamungkas menggeleng, "tidak perlu. Kamu sudah sangat cantik."

Sandra semakin bingung. Apa hubungannya dengan dirinya cantik dan tugas. Meski begitu dia tak ingin kehilangan pekerjaan.

"Baiklah ...."

---