Keesokan harinya, Divya sudah merasa lebih baik. Ia juga berusaha bangkit dan membersihkan diri. Namun, tanpa sengaja ia mendengar suara seorang lelaki dari luar ruang. Karena merasa penasaran, akhirnya ia kembali memakai pakaiannya dan keluar dari sana.
Sangat tidak disangka Raymond sudah ada di dalam ruangan sembari membawa sekumpulan bunga bermacam ragam. Divya langsung terpaku dan segera berbalik melihat wajah pria itu. Namun, Raymond segera memanggil namanya. Dengan tatapan canggung, ia kembali berbalik.
"Pak, selamat datang," ungkap Divya merasa sangat tegang.
"Bagaimana dengan kondisi kamu?" tanya Raymond sekedar mencairkan suasana.
"Baik, Pak. Mungkin besok saya sudah bisa pulang," ungkap Divya dengan tatapan yang terus menatap sepatu Raymond.
"Baguslah, Fay yang akan mengurus semua keperluan kamu. Jangan merepotkan juga." Raymond langsung meletakkan bungkusan bunga itu di atas nakas. "Kalau begitu, aku mau balik ke kantor. Kamu jangan banyak bergerak dulu. Perbanyak minum air putih," saran Raymond sebelum pergi meninggalkan Divya.
Fay langsung tersenyum tersipu malu ketika mendengar ucapan Raymond. Ia pun segera mendekati Divya ketika pria itu sudah pergi dari sana. Ia merasa sangat takjub melihat kepiawaian Divya dalam menarik perhatian pria dingin itu.
"Kenapa kamu tersenyum sembari menatapku, Fay?" tanya Divya merasa sangat penasaran.
Fay langsung duduk di pinggiran ranjang. "Aku merasa sangat takjub melihat sikap Pak Ray kepada kamu."
"Memang kenapa?" tanya Divya merasa sangat penasaran.
"Kamu tahu, Pak Ray tidak pernah seperti itu kepada karyawan dan sekretarisnya. Dia itu pria dingin dan sangat cuek. Tampang datarnya selalu terukir pada durja tampannya itu. Argh, banyak sekali karyawan yang mengidolakannya. Namun, sayangnya dia pria yang sedikit kejam. Meskipun begitu, masih banyak wanita yang sangat mengidolakannya," urai Fay seraya tersenyum melihat wajah heran wanita yang ada di hadapannya.
"Oh, begitu. Hm, aku pikir apaan," sahut Divya cuek.
"Eh, kamu tidak terpesona melihat ketampanan Pak Ray?" tanya Fay merasa penasaran.
Divya kembali berjalan menuju tempat tidurnya. "Tentu, tidak. Apa yang spesial dari wajahnya? Pria bertampang ketus dan dingin tidak pernah membuatku merasa terpesona," ungkapnya berbohong.
Fay langsung berjalan mengikuti Divya. "Wah, tetapi kamu masih waras, 'kan?"
Divya segera berbalik dan menatap tajam ke arah Fay. "Tentu saja, aku ini masih waras. Makanya aku tidak terpesona melihat tampang pria itu. Kamu makan duluan saja, ya. Aku mau membersihkan diriku dulu," alih Divya, ia merasa enggan membahas perihal pria itu.
Tatapan Fay segera tertata kepada selang infus yang sudah mengeluarkan darah segar. Ia pun segera bertindak cepat dan memerintahkan Divya untuk segera duduk di atas ranjang. Setelah itu, ia langsung memanggilkan tenaga medis untuk membersihkan benda tersebut. Tidak ada reaksi apapun dari Divya ketika melihat wajah panik Fay.
***
"Kasihan juga Divya. Wajahnya terlihat sangat pucat dan kurus sekali," gerutu Raymond di dalam hatinya.
Luke kembali menyamakan langkah kaki Raymond. "Ray, tidakkah kamu lihat wajah Divya tadi?"
"Ya, aku melihatnya. Memangnya kenapa?" gerutunya ketus.
"Sangat memprihatinkan, Ray." Luke kembali menatap wajah atasannya.
"Namanya juga dia sedang dalam keadaan tidak sehat. Sudah pasti raut wajahnya seperti itu," sahut Raymond dengan cepat.
Luke sedikit memperlambat perjalanannya. Setelah masuk ke dalam lift, Luke kembali melirik wajah Raymond dari pantulan kaca datar. Ia pun kembali menarik senyumannya ketika tanpa sengaja saling bertatapan dengan pria itu. Setelah pintu lift terbuka, ia segera berjalan mengikuti Raymond sampai ke dalam ruangan. Kedua netra Raymond juga langsung menatap tajam ke arah pria yang ada di hadapannya. Ia masih bertanya-tanya kenapa Luke masih mengikutinya sampai di sana.
"Begini, Ray. Tadi pagi aku mendapat panggilan dari perusahaan asing yang kemarin sempat memutuskan kerjasama dengan kita. Mereka menarik keputusan dan ingin kembali menjalin kerjasama. Namun, aku belum menjawabnya," papar Luke seraya menatap wajah Raymond dengan rasa cemas.
Dengan alis yang sudah menanjak, Raymond kembali menegaskan, "Tolak! Aku tidak mau bekerjasama dengan perusahaan mereka. Segera putuskan hubungan kerjasama kita dengan perusahaan itu. Aku merasa sangat kesal melihat tindakan mereka kemarin." Raymond masih terus menatap wajah Luke dengan tajam.
Luke sedikit terbata. "Oke, aku akan segera menghubungi mereka."
[Flashback on]
Kejadian setelah Divya tidak sadarkan diri. CEO perusahaan terkenal itu mengungkapkan bahwa mereka sangat tidak menyukai etos kerja Divya sebagai sekretaris. Bukan hanya tidak profesional, Divya juga sangat tidak baik dalam menjalankan tugasnya sebagai moderator. Hal tersebut mereka sampaikan secara terang-terangan kepada Raymond dan Luke pada forum kerjasama.
Tentunya hal tersebut membuat saham perusahaan Wilfred Estate mengalami penurunan secara drastis. Namun, hal tersebut tidak membuat Raymond merasa putus asa. Dengan keahliannya, ia bisa dengan mudah kembali menarik simpati pihak perusahaan asing lainnya dalam waktu yang sangat singkat. Tidak tanggung-tanggung, ia mau mendonasikan seperempat sahamnya kepada perusahaan yang bergerak dibidang yang sama.
[Flashback off]
"Untungnya aku mempunyai otak yang cerdas. Aku melakukan hal ini juga untuk membekuk perusahaan yang sudah berani mempermalukan perusahaanku di dalam forum kerjasama kemarin. Sekarang kalian baru tahu siapa aku sebenarnya!" gerutu Raymond di dalam benaknya. "Luke, kamu terus pantau kemajuan kondisi kesehatan Divya, ya. Pastikan pihak rumah sakit memberikan pengobatan terbaik untuk sekretarisku. Aku tidak mau di kembali jatuh sakit. Bukan karena apa, kamarku sudah terlihat sangat berantakkan. Aku merasa risih melihatnya," ungkapnya dengan tegas.
"Baik, aku akan mengkoordinir pihak rumah sakit. Kalau begitu, aku pamit dulu. Aku ingin mengurus pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan," sahut Luke.
Raymond hanya tersenyum melihat wajah asistennya. Setelah itu, ia kembali menatap ponselnya yang masih dalam keadaan menghitam. Saat dirinya sedang termenung, Zeline datang dan membuat dirinya tersentak. Sungguh terperanjatnya Raymond setelah melihat wajah kekasihnya.
"Zeline, kenapa kamu datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu?" tanya Raymond merasa sangat heran.
"Kenapa Aku harus menghubungi kamu terlebih dahulu?" sahut Zeline seraya kembali berjalan mendekati kekasihnya.
"I–iya, aku bisa menyiapkan makanan atau apa gitu untuk dirimu. Kalau seperti ini rasanya ada yang janggal," elak Raymond seraya mulai menyimpan ponselnya.
"Sikap Raymond berubah drastis. Hal ini semenjak ada wanita kecentilan itu. Aku sangat tidak menyukainya. Namun, dia ke mana? Kenapa aku tidak melihatnya sejak tadi?" pikir Zeline merasa sangat penasaran. "Sayang, dimana sekretaris cantik kamu itu?" tanyanya kepada Raymond.
Batin Raymond langsung terguncang ketika mendengar pertanyaan kekasihnya. "Kenapa dia malah mencari keberadaan Divya?" Raymond kembali memusatkan pandangannya kepada Zeline. "Divya sedang sakit, Sayang. Namun, kenapa kamu malah mencarinya?" tanya Raymond merasa sangat penasaran.
Zeline langsung tersenyum canggung melihat tatapan intens kekasihnya. "Hm, aku hanya merasa ada yang kurang saja. Biasanya dia selalu keluar masuk ke dalam ruangan ini," ungkapnya berusaha menutupi maksud hati yang sebenarnya.
Tatapan Raymond masih sangat datar melihat durja wanita sexy itu. Ia pun segera pergi dari sana untuk mengajak kekasihnya makan bersama. Namun, Zeline menolak ajakannya. Wanita itu mengatakan bahwa kehadirannya di sana hanya ingin memberitahukan sesuatu hal penting.