Raymond langsung menyingkirkan tangan Devan dengan kasar. "Apanya? Suka? Sama Divya? Tentu tidak. Kenapa kamu suka sekali berbicara yang tidak-tidak?"
"Hahaha, lalu kenapa kamu begitu marah ketika aku berdekatan dengan sekretaris cantikmu itu?" Devan semakin tertawa melihat reaksi Raymond.
Raymond langsung tersentak setelah mendengar ucapan rekannya. "Ah, Devan. Aku hanya tidak ingin dia merasa kegeeran karena kebaikan yang sudah kamu berikan kepada dirinya. Hanya itu saja, jika hal itu sampai terjadi. Semua pekerjaan akan semakin tidak beres," elak Raymond.
Senyuman dari bibir Devan semakin melebar. "Ray, aku sangat mengenalmu. Jangan mencoba membohongiku, Ray!" pekik Devan seraya melirik ke arah belakang. "Divya datang, bersikaplah seperti biasa," lanjutnya pelan.
Raymond segera berbalik arah. Kedua alis sudah berkerut secara maksimal melihat wajah sekretarisnya. Ia pun kembali melirik ke arah Devan secara cepat. Ia merasa sedikit kesal melihat kontak mata keduanya yang begitu intens.
Raymond segera menanjakkan satu alisnya. "Kenapa kamu keluar lagi? Cepat masuk sana!" titah Raymond dengan ketus.
Saliva yang ada di dalam mulut Divya langsung tertelan paksa. "Hm, maaf. Saya hanya mau mengambil barang-barang saya yang tertinggal di dalam mobil, Pak," jawab Divya dengan cepat.
"Sudah, tinggalkan saja di sana. Nanti pelayan yang akan membawakannya," sosor Raymond kemudian.
Kedua netra Divya kembali menatap wajah Devan. "Pak Devan terima kasih banyak atas bantuannya. Silakan masuk!" ajak Divya.
Tangan Raymond langsung melintang untuk mencegah Devan masuk ke dalam rumah. "Eh, jangan masuk. Tidak baik berkunjung ke tempat wanita lajang dalam keadaan seperti ini," gerutunya.
Devan kembali merundukkan kepalanya untuk menyembunyikan senyuman meledeknya. Divya pun langsung mengernyitkan dahi setelah mendengar ucapan Raymond. Sedangkan, Raymond masih terus merentangkan tangannya untuk menghalangi Devan. Karena tidak ingin berdebat, akhirnya Devan memutuskan untuk segera pulang dari sana.
Kedua tilikan netra Divya pun terus menatap kepergian Devan dari sana. Setelah Itu, Raymond segera berjalan masuk ke dalam rumah. Wanita Yang masih dalam keadaan buncah pun segera mengikat pria teratur. Langkah kaki Raymond langsung terhenti setelah masuk ke dalam ruangan tengah. Ia segera berbalik dan menatap wajah sekretarisnya dengan lekat.
"Segera istirahat, Divya! Jangan main ponsel atau mengerjakan apapun lagi. Aku berikan kamu jadwal libur selama dua hari ke depan." Raymond kembali menatap bibir Divya. "Bibirnya merah sekali. Argh, kenapa aku malah tidak bisa memalingkan pandanganku dari bagian itu?" pikir Raymond merasa resah.
Divya kembali memberikan salam hormat. "Terima kasih atas perhatian Anda. Bapak juga harus jaga kesehatan, ya."
"Aku sudah terbiasa menjalani aktivitas berat seperti ini. Seharusnya, kamu juga bisa melakukannya. Cepat beradaptasi dengan keadaan akan sangat membantu kehidupanmu saat ini," gerutu Raymond seraya memalingkan tatapannya.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak," ucap Divya kemudian.
"Satu hal lagi, Divya! Jaga sikapmu dengan Devan di depan semua orang. Aku tidak mau mendengar kabar buruk tentang dirimu lagi." Raymond kembali menatap mata Divya dengan tajam.
Divya langsung menundukan kepalanya. "Baik, Pak."
"Profesimu itu sangat rentang terhadap gunjingan orang. Ini hanya sebuah usul yang baik untuk dirimu. Aku harap kamu bisa menerimanya dengan baik," lanjut pria dingin itu.
Divya tidak menjawab dan hanya melayangkan senyuman canggung kepada Raymond. "Pria ini sangat tajam dalam berbicara. Aku juga tidak mau menjadi topik utama gunjingan semua karyawan yang ada di perusahaan. Argh, dia tidak bisa menyaring setiap ucapannya, ya? Aku juga manusia yang mempunyai hati. Akan merasa tersinggung kalau mendengar ucapan menyakitkan itu," gerutunya di dalam hati.
Setelah mengistirahatkan tubuhnya, Divya kembali terpikir perihal kejadian beberapa hari yang lalu. Ia masih merasa sangat cemas akan kegagalannya sudah ia torehkan kepada perusahaan Wilfred Estate. Ia dengan kasar segera memejamkan kedua matanya. Pikirannya kembali berantakan setelah menelaah kejadian tersebut.
"Kepalaku kembali merasakan sakit ketika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Lima milyar? Eh, berapa kemarin? Aku juga sampai melupakan jumlah uang itu. Naas banget nasibku ini." Divya kembali membidik suasana malam yang ada di luar rumah.
Keesokan paginya, Divya menyempatkan diri untuk berolahraga di sekitaran komplek perumahan. Kehadirannya juga menjadi perbincangan hangat semua warga yang ada di sana. Mereka merasa sangat takjub melihat kemolekan tubuhnya. Aktivitas yang seharusnya bisa ia nikmati dengan tenang, kini malah menjadi suasana mencekam di alam hidupnya. Karena merasa tertekan, ia pun memutuskan untuk segera balik ke kediamannya.
"Hm, Raymond? Kenapa dia belum berangkat bekerja?" pikir Divya merasa sangat penasaran.
Tatapan pria yang kini berada di depan kediamannya menjadi tidak karuan. Ia merasa tercengang melihat outfit yang dipakai oleh sekretarisnya itu. Terlihat sangat ketat dan terbentuk dengan sempurna. Jantungnya pun kembali berdetak secara tidak karuan ketika melihat bibir Divya.
"Pak, kenapa kamu belum pergi bekerja?" tanya Divya setelah sampai di depan rumah Raymond.
"Hm, ini hari libur. Mana mungkin aku pergi bekerja," jawab Raymond dengan cepat.
Divya langsung mengerucutkan dahinya. "Benarkah? Sepertinya kalender saya hari efektif terus, Pak," candanya seraya melemparkan senyuman manis kepada pria tersebut.
"Pagi ini terasa sangat gerah, ya, Pak," sosor Luke dari belakang.
Raymond langsung berbalik dan melotot melihat wajah pria itu. "Kenapa kamu di sini?" bisiknya pelan.
Luke langsung mengedipkan satu matanya kepada Raymond. "Haha, Ray. Jaga pandangan matamu, ya," jawab Luke seraya kembali melirik Divya.
"Eh, jangan mencoba menatap lekukan tubuhnya!" cegah Raymond, ia merasa tidak terima kalau ada orang lain yang menikmati kemolekan tubuh Divya. "Cepat, balik ke dalam rumah dan siapkan peralatan untuk bermain golf."
Luke hanya bisa tersenyum meledek melihat wajah sepupunya. Ia pun segera masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan semua perlengkapan bermain golf. Sedangkan, Raymond langsung menarik tangan Divya sampai masuk ke dalam kediaman yang ada di sebelah rumahnya. Wanita yang mendapatkan perlakukan itu pun merasa sangat buncah.
"Kenapa berpakaian seperti ini ke luar rumah?" bentak Raymond merasa sangat kesal.
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Divya dengan polosnya.
"Kamu mau menjual tubuhmu itu?" pekik Raymond tanpa memikirkan perasaan Divya.
Tatapan datar Divya pun langsung menanjak tajam. Ia merasa tidak terima mendapatkan ucapan itu dari atasannya. Karena tidak ingin berdebat, ia pun memutuskan untuk beranjak dari sana. Namun, tampaknya Raymond tidak mengindahkan maksud hatinya. Pria itu dengan kasar kembali menarik tangannya sampai tubuh mereka melekat satu sama lain.
"Eh, Pak Raymond. Apa yang ingin Anda lakukan?" gerutu Divya merasa sangat risih dengan penempelan itu.
Kedua netra Divya pun semakin membesar ketika tanpa sengaja melihat kehadiran Luke di belakang Raymond. Dengan cepat ia segera mendorong tubuh sang atasan sampai terjatuh ke atas lantai. Sungguh terperangahnya Divya ketika melihat kejadian itu. Ia pun segera bertindak dan mencoba membantu Raymond untuk bangkit. Bukan malah membantu, tubuhnya malah semakin ke tarik. Alhasil, tubuh mereka kembali bersatu dan membuat mulut Luke menjadi terbuka sangat lebar melihat kejadian itu.