Divya masih bersikap dingin dan tenang setelah mendengar ucapan mereka. Namun, tidak dengan Luke. Ia segera membentak kedua karyawan wanita yang masih berkumpul pada satu titik. Ia juga segera memperingati mereka agar tidak bergosip di dalam ruang lingkup pekerjaan. Kedua wanita itu pun segera berpencar dan kembali duduk pada meja kerja mereka. Kedua netra Luke kembali menatap perjalanan Divya.
"Kasihan Divya. Namun, memang seperti ini resikonya menjadi sekretaris dari Bos Besar pada sebuah perusahaan raksasa seperti ini. Semoga saja Divya tidak merasa tertekan dengan cibiran-cibiran karyawan," gerutu Luke dengan pelan.
Setelah masuk ke dalam ruangannya, Divya langsung merasa sangat lemas. Hal itu terjadi bukan hanya karena cibiran para karyawan. Ia juga merasa sangat lelah dengan rutinitas barunya ini. Namun, ia kembali menegaskan kepada dirinya untuk selalu berpikir secara rasional.
"Divya, kamu tidak boleh seperti ini! Kamu pasti bisa! Kamu kuat Divya. Katanya mau sukses, jadi sebelum semua itu terwujud. Kamu harus melewati kesulitan-kesulitan ini," ucapnya untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Oke, harus bisa," lanjutnya seraya memulai pekerjaan.
Ternyata, ucapan tidak semudah kenyataan. Divya sampai merasa sakit kepala yang berlebihan melihat semua berkas di atas meja kerjanya. Ia sampai berkali-kali keluar masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar terlihat lebih cerah. Pikirannya semakin kusut ketika beberapa karyawan yang masuk ke dalam ruangan, juga tampak sinis melihat irasnya.
Namun, Divya masih bertindak secara profesional kepada semua karyawan. Ternyata, berita kedekatannya dengan Raymond tidak hanya sampai pada divisi operasional saja. Di dalam kantin, ia pun menjadi topik pembahasan hangat. Meskipun begitu, ia masih tetap diam dan terus menyantap makanannya sampai habis.
"Nyonya Divya!" panggil Luke dari arah berlawanan.
Divya segera mengangkat pandangannya. Ia juga tersenyum melihat kehadiran asisten pribadi atasannya. Luke langsung duduk di hadapan sekretaris menawan itu. Ia juga menawarkan beberapa makanan yang sudah ia bawa ke sana.
"Nyonya, silakan dimakan," tawar Luke seraya mengeluarkan makanan yang sudah ia persiapkan untuk Divya.
"Terima kasih banyak Pak Luke." Divya segera memberikan salam hormat.
"Hm, kamu jangan mendengarkan ucapan-ucapan karyawan yang ada di sini, ya! Mereka itu hanya merasa iri dengan kamu. Jangan jadikan hal itu sebagai beban, ya. Abaikan saja, selagi kamu bekerja secara profesional, semuanya akan baik-baik saja sampai ke depannya, Nyonya." Luke terus memberikan semangat kepada wanita yang ada di hadapannya.
"Terima kasih banyak, Pak. Namun, apakah semua sekretaris Pak Raymond akan mendapatkan cibiran yang sama?" tanya Divya merasa sangat penasaran.
Luke langsung tersedak setelah mendengar pertanyaan wanita itu. Ia pun segera mengambil minumannya yang ada di atas meja makan. Sebenarnya, memang baru kali ini ia mendengar gunjang-gunjing seperti itu di dalam kantor. Kedua netranya pin menjadi menciut setelah melihat wajah Divya.
"Pak, kamu baik-baik saja?" tanya Divya merasa penasaran.
"Hm, iya-iya! Aku baik-baik saja. Saus makanan ini terlalu pedas. Aku sampai tersedak setelah mencicipinya. Maaf, ya Nyonya." Luke berusaha mengalihkan pembahasan mereka. "Nyonya, kenapa Anda tidak menyentuh makanan itu? Makan saja, makanan itu memang sudah saya beli khusus untuk Anda."
Divya sedikit tersenyum mendengar tawaran Luke. Ia pun mulai menyentuh makanan itu. Namun, masih ada sesuatu hal yang janggal. Ia merasa bahwa Luke sepertinya sangat mengetahui selera makannya. Kedua netranya masih terus menatap wajah pria itu dengan lekat.
Waktu yang sangat ditunggu-tunggu pun tiba. Selesai menyelesaikan pekerjaanya, Divya segera keluar dari ruangan. Tidak disangka, Raymond juga baru keluar dari ruangannya. Karena merasa tertekan, akhirnya Divya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam tempat itu.
Niatnya, ia ingin pulang sendiri ke rumah. Karena Ia tidak mau menjadi cibiran para karyawan yang ada di kantor lagi. Namun, maksud hatinya tidak berjalan dengan baik. Raymond malah kembali berbalik arah dan mencoba melihat kehadiran sekretarisnya di dalam ruangan.
Sungguh terperangahnya Divya ketika melihat wajah pria tampan itu di depan ruangan. Bahunya sampai terguncang hebat melihat iras Raymond. Pria bertampang tegas, langsung mengerucutkan pandangannya. Ia merasa heran dengan rekasi sang sekretaris.
"Kenapa kamu merasa sangat terkejut melihat kehadiranku di sini?" tanya Raymond dengan tegas.
Divya langsung tersenyum canggung melihat wajah atasannya. "Maaf, Pak. Saya merasa sangat terperangah melihat kehadiran Bapak di sana. Saya pikir tadi Anda sudah pulang. Ada keperluan apa lagi, ya, Pak?" tanya Divya kemudian.
"Ayo, cepat pulang! Kenapa kamu masih berdiri di sana saja?" Raymond masih merasa penasaran.
"Niatku untuk menghindarinya! Namun, dia malah mendatangiku dan mengajak pulang bersama. Argh, sial sekali!" gerutu Divya di dalam hatinya. "Hm, begini, Pak. Saya ada urusan di luar. Jadi, Bapak pulang duluan saja," ungkap Divya berbohong.
Dengan ketus Raymond pun menjawab, "Oke, baik. Nanti malam jangan lupa datang ke rumahku, ya. Ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan kepada dirimu," ucap Raymond sebelum berlalu.
Jantung Divya serasa mau copot ketika melihat tatapan tajam pria itu. Setelah memastikan keadaan sudah aman, ia pun segera beranjak dari sana. Di depan kantor, ia sengaja duduk di halte bis untuk sejenak merehatkan pikirannya. Namun, nasib buruk sepertinya tidak pernah terlepas dari hidupnya. Seorang wanita berpenampilan menawan mulai berjalan mendekatinya.
"Hei, Kamu!" serang Zeline.
Divya berpura-pura tidak mendengar panggilan wanita itu. "Permisi, Nyonya memanggil siapa?" tanya Divya kemudian.
Dengan tampang sinis, Zeline kembali berjalan mendekati sekretaris kekasihnya. "Masih bertanya siapa! Ya, kamu! Hanya ada kamu seorang di sana!"
Divya segera berdiri dan menatap serius wajah wanita itu. "Ada masalah apa, ya, Nyonya?" tanya Divya merasa sangat penasaran.
"Kamu tampaknya sangat tidak menghargai ucapanku kemarin, ya! Kenapa kamu masih saja kecentilan di depan kekasihku?" serang Zeline sekaligus membuat Divya menelan salivanya secara mendadak.
"Kecentilan? Siapa yang kecentilan dengan kekasihnya?" gerutu Divya di dalam hatinya. "Permisi, Nyonya. Kenapa Anda malah menuduh saya? Apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa saya berperilaku demikian?" tanyanya sekaligus membuat emosi Zeline meledak.
Zeline merasa kelimpungan, karena memang tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Divya melakukan apa yang sudah ia lontarkan. Ia hanya mendengar ucapan itu dari salah satu karyawan yang bekerja di kantor Raymond.
"Argh, kuperingatkan sekali lagi kepada dirimu untuk menjauhi kekasihku! Atau kamu mau hidupmu itu—"
Divya segera mematahkan ucapan Zeline. "Permisi, Nyonya. Sudah ada bis yang menunggu saya di sana. Kita bisa membahas perihal ini di lain waktu. Permisi, Nyonya." Divya segera berlalu dari hadapan Zeline.
Sungguh kesalnya Zeline melihat kelakukan Divya. Dari semua sekretaris Raymond, hanya Divya yang berani melawan setiap ucapannya. Ia pun segera menghubungi seseorang untuk mencelakai wanita itu. Namun, sayangnya Divya tidak sebodoh yang Zeline pikirkan. Ia segera turun di persimpangan jalan untuk mengelabui wanita tersebut.
"Aku sudah mengetahui sifatmu, Zeline! Kamu itu memang wanita yang tidak baik, ya. Untung saja Luke sudah memberitahuku perihal sikap burukmu itu," gerutu Divya sembari berlari menjauhi tempat tersebut.