"Kenapa aku jadi memikirkannya? Aku harus segera pergi dari sini," ungkap Divya, ia segera beranjak dari sana.
Setelah kepergiannya, Zeline turun dari tangga. Ia juga masih mencari keberadaan kekasihnya. Sungguh tidak disangka, ia menemukan Raymond di dalam ruangan tamu. Dengan tatapan kesal, Zeline segera membangunkan pria itu. Raymond juga merasa tercengang ketika melihat kehadiran wanita yang ada di hadapannya.
"Hm, Zeline? Kenapa kamu membangunkan aku?" tanya Raymond, ia masih belum sepenuhnya sadar.
"Kamu kenapa tidur di sini?" tanya Zeline dengan melempar tatapan curiga.
Raymond segera menbangkitkan tubuhnya. "Hm, aku ketiduran tadi malam di sini. Ada apa, Sayang? Ada masih masalah?" tanyanya merasa penasaran.
"Tidak ada, cepat kamu membersihkan diri. Temani aku berbelanja hari ini, ya!" pinta Zeline dengan manja.
Raymond sedikit berpikir, kedua pupilnya mulai mengerucut. "Baiklah, aku menemani kamu berbelanja. Namun, sebelum itu aku pergi untuk membersihkan diri dulu, ya."
"Baik, Sayang. Terima kasih banyak," ucap Zeline seraya mengecup bibir kekasihnya.
Setelah berlalu, Raymond segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Ia pun segera memerintahkan Divya untuk meng-handle posisinya di kantor. Setelah itu, ia segera pergi untuk membersihkan diri. Sebenarnya, ia juga merasa terpaksa menemani Zeline berbelanja.
***
"Ke mana Pak Raymond, Divya?" tanya Luke setelah melihat kehadiran wanita itu di dalam ruangan Raymond.
Divya masih sibuk menulis. "Pak Raymond sedang menemani kekasihnya berbelanja, Pak," jawab Divya dengan raut wajah tampak kesal.
"Hm, kenapa ekspresinya seperti itu? Apakah dia merasa cemburu dengan hal itu?" tanya Luke di dalam benaknya. "Begitu, ya. Kamu sudah sarapan, 'kan?" tanyanya kemudian.
Divya kembali mengalihkan pandangannya kepada Luke. "Sudah, Pak. Hm, bagaimana dengan wajahmu, Pak? Masih terasa sakit, ya?" Divya masih merasa cemas dengan beberapa bekas beram yang ada di wajah Luke.
"Oh, sudah tidak terlalu sakit. Hanya tinggal bekasnya saja yang tertinggal di wajahku," ungkap pria itu. "Kamu silakan kembali ke ruangan. Aku yang akan mengurus segalanya. Wajah kamu tampak begitu pucat, Divya. Sepertinya kamu dalam keadaan tidak baik," gumamnya merasa khawatir.
"Hm, saya hanya kurang tidur saja, Pak. Terima kasih atas perhatian Anda. Kalau begitu, saya akan segera balik ke ruangan saya. Hm, kalau Anda membutuhkan bantuan saya, Anda bisa segera menghubungi saya, Pak." Divya segera pergi dari sana.
Hampir setengah hari Divya mengistirahatkan tubuhnya di dalam ruangan. Entah kenapa tubuhnya menjadi terasa sangat lemas dan tidak bergairah dalam beraktivitas. Ditambah lagi, pekerjaanya yang masih menumpuk. Hal itu semakin membuat kondisinya semakin memburuk.
Sebisa mungkin, ia mencoba untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Ia pun segera merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia ingin sejenak merehatkan tubuh dan menenangkan kepalanya yang sudah hampir terbakar.
"Tidak ada salahnya aku tidur sebentar di sini, 'kan? Waktu istirahat ini akan aku maksimalkan untuk tidur. Bisa jadi tubuhku menjadi seperti ini karena kejadian tadi malam. Hm, kejadian yang sangat menegangkan," gerutu wanita cantik itu.
Belum memejamkan kedua mata, Raymond malah datang tanpa permisi ke dalam ruangan. Divya sontak tercengang dan segera membangkitkan tubuhnya. Kepalanya sudah seperti ingin copot saja. Dengan raut sayup, ia mulai berjalan mendekati atasannya.
"Siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Divya, ia mencoba menyembunyikan kondisi tidak baiknya.
"Kamu sudah menghafal semua berkas itu?" tanya Raymond dengan ketus.
"Sudah sebagian, Pak," jawab Divya dengan lembut.
"Oke, baik! Besok kita akan berangkat, jangan lupa mempersiapkan semua barang-barang yang dibutuhkan. Segera minta kepada Luke daftar berkas dan apa-apa saja yang perlu dipersiapkan untuk besok!" titah Raymond tanpa memedulikan kondisi sekretarisnya.
Divya segera menundukkan seluruh badannya. "Baik, Pak. Saya akan segera menemui Pak Luke. Permisi, Pak!" ucap Divya dengan lembut.
Kedua netra Raymond masih terus mengikuti kepergian Divya. "Sudah hidup mewah, dia masih saja seperti itu! Seperti tidak berniat dalam menjalani hidup," gerutunya merasa kesal.
Setelah sampai di ruangan Luke, Divya langsung terduduk lemas di atas lantai. Pria yang baru saja melihat kejadian itu pun segera berlari untuk mengangkat tubuh wanita tersebut. Ia merasa sangat khawatir dengan kesehatan Divya.
"Ya ampun, Divya! Kalau tidak bisa beraktivitas, kamu jangan memaksakan diri untuk melakukannya!" gumam Luke seraya membantu Divya untuk berpindah tempat.
Divya kembali menatap wajah Luke. "Saya hanya merasa lelah saja, Pak. Hm, Pak Raymond tadi memerintahkan kepada saya untuk meminta daftar yang harus saya persiapkan untuk keberangkatan besok—"
Luke segera memotong ucapan Divya. "Sudah, kamu beristirahat saja di sini. Biar aku yang mempersiapkan segalanya," usulnya.
"Terima kasih banyak, Pak." Divya kembali menyandarkan tubuhnya pada badan sofa.
Luke segera beranjak dan memberikan sebungkus makanan cepat saji kepada wanita itu. Setelah itu, ia mulai mempersiapkan semua berkas yang akan dibawa pada pertemuan beberapa yang akan datang. Kedua netranya masih terus menatap wajah Divya yang terlihat sangat tidak bergairah. Akhirnya, ia memutuskan untuk memanggilkan tenaga kesehatan untuk memeriksa sekretaris cantik tersebut.
Luke juga memutuskan untuk memulangkan Divya ke rumah. Hal itu ia lakukan untuk menjaga kondisi Divya. Namun, Raymond merasa kesal dengan keputusan sepupunya. Ia pun segera datang ke ruangan HR untuk meminta kejelasan tentang ketidakhadiran sekretarisnya.
"Divya sedang dalam kondisi yang tidak baik, Ray. Kamu masih mau memaksanya untuk bekerja?" tanya Luke merasa prihatin.
"Tentu tidak, tetapi kenapa kamu malah memulangkannya tanpa izin dariku?" sergah Raymond.
"Aku hanya berpikir untuk tidak mengganggu aktivitasmu di dalam ruangan. Hm, sudahlah. Biarkan saja Divya beristirahat sejenak. Kasihan juga tubuh kurusnya itu," lanjut Luke seraya menepuk bahu Raymond.
Setelah sampai di dalam kediaman, Divya segera merebahkan tubuhnya di dalam kamar. Rasanya sangat nyaman dan kedua matanya tanpa sadar langsung terpejam. Ia juga tidak terbangun sampai hari sudah berganti menjadi gelap gulita. Raymond yang baru saja masuk juga merasa terperanjat melihat sekretarisnya.
"Kenapa dia masih tertidur? Apakah benar kondisinya dalam keadaan tidak baik?" Ia kembali berjalan mendekati Divya.
Tangannya mulai menyentuh dahi mulus wanita itu. Ternyata, memang benar bahwa Divya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Ia pun segera beranjak untuk mengambil kompres tubuh. Namun, ketika ingin pergi ia mendengar suara rintihan tangisan Divya.
"Ibu! Ayah! Kenapa kalian masih terus bertengkar? Sudah hentikan, aku takut mendengar suara kalian," rintih Divya ketika masih dalam keadaan tertidur.
Raymond segera berbalik menuju tempat tidur. Ia juga dengan tatapan iba mulai menyeka air mata yang terus mengalir pada pipi sekretarisnya. Divya terus menangis sampai pada akhirnya ia terbangun dan berteriak ketakutan melihat wajah Raymond. Pria itu pun segera menjauhkan dirinya.
"Pak Raymond! Kenapa Anda masuk ke dalam kamar wanita lajang?" tanya Divya merasa ketakutan.
Raymond langsung merasa panik setelah mendengar pertanyaan sekretarisnya. "A–a-aku hanya ingin melihat kondisimu saja. Jangan selalu berpikir buruk tentang diriku, Divya!" ucapnya terbata-bata.
Dengan tatapan kesal Divya langsung mengusir kehadiran Raymond dari kamarnya. Ia juga mengatakan bahwa sang atasan termasuk ke dalam golongan manusia tidak mempunyai aturan dalam bersikap. Emosi Raymond langsung menanjak tajam setelah mendengar ucapan sekretarisnya. Ia pun kembali berjalan mendekati Divya dan melemparkan tatapan menikam pada wanita tersebut.